“Dapatkah engkau bayangkan tanggapan gurumu jika ia mendengarmu terluka parah dan harus melewatkan waktu berbulan-bulan ditempat adik seperguruannya?” lanjut Nyi Retno.
Bondan menggeleng.
“Apakah engkau telah menimbang perasaan dan pikiran bibi seandainya engkau terluka? Dan aku dapat melihat bahwa memang engkau telah terluka,” nada lembut terdengar di balik ketegasan Nyi Retno. “Meski aku dapat menerima alasanmu tetapi menghadapi dua orang musuh sekaligus? Apakah engkau mempunyai kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan itu?”
Tidak ada jawaban dari mulut Bondan.
Nyi Retno menarik napas panjang. Kemudian katanya, “Segala yang engkau alami telah berlalu. Tetapi jika engkau masih berkehendak mengabaikan bibi dan gurumu, setidaknya kau dapat berpikir tentang masa yang akan berada di bawah arahanmu… Engkau memiliki masa depan di Pajang dan itu sedang menunggumu.”
Selepas Nyi Retna mengurai panjang lebar tentang kelanjutan cara penyembuhan, ia mengatakan pada Bondan bahwa keponakannya ini dapat menggunakan sebuah bangunan kecil di bagian belakang rumah. Mereka mengakhiri percakapan dan Bondan menuju tempat yang ditunjuk oleh bibinya,
“Tenggelam dalam kesunyian dengan mengheningkan cipta. Meniadakan segala daya. Melarutkan segala yang melekat.” Berulang-ulang Bondan mengucap lirih setiap pesan bibinya.
Pada malam itu, Bondan akan menghabiskan waktu di dalam bilik gelap di dalam candi. Ia akan berada di tempat itu selama waktu yang telah ditentukan oleh bibinya. Bondan tengah berada di dalam tahap terakhir penyembuhan bagian dalam tubuhnya yang terluka dalam pertarungan di Sumur Welut. Untuk itulah ia memulihkan tubuh dan berlatih dalam ruang gelap supaya daya ketajaman pendengarannya segera pulih. Seringkali ia melewatkan waktu malam untuk duduk di bagian dalam candi.
“Apakah seperti ini suasana di dalam rahim ibu? Tidak salah karena memang tidak ada jalan masuk bagi cahaya ke dalamnya. Aku tidak dapat mengandalkan kedua mata ini untuk mengenali setiap benda atau apa saja yan gberada di dalam ruang ini. Begitu pun jika aku berada di luar candi, sudah tentu tidak cukup hanya berbekal pendengaran dan penglihatan saja.
“Selaras dengan kehidupan yang berputar karena matahari selalu kembali pada tempat terbit. Pelepasan setiap yang terang akan menggeser pandangan menjadi gelap, dan sebaliknya, dan seterusnya.
“Aku akan memastikan agar selalu mendengar itu, Bibi. Guru,” Bondan berkata pada dirinya sendiri.
Hari demi hari dilaluinya dengan latihan dan latihan. Terkadang ia berlatih di bawah gemericik air terjun kecil yang dibuatnya sendiri. Tak jarang pula ia berlatih tanding dengan Gumilang dalam keadaan mata tertutup dengan iringan tabuhan-tabuhan yang berisik.
[penci_related_posts title=”Saran Bacaan” number=”4″ style=”grid” align=”none” displayby=”cat” orderby=”trending”]
Dalam lengang di sekitar candi terdengar teriak Bondan kesakitan dari dalam bilik gelapnya. Sela Anggara yang segera menerobos masuk bilik yang berdinding batu itu. Ia merengkuh tubuh Bondan dan membawanya ke luar.
“Ada apa, Bondan? Jangan engkau paksakan dirimu. Harusnya engkau sedikit bersabar. Semakin kau paksa daya tahan, luka-luka itu akan semakin susah untuk sembuh,” kata Sela Anggara yang terkejut melihat darah yang keluar dari telinga Bondan.
“Iya. Aku sedikit memaksa kali ini. Aku pikir kurang sedikit lagi,” ujar Bondan sambil memberi isyarat mendekatkan jari telunjuk dan ibu jarinya.
“Mari, aku bantu.” Sela Anggara melakukan beberapa pijatan pada leher dan punggung Bondan untuk membebaskannya dari rasa sakit untuk sementara waktu.