SuaraKawan.com
Suara Sejarah

Harta Peninggalan Zaman Mataram Kuno

Di tengah terik surya 17 Oktober 1990, enam warga desa Wonoboyo, Kecamatan Jogonalan, Klaten bernama Sudadi, Widodo, Wito Lakon (alm), Hadi Sihono (alm), Surip dan Sumarno tengah menggarap di lahan sawah milik Ny. Cipto Suwarno. Mereka mengerjakan proyek irigasi untuk merendahkan permukaan tanah sawah agar air dapat turun ke sawah ini, sementara itu tanah sisa galiannya hendak dijual untuk urugan proyek.

Pada kedalaman sekira 2,75 meter, cangkul Wito Lakon, pekerja yang tertua diantara keenamnya, membentur benda keras yang awalnya diduga batu. Setelah digali dan dikorek-korek lebih hati-hati benda tersebut ternyata sebuah guci dari masa Dinasti Tang (618-907 M).

Kemudian disepakati untuk menggali lebih lanjut sampai pada akhirnya berhasil diangkat total 4 guci kehijauan gelap dan 1 kotak bundar besar dari perunggu. Semua mata terbelalak manakala melihat benda- benda di dalam guci yang memancarkan warna kekuningan berkilauan. Semuanya emas!

Berikut ini sebagian di antaranya yang bisa dijumpai di Museum nasional Jakarta:

  • Benda-benda regalia simbol kerajaan seperti mahkota bermotif daun yang lazim dijumpai pada arca-arca masa klasik, yang berhias batu mulia jenis kecubung atau amethyst.
  • Sepasang tutup sanggul kepala berbeda-beda ukuran (mungkin untuk laki-laki dan perempuan) yang masing-masing bagian puncaknya berhias batu mulia bening.
  • Sejumlah kalung emas, ada yang berbandul kacang koro pedang, ikan lele dan kerang. 
    Kalung emas berbentuk kerang (kekunoan.com)

  • Gelang tangan emas, besar dan agak kecil yang diduga dipakai sepasang laki-perempuan dewasa terbuat dari lempengan emas yang ditempa, diisi tanah liat berkualitas tinggi kemudian ditutup lempengan perunggu yang dipatri
  • Sebuah gagang keris atau mungkin hiasan pucuk payung dari emas
  • Hiasan telinga (sumping) terbuat dari lempengan emas tipis bentuk helai daun panjang dengan pangkal teratai mekar
  • Kelat bahu besar-kecil yg merupakan kelat bentuk antefiks (simbar) berhias kepala Kala berahang bawah, floral dan sulur daun. Kelat bahu ini biasanya diikatkan di bahu/lengan atas pakai tali. Semuanya berbahan lempengan emas yang dipahat.
  • Koleksi anting-anting dengan banyak jenis dan bentuk emas dan berhias batu mulia
  • Hiasan pinggang (pending) yang biasa dipakai bangsawan tinggi atau raja
  • Kalung binatang piaraan yaitu gajah atau kuda yang dipakai saat arak-arakan kerajaan 
    Kalung emas besar diduga dikenakan pada kuda atau gajah saat perarakan kerajaan (kekunoan.com)
  • Tas tangan emas berbentuk persegi yang diyakini merupakan wadah jimat/ amulet holder. Tas kecil kotak ini bertali pola rantai halus yang pada sisi-sisinya terdapat hiasan relief benda-benda yang biasa dibawa Dewa Wisnu.
  • Gayung atau siwur emas berukir yang dipakai alat upacara pengambilan air suci bermotif hias daun (ron) tal . Terdapat inskripsi jawa kuno “brat su 8 ma 13 ku 2” di sisi gayung yang ditafsirkan menunjukkan berat barang yang terbuat dari emas itu. 
    Gayung siwur emas peninggalan era Mataram kuno harta karun Wonoboyo kekunoan.com
  • Sendok bulat yang diduga dipakai sebagai alat mengambil cairan minyak kental (gnu). Cairan kental ini biasanya terbuat dari susu, dan digunakan pada upacara agama Hindu. Pada bagian dasar sendok bulat ini terdapat inskripsi Jawa Kuno terbaca “suwa”
  • Mangkuk emas berbentuk miniatur wadah air dari daun palem yang sangat halus pengerjaannya. 
    Mangkuk miniatur wadah air dari daun palem (kekunoan.com)
  • Bandul emas yang merupakan penanda kasta seseorang, yang pada masa lalu disampirkan di bahu atau diletakkan di dada dengan tali di kedua ujungnya. Bandul kasta Wonoboyo ini bentuknya seperti kepompong, dengan ornamen suluran. Ukurannya yang cukup besar dipercaya sebagai bandul tali kasta milik raja atau kaum bangsawan tinggi.
  • Mangkuk berlekuk enam dengan ukuran panjang 28,8 cm, lebar 14,4 cm, serta tinggi 9,3 cm yang dianggap sebagai masterpiece temuan Wonoboyo. Sisi-sisi luarnya berukir relief cerita Ramayana, yakni masa pembuangan Rama, Shinta, dan Laksmana hingga penculikan Shinta oleh Rahwana. Sisi pertama menggambarkan adegan Dewi Sita digoda kijang emas. Kemudian adegan Rama memburu kijang emas. Berikutnya adegan Rama memanah kijang yang kemudian menjelma jadi raksasa Marica. Selanjutnya adegan Rahwana menculik Dewi Sita. Relief kelima, Rahwana membawa terbang Dewi Sita dengan kereta puspaka yang kemudian bertemu Jatayu. Relief keenam, melukiskan saat adegan Dewi Sita sudah di taman Istana Alengka, ditemani dayang-dayang. Semua bidang di luar enam relief ini dihiasai ukiran pepohonan, rumah, balai- balai. Dipahat dengan teknik tempa dari sisi dalam (repousse). Pembuatannya memerlukan tingkat ketelitian yang tinggi karena ukiran-ukirannya yang sangat halus dan berkualitas. Fungsi mangkuk diduga kuat sebagai wadah persembahan atau sesaji.
  • 396 keping uang emas “piloncito” dan 600 keping mata uang perak, dll.

Semua temuan di lahan Cipto Suwarno lantas diangkut ke Balai Desa Wonoboyo.

Prof Dr Timbul Haryono, sejarawan masa klasik UGM yang turut menelaah temuan tersebut secara resmi menuliskan angka 30 kilogram emas pada prolog laporan kajian tentang harta karun emas Wonoboyo.

Angka ini diragukan publik, terutama bila merunut keterangan dari penemu awalnya.

Dari ujung lorong menyeruak lima ekor kuda tegar dan kuat. Menyusul di belakang mereka ada dua kereta kuda. Masing-masing kereta ditarik empat ekor kuda yang nyaris serupa dengan lima ekor di depan. Tegar dan begitu kokoh dipandang mata!

Sang Maharani - Bulan Telanjang

“Saya perkirakan lebih dari 100 kilogram, satu gucinya sekitar 50 kilogram,” jawab Marno saat ditanya berulang-ulang berapa bobot seluruh temuan tersebut. “Mungkin dua kuintal”.

Marno memperkuat cerita dengan menggambarkan pecahnya ban sepeda yang dipakainya saat mengangkut beban berat membawa guci ke balai desa.

“Setelah itu kita tidak tahu gimana-gimananya”. “

Faktanya, memang terdapat banyak keganjilan seputar penemuan itu.

Tahun 1990-an media masa masih belum terbuka seperti sekarang, belum ada media sosial seperti Facebook atau piranti kirim pesan cepat berantai Whatsapp. Orde baru juga tengah sangat kuat-kuatnya waktu itu. Kita tahu benar bagaimana cara kerja birokrasi rezim Suharto sehingga peristiwa spektakuler ini perlahan senyap dan hampir terlupakan.

Keenam orang penemu awal seperti tidak habis-habisnya didatangi polisi atau tentara untuk diinterogasi berulang-ulang, memastikan tidak ada yang menyembunyikan atau menyimpan temuan. Diantara mereka berenam, Marno yang anggota termuda lebih beruntung karena tidak banyak ditanyai.

“Pokoknya banyak lah, saya liat ada butiran emas seperti jagung, koin, stempel, dan aneka rupa benda lain, termasuk tas emas dan talinya. Yang besar ya bokor dan baskom,” ujarnya.

Lantas ke mana jika memang ada ratusan kilogram? Marno hanya tertawa. “Ya, entahlah. Tahu sendiri situasi waktu itu,”

Setelah situs galian selesai diteliti dan dibuka untuk umum, banyak warga berdatangan untuk mencari harta karun. Beberapa cukup beruntung dan menemukan emas. Ada yang dijual ke pengepul, ada yang dilaporkan. Mereka mendapat imbalan dari pemerintah walau tidak sefantastis apa yang diterima oleh enam sekawan tadi.

Pemerintah mengganjar hadiah sebesar 500 juta, separuh untuk pemilik lahan, separuhnya dibagi diantara ke enam penemu awal.

“Kami masing- masing dapat bagian 38 juta rupiah, dan pemilik sawah 239 juta rupiah. Itu jumlah yang luar biasa banyak pada tahun 90-an,” urai Marno. Ia sampai berfikir uang itu tidak akan habis dipakainya selamanya.

Bahkan keluarganya sempat meminta bantuan para pemuda setempat untuk menjaga rumahnya selama sebulan.

Teman-teman pembaca muda yang lahir tahun 2000 ke atas, peristiwa ini mirip sekali dengan orang yang mendapat rejeki dari togel yang di masa lalu masih dilegalkan. Mereka juga meminta tetangga ikut menjaga rumah agar uangnya aman :-D.

Rekan kerja Marno yang sesama penemu yakni Widodo, juga meragukan berapa bobot dan jumlah persisnya harta temuan itu. Yang diketahuinya, di koran ditulis beberapa belas kilo.

“Sesudah lapor ke desa, saya tidak tahu lagi,” kata Dodo.

Beberapa pekan berselang, bersamaan dengan para penemu lain, ia diundang hadir di Candi Prambanan bertemu Presiden Soeharto. Soal imbalan, Dodo menyebut angka berbeda dari Marno. Ia mengatakan bahwa tiap penemu mendapat Rp 13 juta.

“Satu juta diterimakan tunai, sisanya pakai cek di BNI 46 Yogya,” katanya.

“Satu juta waktu itu sudah dapat dua pedhet (anak sapi). Sawah satu pathok (2.500 m2) masih enam jutaan. Jadi ya sangat besar untuk kita,” demikian gambaran Widodo tentang nilai uang yang didapatnya waktu itu.

 

ASAL USUL HARTA KARUN WONOBOYO

Pertanyaan tentang siapa pemilik dan dari mana asal harta karun Wonoboyo menggugah dua pakar sejarah klasik UGM, Prof Dr Timbul Haryono dan Dr Riboet Darmosutopo untuk memecahkan misterinya, lewat kajian arkeologi dan epigrafi.

Kesimpulan awal, bisa jadi benda-benda emas yang dibuat sangat bagus ini merupakan milik penguasa dari abad IX. Abad ini merupakan periode penting masa Mataram Kuno,  terentang sejak masa Rakai Panangkaran, Rakai Pikatan Dyah Saladu, Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, hingga Rakai Watukura Dyah Balitung. Masa-masa  panjang tersebut tercatat diwarnai konflik perebutan kekuasan di kalangan para elit kerajaan Mataram Kuno.

Pembacaan inskripsi atau aksara-aksara pendek yang didapati di sejumlah barang temuan mengarah pada pemilik harta karun spektakuler itu.

Riboet menunjukan aksara Jawa Kuno pada satu bagian mangkuk emas yang berbunyi “Saragi Dyah Bunga”.

Kata “saragi” bisa diartikansebagai: satuan kelompok, misalnya satu stel pakaian, seperangkat alat minum, dan lain-lain, karena itu frasa “saragi dyah bunga” bisa diintrepretasi sebagai seperangkat alat (sesaji) milik Dyah Bunga.

Dyah adalah sebutan untuk garbhanama seorang bangsawan, seperti halnya ‘pu“. Dyah Bunga tentulah seorang bangsawan tinggi.

Ada juga mangkuk emas lain bertulis “Cri Spi” atau “Sri Spi”.

Sri umumnya dipakai sebagai artikel penyebutan maharaja, menjadi “sri maharaja”. “Sri” juga dipakai sebagai garbhanama seorang bangsawan. Apakah hubungan antara Dyah Bunga dan Sri Spi ini? Riboet menduga keduanya memang terkait. Indikasinya, benda-benda itu terkonsentrasi di satu lokasi yang sama. Apakah kedua sosok ini pemilik harta karun Wonoboyo, atau sekedar dipahat oleh pembuat benda-benda eksotik itu?

Timbul pertanyaan apakah yang terukir bukan nama si pembuat atau pandai emasnya karena biasanya nama penulis atau pembuat prasasti dicantumkan di dalamnya.

Namun dengan mudah Riboet menggugurkan pendapat itu dengan mengemukakan bahwa pande emas yang masuk golongan candala, tak mungkin mencantumkan inisialnya di karya yang dibuatnya dengan menggunakan Cri atau Dyah yang diperuntukan bagi bangsawan, bahkan maharaja. Bangsawan atau raja merujuk informasi di prasasti lain, menurut Riboet, tidak mungkin datang sendiri ke pande emas, karena takut ketularan candala. Akan lebih masuk akal jika dua nama itu dipahat oleh pemesannya, untuk nantinya akan diserahkan ke maharaja pada masa itu.

Riboet sampai pada kesimpulan yang sama dengan Prof Timbul Haryono yang meyakini benda-benda emas luar biasa indah itu merupakan kelengkapan pemujaan atau upacara tokoh elite berlatar keagamaan Siwais.

Ukiran indah di dinding mangkuk emas Wonoboyo yang termashur itu menggambarkan cerita Ramayana, mirip dengan relief di Candi Siwa (Prambanan). Prasasti Wukajana yang dikeluarkan Raja Balitung (905 M) menyebut cerita Ramayana sehingga dimungkinkan benda ini berasal dari masa tersebut.

“Artinya, cerita ini populer pada masa Balitung, dan dimungkinkan harta karun ini berasal dari masa yang sama. Secara paleografi, aksara yang digunakan populer dipakai masa Rakai Pikatan hingga Balitung,” tulis Riboet dalam laporan kajian inskripsi emas Wonoboyo.

BAGAIMANA BENDA-BENDA BERHARGA KERAJAAN BISA TERPENDAM DI TANAH WONOBOYO?

Pertanyaan lain, apakah harta karun itu disembunyikan dengan cara dipendam oleh suatu sebab, apakah kekacauan di keraton, konflik di lingkaran elite kerajaan, atau dicuri dari kedaton terus disembunyikan di tegalan atau sawah?

Dalam laporan kajiannya ini Riboet juga menawarkan pemikiran lain tentang lokasi sebenarnya harta karun Wonoboyo. Ia menduga harta karun itu sudah mengalami transportasi akibat aliran lahar dari sebelah utara lokasi temuan yang berada di pinggiran sungai kecil.

Hal ini didukung pula tidak ada temuan pondasi bangunan di sekeliling lokasi temuan guci penuh berisi emas, dan benda-benda lain yang terkonsentrasi di satu titik, seolah sengaja ditumpuk-tumpuk. Transportasi yang ia kemukakan itu terjadi secara cultural transform, bukan natural transform. Sebab, menurut Timbul, para penemu benda itu menyaksikan posisi guci/wadah emas masih tegak berdiri.

Widodo (58), orang yang pertama kali menemukan guci berisi emas, mengaku tidak mendapati pembatas atau pelindung apapun di sekitar lokasi temuan. Misalnya, susunan batu di sekelilingnya.

“Guci itu seperti ditanam di lubang tanah, atau diletakkan begitu saja,” kata Widodo.

Guci paling besar saat pertama kali cangkulnya mengenai benda itu, ada dalam posisi agak miring atau hampir roboh. Di atasnya bertumpukan piring, bokor, baskom, dan benda-benda lain.

Widodo yang petani, benar-benar heran dengan temuan itu. Terutama keletakan harta karun tersebut yang seolah-olah diletakkan begitu saja.

“Apa mungkin itu hasil begal atau pencurian, kemudian disembunyikan?” tanyanya.

“Jika hasil begal atau nyuri, mengapa terus terpendam hingga zaman sekarang. Apa mungkin begal atau pencurinya mati, sehingga tak ada yang tahu keberadaan harta karun itu,” lanjutnya.

“Seolah seperti diletakkan sengaja. Jadi perpindahan itu karena faktor tingkah laku manusia. Nah, penyebab pemindahan apa, ini masih perlu dibicarakan dengan bukti pendukung lainnya.

Peneliti sejarah Bugie Kusumohartono mengemukakan bahwa lokasi penemuan harta karun Wonoboyo yang tidak terlalu jauh dari kompleks percandian Hindu-Buddha Prambanan-Plaosan merupakan daerah dengan konsentrasi keberadaan peninggalan arkeologik yang sangat masif.

Ciri Buddhisme tampak menonjol, ditandai kehadiran sederet candi mulai Kalasan, Candi Sari, Candi Sewu, Candi Plaosan, Candi Lumbung, Candi Sojiwan, dan stupa di Dawangsari, dekat Candi Barong sekarang.

Namun kehadiran bangunan Buddhism itu juga berselingan dengan monumen megah Siwa yang dikenal dengan nama Candi Loro Jonggrang atau Candi Prambanan yang sekarang.

Beberapa candi Siwa pendukungnya ada di Sambisari, Kedulan, Candi Ijo, dan Ratu Boko.

Kecenderungan bangunan keagamaan ini umumnya berhimpitan dengan pusat-pusat kehidupan politik semasanya. Bisa jadi Wonoboyo berada di area pusat kerajaan atau paling tidak masih masuk daerah pinggiran kota raja.

Lokasi penemuan penting ini kini hampir-hampir tak terlihat jejaknya lagi. Sesudah serangkaian penelitian lanjutan tahun 1990 dan 1991, situs tersebut dibiarkan telantar karena tidak ditandai patok atau monumen apapun. Laju zaman mengembalikan situs itu ke bentuk asalnya sebagai sawah, namun dengan ketinggian di bawah 3 meter dari ketinggian saat penemuan guci.

Telah berdiri Rumah situs dan Water Park Wonoboyo untuk mengenang peristiwa itu, namun kabarnya tempat ini akan tergusur proyek jalan tol.

Warga Wonoboyo selamanya akan mengingat tempatnya; persis di bawah pohon kluwih yang tumbuh di sisi barat sawah. [KK]

Related posts

Nir Wuk Tanpa Jalu 1

kibanjarasman

Nir Wuk Tanpa Jalu 5

kibanjarasman

Bulan Telanjang 19

Redaksi Surabaya