Khutbah Jumat: 4 Hal yang Membuat Kita Tidak Merugi

oleh

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri Khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dengan melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan.

Hadirin jamaah shalat Jum’at yang berbahagia Pada siang hari yang penuh kemuliaan ini, Khatib akan menyampaikan tafsir surat Al-‘Ashr.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah Surat Al-‘Ashr adalah surat Makkiyyah menurut mayoritas ahli tafsir. Menurut sebagian yang lain, Madaniyyah. Ia terdiri dari tiga ayat, empat belas kata dan enam puluh delapan huruf.

“Demi Ashar.”

Ayat ini diawali dengan sumpah. Allah bersumpah dengan ‘Ashr. Sebagian ulama menafsirkannya dengan makna shalat Ashar. Allah bersumpah dengannya karena keutamaan yang dimilikinya. Sebagian yang lain memaknainya dengan makna masa. Allah ta’ala bersumpah dengan masa karena dalam perjalanan masa terdapat banyak pelajaran bagi orang-orang yang mau merenung.

“Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian.”

“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.”

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Dalam ayat di atas, ditegaskan bahwa seluruh manusia dalam kerugian kecuali orang-orang yang melakukan empat perkara.

Pertama, memiliki iman. Karena tanpa iman, seseorang tidak akan selamat di kehidupan akhirat.  Kedua, beramal saleh, yaitu melakukan seluruh apa yang Allah wajibkan kepada hamba-hamba-Nya. Ketiga, saling menasihati untuk kebenaran. Yakni saling menasihati untuk melakukan kebaikan. Keempat, saling menasihati untuk kesabaran.

Maknanya saling menasihati untuk bersabar melakukan ketaatan, bersabar meninggalkan kemaksiatan dan bersabar menghadapi musibah. Sebab jika disebut kata sabar secara mutlak, artinya mencakup sabar melakukan ketaatan, sabar menahan diri dari kemaksiatan dan sabar menghadapi musibah.  Jadi seorang muslim minimal ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi kekufuran. Adapun tambahan dari hal itu dengan melakukan perkara-perkara yang disebutkan dalam surat ini, adalah sifat orang-orang shalih yang berbahagia dan selamat dari segala siksa di akhirat.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Sungguh, Allah telah mengagungkan sikap saling menasihati dan saling berwasiat untuk melakukan dan menetapi kebaikan. Allah ta’ala berfirman dalam hadits qudsi: “Dan telah tetap cinta-Ku bagi orang-orang yang saling menasihati karena Aku” (HR Ahmad, Ibnu Hibban dan lainnya)

Saling menasihati karena Allah adalah ciri orang-orang mukmin yang sempurna imannya. Saling menasihati karena Allah artinya saling mengingatkan ketika ada yang berbuat dosa. Bukan membiarkannya dalam dosa dengan dalih menjaga perasaan atau dengan dalih menjaga hubungan pertemanan agar tidak terputus. Saling menasihati karena Allah artinya bekerja sama dalam kebaikan dan meraih ridha Allah. Bukan bekerja sama untuk meraih harta duniawi dengan mengesampingkan ridha Allah ta’ala.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Nasihat seyogianya disampaikan dengan lemah lembut sebagaimana disabdakan oleh Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya Allah memberikan pada sikap lembut hasil yang tidak Ia berikan pada sikap keras” (HR Ibnu Hibban dan lainnya)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan pada perkara seluruhnya” (HR Muslim)

Nasihat juga semestinya disampaikan sekira tidak membuka aib seseorang di hadapan orang lain. Bahkan jika nasihat itu cukup dengan isyarat, maka kita lakukan. Jadi seorang muslim yang melakukan dosa dan aib, maka sepatutnya kita tutupi aibnya. Sebagaimana hal itu ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barang siapa menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat” (HR Ibnu Majah)

Dalam hadits yang lain, Baginda Nabi bersabda: “Barang siapa yang mengetahui aib (pada saudaranya) lalu ia tutupi, maka ia bagaikan menghidupkan anak perempuan yang dikubur hidup-hidup” (HR Abu Dawud)

Kaum Muslimin yang berbahagia

Karena itu, apabila kita melihat aib dari seorang muslim atau ia melakukan suatu kesalahan, maka selayaknya kita tutupi dan rahasiakan serta tidak kita buka kedoknya. Melainkan kita menasehatinya secara sembunyi sembunyi, tidak di hadapan orang lain. Hal ini jika yang ia lakukan adalah aib atau dosa yang tidak membahayakan orang lain. Sebaliknya, jika dosa itu membahayakan masyarakat, baik membahayakan eksistensi agama mereka atau kehidupan dunia mereka, maka kita diperintahkan untuk memperingatkan masyarakat secara terang-terangan dari orang tersebut.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Kemudian penting untuk diketahui bahwa di antara kesalahan besar yang dilakukan sebagian orang, jika mereka melihat seseorang salah dalam perkara agama seperti melakukan shalat dengan tidak benar, orang itu tidak mereka tegur sembari mereka mengatakan, “Yang penting niatnya”. Lalu mereka berdalih dengan hadits: “Sungguh amal-amal itu hanya akan sah dengan niat.” (HR Al-Bukhari Muslim)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Hadits tersebut konteksnya tidaklah seperti yang mereka pahami. Karena kita dalam masalah ini diperintahkan untuk melakukan dua hal sekaligus: berniat dengan benar dan melakukan perbuatan dengan benar sesuai tuntunan syariat. Hadits tersebut artinya bahwa amal saleh jika tidak disertai niat (yang baik dan benar), maka tidak diterima oleh Allah. Maksudnya bukan berarti seseorang dibiarkan dalam kebodohannya, lalu yang diperhitungkan dari dia hanya niatnya. Sedangkan perbuatannya sama sekali tidak diperhitungkan apakah sesuai dengan tuntunan Rasulullah atau bertentangan dengannya.  Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim diceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah berada di dalam masjid lalu ada seseorang yang masuk masjid kemudian melakukan shalat. Setelah itu ia duduk di majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.  Rasulullah kemudian bersabda kepadanya: “Bangkit lalu shalatlah karena sesungguhnya engkau belum shalat!” Laki-laki itu lalu mengulangi shalatnya kemudian duduk di majelis Rasulullah. Baginda Nabi lalu bersabda lagi kepadanya: “Bangkit dan shalatlah karena sesungguhnya engkau belum shalat!”  Lalu laki-laki itu mengulang shalatnya kemudian duduk di majelis Rasulullah. Lagi-lagi Rasulullah memerintahnya untuk mengulangi shalat dan bersabda: “Bangkit dan shalatlah karena sesungguhnya engkau belum shalat!”  Orang itu kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak bisa melakukan shalat kecuali yang telah aku lakukan.”  Kemudian Rasulullah mengajarkan kepadanya tata cara shalat sesuai tuntunan syariat. Rasulullah tidak membiarkannya lalu mengatakan: “Yang penting niatnya.”  Begitu pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban bahwa ada seorang laki-laki yang salah dalam membaca Al-Qur’an, lalu Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai para sahabatku, ajarilah ia bagaimana cara membaca al Qur’an yang benar!” (HR. Ibnu Hibban)

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Hendaklah kita ketahui bersama bahwa ada sebuah cerita dusta yang dinisbatkan kepada Nabi Khadhir ‘alaihissalam. Diceritakan secara dusta bahwa suatu ketika Nabi Khadhir bertemu dengan seorang penggembala yang tidak mengetahui tata cara shalat, lalu Khadhir mengajarinya tata cara shalat yang benar. Kemudian Khadhir pergi meninggalkan penggembala itu dan berjalan di atas air. Ketika sang penggembala bangkit untuk melakukan shalat, ia lupa mengenai tata cara shalat yang diajarkan oleh Khadhir. Lalu ia menyusul Khadhir dan memintanya berhenti untuk mengajarinya kembali tata cara shalat. Khadhir menoleh dan mendapati penggembala itu mengikutinya dari belakang dan berjalan di atas air seperti dia.  Lalu Khadhir berkata kepadanya: “Shalatlah seperti yang engkau mau!”  Orang-orang yang menceritakan kisah ini mengatakan bahwa sang penggembala, disebabkan kejernihan hati dan kesucian niatnya, ia dapat berjalan di atas air. Kisah ini jelas tidak benar dan tidak berdasar. Kisah semacam ini hanya mendorong orang untuk tetap dalam kebodohan serta melemahkan semangat orang yang ingin belajar ilmu agama. Orang bodoh yang sama sekali tidak mengetahui tata cara shalat yang benar sesuai dengan tuntunan syariat dan tidak mengetahui ilmu agama yang fardhu ‘ain, tidak akan diangkat oleh Allah menjadi wali-Nya. Sebagaimana hal itu ditegaskan oleh Imam As-Syafi’i dan banyak ulama yang lain.  Hadlratus Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari menegaskan dalam kitab Tamzizul Haqq minal Bathil: “Allah tidak mengangkat seorang wali yang bodoh. Seandainya Allah mengangkatnya menjadi wali, niscaya Ia memudahkan jalan baginya untuk memahami ilmu agama.”

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Disebutkan dalam sebuah atsar bahwa jika seorang sahabat Nabi bertemu dengan sahabat Nabi yang lain, keduanya tidak berpisah sebelum yang satu membaca surat Al-‘Ashr kepada yang lain.      Imam As-Syafi’i mengatakan: “Seandainya seluruh manusia merenungkan surat ini, niscaya ia cukup menjadi pedoman bagi mereka. Hal itu dikarenakan surat ini mengandung beberapa hal yang jika dilakukan seseorang maka ia telah mencapai kesempurnaan iman. Yaitu (1) Mengetahui kebenaran, (2) Melakukan kebenaran, (3) Mengajarkan kebenaran itu kepada orang lain yang tidak melakukannya dan (4) Bersabar untuk mempelajari kebenaran, mengamalkannya dan mengajarkannya.”

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.

Ustadz Nur Rohmad, S.Ag., M.Pd.I, Anggota Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Katib Syuriyah MWCNU Kec. Dawarblandong, Kab. Mojokerto

=================

 

No More Posts Available.

No more pages to load.