Pada masa kerajaan Singhasari abad 13, wilayah yang kini disebut Jember merupakan bagian dari Lamajang (Lumajang) dan Tigang Juru. Hutannya lebat dan berawa-rawa sehingga berfungsi sebagai buffer zone dan benteng alam dengan kerajaan di Bali. Selain sebagai tempat berburu, wilayah ini sering dikunjungi kaum bangsawan untuk berbagai kegiatan ritual.
Pada masa Majapahit, Jember lebih dikenal sebagai tempat tirthayatra/ ziarah Hayam Wuruk tahun 1359 M. Terdapat sebanyak 25 titik ‘tetirah’ sebagaimana ditulis oleh Mpu Prapanca dalam naskah Negarakretagama. Tempat-tempat tersebut antara lain Kasogatan Bajraka, Renes, Tampahing, Palumbon, Kunir Basini, Sarampwan, Rabut Lawang, Balater, Sadeng, Kutha Bacok, Balung, Tumbu, Habet, Galagah, dll.
Beberapa tahun sebelumnya saat berkecamuk Pasadeng (Perang Sadeng) di Puger dan Ketha di Panarukan, pasukan penyerbu dari Majapahit diperkirakan mendirikan basis pertahanan di wilayah ini. Dipenuhi hutan dan berbukit serta ngarai yang tak terhitung, Jember adalah tempat persembunyian terbaik pada masa kolonial.
Pada Perang Paregreg (1401-1406 M) kawasan Jember juga menjadi medan laga dan area pergerakan pasukan. Jember juga muncul pada ekspedisi Adityawarman dan Gajah Mada saat menyerbu Bali.
Pada masa selanjutnya yakni masa kolonial, kawasan ini disebut sebagai Java’s Oosthoek yang merupakan cikal bakal lahirnya Jawa Timur. Penguasa Mataram Pakubuwono II yang terdesak menghadapi perlawanan pemberontak Untung Suropati dan Trunojoyo, menggadaikan wilayah ini pada VOC. Mataram mengklaim Jawa bagian timur, terutama Malang hingga ke Blambangan sebagai bagian wilayahnya. Pengaruhnya sesungguhnya tidak terlalu kuat sehingga rakyat di daerah ini acap kali mengabaikan Mataram. Lagi pula wilayah ‘Brang Wetan’ atau ‘Mancanegara Timur’ ini adalah tempat persembunyian kesukaan para pembangkang VOC maupun Mataram.
Pada masa Perang Puputan Bayu (1771-1774) daerah Puger, Kedawung dan Nusa Barong di Jember menjadi basis pertahanan melawan VOC.
Ketika di Belanda golongan liberal dengan Open Door Policy nya berkuasa, Jember dirubah menjadi lahan perkebunan (afdeling) untuk komoditi tembakau, lalu kopi, kakao,dan karet selama berpuluh-puluh tahun. Jejak masa perkebunan tembakau ini kental mewarnai khasanah sejarah Jember hingga sekarang.
Melalui Staatblad No. 322 tentang Bestuurshervorming, Decentralisastie Regentscappen Oost Java, yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1929, pemerintah kolonial Belanda menetapkan wilayah ini menjadi regentschap (setingkat Kabupaten).
Ada dugaan lain tentang kesamaan nama terminal di Jember dengan seorang putra Brawijaya, Tawang Balun. Sebagaimana kebiasaan orang pada zaman dahulu yang memberi nama sesuai keadaan, demikian pula yang mungkin terjadi di Jember. Karena diduga wilayah Jember sangat subur dan erat berkaitan dengan air, maka pelak banyak desa dan dusun yang namanya tidak terpisah dari air atau curah seperti Curah Nangka, Curah Lele, Curah Kates, Curah Mluwo dan Rawa/ Rowo seperti Rawatamtu, Rawatengah, Rawatengu, dan lainnya. Jember sendiri bisa berarti becek. (KK)