Intelektual Muda Nahdlatul Ulama (NU), Syafiq Hasyim mengungkapkan, pelarangan penggunaan kata kafir terhadap masyarakat non-Muslim sebagai bentuk komitmen NU terhadap hak-hak warga negara Indonesia. “NU sejak dari awal sudah mempunyai komitmen serupa dengan negara dalam bentuk pelarangan penggunaan kata kafir dalam merujuk orang non-Islam dalam konteks kehidupan sehari-hari,” terangnya dalam Seminar International bertajuk Building International Cooperation to Reinforce Commitments and Practices of Islam as Rahmatan Lil ‘Alamin, Kamis (27/1/2022) malam.
Komitmen itu, kata dia, bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap umat non-Muslim. Meskipun Indonesia sudah berkomitmen terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan lewat berbagai kebijakan dan undang-undangnya, faktanya masih sering terjadi penistaan dan diskriminasi terhadap umat minoritas. “Seperti Ahmadiyah, para penghayat agama lokal, dan umat minoritas lainnya (diskriminasi) masih saja terjadi,” kata Direktur International Center for Islam dan Pluralism (ICIP) itu.
Ia menjabarkan, secara historis, Indonesia merupakan basis keberagaman di dunia, mulai dari agama, ras, bahasa, dan suku. Hal itu melatarbelakangi letak urgensi dan relevansi mengapa Indonesia harus mempunyai komitmen terhadap toleransi antar agama. “Praktik toleransi di Indonesia tidak hanya kepada agama selain Islam saja, melainkan kepada berbagai aliran yang muncul dalam Islam,” papar Syafiq.
Dosen Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu juga menerangkan, Islam sendiri tidaklah heterogen. Banyak aliran muncul dalam Islam. Untuk menyikapinya, sikap toleransi sangat dibutuhkan. Atas dasar itu, lanjut dia, NU sangat mendukung adanya diskusi antar kelompok agama di Indonesia. Dalam prinsipnya, NU lebih mengutamakan maslahat bersama daripada kepentingan kelompok sendiri. Ia juga berpesan agar negara selalu hadir dengan prinsip kesetaraan dalam pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara. Tidak ada tindakan diskriminasi dalam bentuk apapun yang mengacu pada latar belakang agama seseorang.
“Semuanya sama di mata hukum,” dia menegaskan. Pandangan setara itu, tambah dia, merujuk pada konsep demokrasi dan kesetaraan hak serta inklusivitas universal yang digunakan Indonesia. Sehingga semua warga harus dipandang sama di mata hukum. “Tidak ada konsep mayoritas dan minoritas konsep dalam bernegara,” kata Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) masa khidmah 2015-2021 itu. Lebih lanjut, ia menegaskan, Indonesia adalah negara Pancasila. Konsekuensinya, Indonesia mempertimbangkan aspek agama namun tidak menjadikan agama sebagai regulasi negara. “Negara memfasilitasi orang-orang beragama untuk mengamalkan atau mempraktekkan agamanya. Jadi tidak perlu memasukkan nilai-nilai syariah dalam konstitusi,” tandasnya.
Pewarta: Syifa Arrahmah Editor: Kendi Setiawan