SuaraKawan.com
Suara Sejarah

Ken Arok Bukan Rakyat Jelata

Ken Angrok berangkat untuk menyempurnakan kepandaiannya membuat barang-barang emas kepada seorang tetua di Kabalon. Namun, niatnya tak dipercaya oleh penduduk Kabalon.

Angrok pun marah. Dia hendak menikam salah seorang penduduk, namun orang itu lari kepada tetua Kabalon. Dipanggillah para pertapa yang berada di sana untuk berkumpul. Para guru hyang sampai para punta keluar membawa pemukul dari perunggu. Mereka mengejar dan memukul Ken Angrok.

Ketika mereka akan menghabisi Ken Angrok, terdegar suara dari langit. “Jangan kamu bunuh orang itu, wahai para pertapa. Anak itu adalah anakku. Masih jauh tugasnya di alam tengah ini,” seru suara itu.

Begitulah Serat Pararaton mengisahkan Ken Angrok yang selalu selamat saat nyawanya terancam. Suara dari langit berulangkali mencegahnya diamuk masa.

Pararaton menyebut suara itu adalah Dewa Brahma, ayah kandung Ken Angrok. Pernyataan itu ditambah kemudahan yang diterima Angrok sebagai buronan memunculkan teori kalau dia sebenarnya bukan anak sembarangan. Bukannya keberuntungan yang membuatnya kemudian duduk di takhta Tumapel.

Sejarawan Malang, Suwardono, menilai sulit memaksakan asal usul Ken Angrok dari masyarakat kebanyakan. Mengingat sistem sosial kala itu yang menganut strata masyarakat tertutup.

Sistem itu mengatur keanggotaan masyarakat berdasarkan kelahiran. Perkawinan dengan beda kasta dilarang keras lewat hukum agama dan negara. Pergaulan dengan kasta yang lebih rendah pun dilarang.

Karenanya, sejarah mencatat, terjadinya suatu wangsa selalu dilakukan oleh seseorang yang sebelumnya adalah keturunan dari pemimpin watak atau oleh salah seorang bangsawan keturunan kerajaan pendahulunya.

Dalam bukunya, Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok, Suwardono menduga Ken Angrok sebenarnya keturunan bangsawan. “Ken Angrok dari garis ayah mendapatkan statusnya sebagai golongan bangsawan, walaupun dari garis ibu dia mendapatkan status sebagai golongan rakyat petani,” catatnya.

Menurut Suwardono pernyataan kalau Dewa Brahma adalah ayahnya dan selalu membuatnya lolos dari amuk masa hanyalah perumpamaan. Tandanya, pamor sang ayah sangatlah kuat. “Sehingga ketika dia berkata ‘jangan!’, semua tunduk pada perintahnya,” kata Suwardono.

Tiga Teori

Siapakah Ken Angrok sebenarnya? Ada tiga teori terkait asal usul Ken Angrok yang sudah banyak diperbincangkan.

Sejarawan R. Pitono Hardjowardojo dalam Pararaton (1965) menulis kalau Ken Angrok adalah anak rakyat yang berhasil mengadakan revolusi mendirikan dinasti baru. Dia disebut anak Dewa Brahma dalam rangka legitimasi kedudukan semata.

Menurut Pitono Ken Angrok melambangkan perjuangan kelas melawan kekuasaan bangsawan. Dalam usahanya, Ken Angrok dibantu kaum pendeta dan rakyat. “Rakyat jelata umumnya hidup dalam ikatan kemasyarakatan yang lebih erat daripada masyarakat kota,” tulis Pitono.

Sebaliknya, sejarawan Warsito S. justru meragukan kejelataan Ken Angrok dalam artikelnya “Benarkah Ken Arok Anak Desa?” majalah Pusara, Djilid XXVII, No. 3-4 Maret-April 1966.

“Andaikan benar Ken Arok itu anak desa, yang kemudian menjadi raja, maka Ken Arok adalah manusia pertama di bawah kolong langit ini yang beriwayat hidup demikian,” tulisnya.

Menurut Warsito, Ken Angrok hidup di tengah zaman yang tidak memungkinkan bagi seorang anak dusun untuk tampil ke muka. “Faham demokrasi yang memberi kesempatan anak rakyat jelata, dilahirkan oleh struktur sosial ekonomis, bukan agraris,” catatnya.

Ketika Pararaton menyebut adanya rapat para dewa di Gunung Lejar, di situlah hak Ken Angrok atas takhta Tumapel diratifikasi. Sidang para dewa itu menurutnya bisa diterjemahkan sebagai kongres para brahmana.

“Mereka ini bukan badut-badut untuk secara gegabah mendudukan anak kampungan dari Pangkur di atas takhta Tumapel,” ujarnya.

Pun, kata Warsito, tak mungkin ada anak desa yang namanya tertulis dalam sejarah. Apalagi dalam kitab sejarah resmi. Pasalnya, dia berpikir kalau Pararaton adalah karya yang ditelurkan untuk mendukung takhta Girindrawardhana, raja Majapahit.

Ditambah lagi, kisah tentang “anak desa” itu lengkap dengan nama ibu, nama desa, dan riwayat hidupnya. “Yang biasa diketahui asal usulnya itu hanya anak raja. Juga tak ada nama wanita dicatat oleh sejarah kalau bukan ratu,” lanjutnya.

Teori lainnya datang dari Boechari. Dalam artikelnya “Ken Angrok: Bastard Son of Tunggul Ametung?” (1975), ia memberikan penjelasan kalau Dewa Brahma yang memperkosa Ken Endok adalah seorang penguasa daerah di lereng timur Gunung Kawi.

Sebagai seorang penguasa, dia lepas dari jangakauan hukum. Dia bahkan punya kekuasaan untuk menyingkirkan laki-laki yang menjadi suami sah dari seorang perempuan yang diinginkannya. Mengingat Ken Angrok dengan mudahnya dapat diterima pengabdiannya kepada Tunggul Ametung maka Boechari sampai pada kesimpulan Ken Angrok adalah anak Tunggul Ametung.

Anak Bangsawan

Suwardono sangsi dengan pendapat Boechari.

Pertama, Tunggul Ametung hanyalah seorang Akuwu Tumapel yang kekuasaannya tak lebih dari seorang kepala kuwu. Wilayahnya diduga tak seluas watak. Bahkan mungkin teritorial kuwu berada di bawah teritorial watak, tapi di atas desa.

Pasalnya tak pernah didapat dalam naskah maupun prasasti zaman Mataram hingga Majapahit bahwa kuwu terdiri dari beberapa desa (wanua pada masa Mataram, atau thani pada masa Kadiri). Karenanya disangsikan, apakah kedudukan Tumapel sebagai satuan kuwu pada waktu itu wilayahnya sampai kepada daerah lereng timur Gunung Kawi.

Padahal, dalam Pararaton disebutkan, ketika Ken Angrok membuat kerusuhan di daerah lereng timur Gunung Kawi, justru Raja Kadiri berkeinginan untuk menangkapnya. Sementara di sisi lain, Akuwu Tumapel berusaha untuk mengusirnya dari Tumapel.

Kedua, disebutkan dalam naskah, Ken Angrok seringnya berbuat kerusuhan di wilayah lereng timur Gunung Kawi. Dia pun terancam disirnakan oleh Tunggul Ametung sebagai tuan pejabat yang berkuasa atas keamanan daerah. Sementara di sisi lain ketika Ken Angrok akan dibunuh ramai-ramai oleh masyarakat, ada Dewa Brahma selalu berteriak agar anaknya tidak dibunuh.

Menyoal Dewa Brahma yang dianggap sebagai alat legitimasi Ken Angrok, baik Suwardono maupun Warsito punya pandangan lain. Warsito bilang, Pararaton mengandung banyak petunjuk yang seharusnya bisa dipahami oleh pembaca Indonesia. Katanya, orang Indonesia terbiasa menulis dengan cara tidak terus terang, penuh dengan kiasan dan semu.

Begitu juga Suwardono. Dia menyebut Pararaton yang ditulis dalam lingkup masyarakat magis mistis itu hanya meminjam tokoh pencipta atau pembuah yang bersifat maskulin ini. Penulis naskah itu memperhalus penyebutannya dengan mengatasnamakan sang dewa pencipta, yaitu Dewa Brahma.

Jadi, kuat dugaannya kalau tokoh yang bersangkutan sebagai pembuah Ke Endok adalah seseorang yang berkedudukan tinggi dalam struktur pemerintahan kerajaan. Bisa raja, menteri, atau siapa saja yang berada dalam jajaran bangsawan keraton.

“Batara Brahma dalam panteon Hindu merupakan tokoh dewa pencipta. Sang pencipta atau pembuah dalam konteks manusia adalah seorang laki-laki,” lanjut Suwardono.

Yang jelas, argumen kalau ayah Ken Angrok adalah seorang bangsawan sudah dipertegas lewat prasasti. Informasi itu ada di dalam Prasasti Mula-Malurung (1255 M).

“Juga ketika pendirian bangunan suci untuk buyut lelaki sang prabu, ia yang didharmakan di Kalang Bret,” catat Prasasti Mula Malurung lempeng IIIa.

Keterangan itu kemudian diperjelas lagi dalam Prasasti Mula-Malurumg lempeng IIb. Di situ disebutkan soal kakek Prabu Nararya Semining Rat yang didharmakan di Kagenengan sebagai Wisnu.

“Jika kakek sang prabu adalah Ken Angrok, maka buyutnya adalah ayah Ken Angrok,” lanjut Suwardono.

Padahal, menurut kebiasaan pada masa itu, yang dibuatkan pendharmaan oleh keturunannya pastilah bangsawan. Makanya, dalam hal ini bisa dibilang kalau ayah Ken Angrok kemungkinan besar adalah seorang bangsawan tinggi. [HS]

Related posts

Sampai Jumpa, Ken Arok! 2

Ki Banjar Asman

Gerbang Pasukan Khusus 2

Ki Banjar Asman

Perwira 7

Ki Banjar Asman