Sabuk Inten 7

oleh

“Dan beliau mengatakan hal yang sama padaku,” gumam Adipati Hadiwijaya perlahan. Ia mengerutkan kening berusaha menduga permasalahan yang mungkin diemban Ki Tumenggung Suradilaga.

 

“Aku tidak dalam keadaan yang tepat untuk dapat mempercayaimu yang mengaku sebagai seorang tumenggung. Aku memang sering mendengar nama Ki Tumenggung Suradilaga, namun kehadiranmu di Pajang tanpa mengenakan tanda-tanda khusus seorang tumenggung telah membuat kami harus menaruh curiga kepadamu,” kata pemimpin kelompok prajurit jaga pada Ki Tumenggung Suradilaga.

“Aku tidak dapat memaksa kalian untuk percaya dan aku sendiri akan meletakkan senjata jika kalian menghendakinya,” Ki Tumenggung Suradilaga berkata sambil meloloskan sebatang pedang yang tergantung pada pinggangnya dan sebilah tombak pendek yang tergantung di lambung kuda. Ia maju setapak demi setapak menyerahkan senjatanya pada lurah prajurit.

[penci_related_posts title=”Saran Bacaan” number=”4″ style=”grid” align=”none” displayby=”trending” orderby=”random”]

“Aku tidak ingin ada kesalahan, Ki Sanak,” kata lurah prajurit sambil mengangkat tangannya.

Dengan kening berkerut, Ki Suradilaga bertanya, ”Apa maksudmu?”

“Aku tidak ingin pemimpin kami menerima laporan bahwa seorang tamu atau utusan Demak mendapat perlakuan tidak pantas di Pajang.” Kesungguhan menggurat tegas pada wajah lurah prajurit yang memandang tajam kedua senjata Ki Suradilaga.

“Tidak. Kalian telah berbuat sesuai paugeran yang memang seharusnya ditegakkan. Hanya saja aku memang akan mengatakan siapa diriku sesungguhnya di hadapan Kanjeng Adipati.” Ki Tumenggung Suradilaga tetap menyodorkan kedua senjatanya dan sedikit memaksa lurah prajurit agar mau menerima keduanya.

“Baiklah, jika demikian tidak akan ada keberatan di antara kita berdua,” tegas lurah prajurit seraya menerima dua senjata dari tangan Ki Tumenggung Suradilaga.

Selang beberapa lama, prajurit jaga menyampaikan pesan Adipati Hadwijaya pada lurah prajurit. Ki lurah prajurit membalikkan badan dan melangkah menghampiri Ki Tumengung Suradilaga. Katanya, ”Silahkan Ki Tumenggung, saya akan mengantarkan Ki Tumenggung menghadap Kanjeng Adipati. Mari!” Ki Lurah berjalan beriringan dengan Ki Tumenggung Suradilaga.

Keduanya melintasi halaman yang luas dan banyak pohon yang berukuran lumayan besar mengelilingi halaman pendapa kadipaten. Dari kejauhan, Ki Tumenggung Suradilaga telah dapat mengenali Adipati Hadiwijaya yang berdiri kokoh menghadap regol pendapa. Ki Tumenggung kembali meraba kain yang tersampir menyilang di dadanya. Keris Sabuk Inten. Bekal khusus yang diperolehnya dari Sultan Trenggana dan hanya diperbolehkan untuk dikeluarkan dari kain putih yang menjadi pembungkus bila telah berbicara empat mata dengan Adipati Hadiwijaya.

Sesuai paugeran, lurah prajurit itu meminta Ki Tumenggung untuk berhenti di anak tangga terbawah, sementara ia akan menaiki anak tangga pendapa. Namun di saat bersamaan, Adipati Hadiwijaya melambaikan tangan dan meminta keduanya untuk naik bersama-sama.

“Kemarilah kalian berdua. Dan orang itu memang benar seorang tumenggung yang aku kenal baik. Ki Tumenggung Suradilaga,” kata Adipati Hadiwijaya.

Keduanya bergegas menapaki anak tangga dan menghaturkan hormat pada Adipati Hadiwiajaya.

“Kedatanganmu telah mengejutkan aku. Terlebih lagi, Ki Tumenggung datang dalam keadaan yang jauh berbeda dengan biasanya,” kembali Adipati Hadiwijaya berkata setelah menerima sembah hormat kedua tamunya.

Ki Tumenggung Suradilaga mengangguk hormat, lalu katanya,”Kanjeng Adipati, jika aku datang dengan pakaian seorang tumenggung maka itu akan mendatangkan kesulitan bagiku. Karena seperti inilah yang diinginkan oleh Kanjeng Raden Trenggana.”

[penci_related_posts title=”Saran Bacaan” number=”4″ style=”grid” align=”none” displayby=”trending” orderby=”random”]

Adipati Hadiwijaya tanggap dengan ungkapan yang tersirat di balik kata-kata Ki Tumenggung Suradilaga.

Ia berkata seraya mengangkat tangan, ”Ki Rangga Sambaga dan Ki Lurah, kalian dapat meninggalkan kami berdua. Agaknya Ki Tumenggung ingin menyampaikan kisah padaku tentang seorang pendeta yang mungkin ia jumpai di perjalanan. Silahkan!”

“Kami dengarkan, Kanjeng Adipati,” sahut keduanya lalu meminta diri dari hadapan Adipati Hadiwijaya dan Ki Tumenggung Suradilaga.

“Apakah Ki Tumenggung akan lebih dahulu mengendurkan urat syaraf ataukah beliau mempunyai keinginan yang lain? Tempat bagi Ki Tumenggung telah dipersiapkan sebelum Anda duduk di pendapa,” wibawa dan ketegasan Adipati Hadiwijaya jelas terlihat ketika ia mengatakan itu. Meskipun sepintas seperti sebuah basa basi, tetapi Ki Tumenggung Suradilaga dapat menangkap maksud yang berbeda dari yang ia dengar. Untuk beberapa saat ia berdiam diri. Kemudian perlahan ia menurunkan kain putih yang terselempang di depan dadanya.

No More Posts Available.

No more pages to load.