Sabuk Inten 15

oleh

“Angkat kedua tanganmu, Ki Sanak!” perintah Kidang Tlangkas dengan gagah. Pejabat tinggi Demak itu segera melakukan perintah prajurit muda Pajang yang yakin pada perbuatannya. Tidak ada yang dapat disalahkan dari sikap tegas Kidang Tlangkas. Ia mengetahui paugeran yang berlaku bagi pedukuhan Sambi Sari dan sekitarnya.

“Tahan. Tahan dulu,” Ki Rangga Sembaga menyela. “Apakah kamu akan menangkap kami berdua? Sedangkan engkau tahu bahwa aku adalah atasanmu.”

“Bila itu diperlukan, akan aku lakukan itu meski harus beradu nyawa denganmu,”

“Oh, baik, baik. Aku tidak keberatan, sebaliknya, aku bangga dengan sikapmu,” kata Ki Rangga Sembaga seraya mengangkat kedua tangannya. “Kami tidak memegang senjata. Apakah engkau akan memberi kami waktu untuk menjelaskan persoalan ini?”

“Persoalan apa?” Kidang Tlangkas dua langkah mendekat maju. “Kalian tidak dapat menunjukkan sesuatu yang dapat aku kenali. Ki Rangga, bisa jadi engkau adalah penyusup yang dikirim oleh orang-orang wilayah timur. Namun, sungguh, engkau berhadapan dengan orang yang keliru.”

Ki Sembaga menahan geli walau begitu ia dapat menangkap kesan bahwa Kidang Tlangkas tidak sedang bermain-main dengannya. Ia bernalar tajam meski kadang sulit mengendalikan diri. Anak ini bukan prajurit muda yang dapat diremehkan. Ia prajruit kepercayaan Pangeran Parikesit, maka boleh jadi ia mengerti tujuan penyamaran ini, renung Ki Sembaga.

Kemudian, dengan wajah sungguh-sungguh, Ki Rangga Sembaga berkata, “Jujur aku katakan, bahwa kami tidak membawa tanda yang kau maksudkan namun itu bukan berarti dapat menjadi izin untuk menangkap kami. Engkau tahu bagaimana Kanjeng Adipati memperlakukan kami.”

“Itu bukan jaminan bahwa nantinya aku akan membebaskanmu, Ki Rangga. Pajang tidak mengajari prajuritnya untuk menyimpang,” tegas Kidang Tlangkas.

Ki Suradilaga melirik segala penjuru untuk memastikan bahwa prajurit muda itu datang sendirian. Dan memang, indra penglihatan serta pendengaran tumenggung ini seperti setuju dengan harapannya.

Walaupun ia tengah bersitegang dengan atasannya, Kidang Tlangkas dapat mengerti gerak gerik tumenggung Demak yang berada di sisi kirinya. “Apakah engkau sedang mencari letak kawan-kawanku berada, Ki Sanak?”

Pertanyaan Kidang Tlangkas sangat mengejutkan Ki Tumenggung Suradilaga. Anak ini sungguh-sungguh gila! Bagaimana ia dapat melepaskan pandang matanya dari Ki Rangga? Sedangkan aku pun tidak bergerak sama sekali.

“Mengapa? Mengapa engkau diam saja, Ki Sanak?”

“Apa yang kau inginkan untuk aku lakukan,Prajurit?” gelegar Ki Suradilaga memecah kerapatan belantara. Sepertinya ia nyaris kehilangan kesabaran walau sebelumnya sempat berpikir untuk mengikuti kemauan Kidang Tlangkas.

Kidang Tlangkas mengembangkan senyum kecil. Ia tidak menunjukkan rasa gentar walau seujung kuku. Tidak ada pemikiran untuk mengendurkan tekanan, bahkan Kidang Tlangkas berusaha memanaskan keadaan. “Bukan begitu cara seorang pejabat tinggi bicara pada petugas yang memergokinya berbuat salah. Bukan semacam itu, bodoh!”

[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Disarankan” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”left” withids=”” displayby=”tag” orderby=”rand”]

Ki Rangga Sembaga tersnyum kecut dan menahan marah pada perilaku Kidang Tlangkas. Sebenarnya ia ingin menghukum prajurit muda itu, namun kebesaran nama Pangeran Parikesit membuatnya berpikir ulang. Sebenarnya mudah saja bagi Ki Sembaga memukul kepala Kidang Tlangkas, tetapi ia juga harus menimbang kehadiran Ki Suradilaga. Walaupun Ki Suradilaga akan menyetujui keputusannya, tetapi Ki Sembaga tidak ingin mendahului orang yang setingkat lebih tinggi kedudukannya di Demak.

Merasa telah dapat mengendalikan suasana, Kidang Tlangkas berkata lugas dengan nada perintah, “Kalian tentu telah sadar dengan kesalahan ini, kini, aku minta kalian berdua menjauhi Sambi Sari. Sekarang!”

Manakala Kidang Tlangkas menutup mulutnya, Ki Suradilaga melayangkan tendangan ke bagian atas tubuh Kidang Tlangkas. Prajurit muda itu tangkas berkelit lalu membalas serangan dengan pukulan datar, lalu keduanya melompat saling menjauh. “Ki Rangga, kau lihat itu? Kau tentu melihatnya. Dan jangan pernah menyalahkanku jika aku membalas serangan itu.” Tubuh Kidang Tlangkas merunduk lebih rendah dari pinggangnya. Ia mengancam Ki Suradilaga dengan serangan yang dapat dipastikan berbahaya!

No More Posts Available.

No more pages to load.