
Surabaya-SUARAKAWAN.COM: Polrestabes Surabaya kini sudah menangkap empat orang debt collector, yang diduga sebagai pelaku pengeroyokan pengacara Tjetjep Muhammad Yasin. Namun dipastikan penyidik akan terus melakukan pendalaman terhadap pihak-pihak yang terlibat.
Hal itu disampaikan Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Luthfie Sulistiawan saat press conference di Mapolrestabes Surabaya, Senin (20/1/2025) sore.
Didampingi Kasat Reskrim AKBP Aris Purwanto, Kapolrestabes menyatakan bahwa penangkapan empat orang debt collector tersebut merupakan tahap awal. Karena dipastikan akan menyusul tersangka-tersangka lain dalam kasus premanisme tersebut.
Menurut Kombes Pol Luthfie, pihaknya akan terus melakukan pengembangan kasus tersebut. Termasuk kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam aksi premanisme, yang kian meresahkan masyarakat.
Empat orang debt collector yang berhasil diamankan. Yakni, pelaku berinisial NBM (32) selaku koordinator penagihan dan penanggungjawab, AAJO (24) berperan menarik dan mendorong korban, RDK (19) berperan menendang korban dan AA (30) melakukan penganiayaan. Penangkapan tersebut dilakukan Tim Jatanras Satreskrim Polrestabes Surabaya, dipimpin Kanit Iptu Bobby Wirawan dan Kasubnit Iptu Arie Widodo serta Ipda Muhammad Khalifah Nasif.
“Ini adalah tahap awal. Kita akan terus lakukan pemeriksaan terhadap orang-orang yang terindikasi perbuatan premanisme tersebut, tanpa terkecuali. Bila perlu kita lakukan upaya paksa,” jelas Kombes Pol Luthfie.
Dalam kesempatan tersebut Kombes Pol Luthfie meminta kepada siapa pun yang terlibat dalam kasus tersebut untuk segera menyerahkan diri. “Jika tidak, kita akan melakukan penegakan hukum lebih keras,” tegasnya.
Sementara, keempat tersangka yang diamankan merupakan sebagian pelaku yang terindikasi melakukan pengeroyokan terhadap Tjetjep Muhammad Yasin (57), seorang pengacara di sebuah restoran kawasan Jalan Kebraon, Karang Pilang, Surabaya, Senin (13/1/2025) malam lalu.
Kombes Pol Luthfie mengatakan, bahwa ke empat pelaku ditangkap di tempat dan waktu berbeda.
“Jadi terhadap korban ini para pelaku melakukan pengeroyokan dan kita sudah melakukan visum kepada korban,” terangnya.
Akibat aksi kekerasan para debt collector tersebut, lanjutnya, korban mengalami luka memar di kepala bagian belakang sebelah kiri. Kemudian memar di pipi kanan-kiri, serta luka robek bagian leher, punggung serta lengan bagian atas.
Kejadian itu bermula saat NBM mendatangi korban dan mengaku sebagai Direktur PT PAP (Perka Abadi Perdana) yang sedang menagih tunggakan kartu kredit, yang disebut-sebut dari BNI kepada pemilik rumah makan berinisial APS (Abdoel Proko Santoso). Dan APS merupakan klien korban.
“Karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan, pelaku mengancam dan memaksa korban untuk membayar dengan cara melakukan pengeroyokan terhadap pengacara nasabah saudara Tjejep Muhammad Yasin. Dan melakukan perusakan terhadap tempat usaha milik Abdoel Proko Santoso dengan cara membanting kursi sampai rusak, mengancam korban, dan merusak semua barang-barang milik korban di tempat kejadian,” ungkap Kombes Pol Luthfie.
Namun hingga kini, Tim Jatanras masih terus mendalami kasus tersebut. Dengan mendalami keterangan tersangka dan menganalisis video di TKP yang merekam aksi para pelaku.
“Ini akan kita lakukan pengembangan, kemungkinan masih ada tersangka lain, akan kita lakukan upaya paksa terhadap pelaku yang belum berhasil ditangkap,” tandasnya.
Kombes Pol Luthfie juga menegaskan bahwa semua tindakan kekerasan merupakan hal yang melanggar hukum. Dia tidak akan memberi toleransi kepada para pelaku premanisme yang beraksi di wilayah hukum Kota Surabaya.
“Pelaku, yang bersangkutan melakukan penagihan utang. Yang perlu saya tegaskan, tidak boleh ada perilaku kekerasan, tidak boleh ada perilaku premanisme yang dilakukan siapapun atas nama siapapun. Apalagi di wilayah Surabaya. Saya pastikan tindakan tegas,” kata dia lagi.
Keempat tersangka dijerat Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara.

Sementara, Ketua Tim Hukum korban Tjetjep Muhammad Yasin, Andry Ermawan SH menyatakan bahwa pihaknya mengapresiasi langkah cepat Polrestabes Surabaya atas kasus tersebut. Namun demikian, dia meminta agar penyidik Polrestabes terus melakukan pendalaman. Termasuk terhadap pihak-pihak yang terkait, diantaranya BNI yang diduga sebagai pihak pemberi kuasa penagihan kepada PT PAP.
Selain itu, Andry juga meminta Polrestabes mendalami secara menyeluruh para debt collector yang sudah tertangkap, apakah mereka sudah mengantongi sertifikasi penagihan, seperti yang disyaratkan oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
Selain harus mengantongi sertifikat penagihan, menurut Andry, OJK juga mengatur debt collector dengan mematuhi sejumlah rambu-rambu. Aturan ini telah disusun oleh OJK melalui peta jalan Lembaga Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPPBBTI). Selain itu, dalam penagihan harus mematuhi etika. Diantaranya, dilarang menggunakan ancaman, intimidasi, dan hal-hal negatif lainnya, termasuk unsur SARA dalam proses penagihan.
Bahkan, OJK juga mengatur waktu penagihan maksimal hingga pukul 20.00 waktu setempat.
Tidak hanya itu, Andry juga memaparkan bahwa penyelenggara (pihak bank) wajib bertanggung jawab terhadap semua proses penagihan. Artinya, debt collector atau jasa penagih yang memiliki kontrak dengan pihak penyelenggara (bank) berada di bawah tanggung jawab penyelenggara. Ketentuan itu diatur dalam Undang-undang No.4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sistem Perbankan (UU PPSK).
Sedangkan dalam Pasal 306 UU PPSK mengatur, jika pelaku usaha sektor keuangan (PUSK) melakukan pelanggaran dalam penagihan hingga memberikan informasi yang salah kepada nasabah akan dipidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 25 miliar dan Rp 250 miliar. “Untuk itu, kami meminta agar pihak bank, dalam hal ini BNI, untuk segera diperika. Dan para debt collector yang itu Id Card atau surat tugasnya ada apa tidak? Dan, apa mereka sudah mengantongi sertifikasi penagihan? Karena pemberi kuasa ini adalah bank besar, bank berplat merah milik negara,” pungkasnya. (Red)