Sejarah Tarumanegara Pada Abad ke-5 M, Kerajaan Tarumanegara mengalami masa kejayaan di bawah pimpinan Raja Purnawarman. Ia dikenang di beberapa prasasti sebagai raja yang menggerakkan sejumlah proyek raksasa.
Sekitar tahun 419 Masehi, Raja Purnawarman memulai sebuah megaproyek infrastruktur di Sungai Citarum, kali terpanjang di tanah Pasundan. Sungai yang mengalir dari Bandung hingga Karawang tersebut dikeruk untuk kebutuhan irigasi, sekaligus mengurangi potensi banjir. Pengerukan Citarum hanya satu dari sederet proyek besar di masa raja ketiga Tarumanegara yang naik tahta sejak 12 Maret 395 M tersebut. Cucu pendiri Tarumanegara, Jayasingawarman (358-382 M) itu sepertinya mencintai sungai dan memperhatikan betul upaya mencegah bencana banjir. Lain itu, perekonomian Tarumanegara memang bergantung pada pertanian sehingga sungai mempunyai peran vital.
Selama dekade kedua abad ke-5 M, Purnawarman tercatat menelurkan sedikitnya 5 proyek besar untuk membenahi aliran sungai demi menangkal banjir, terutama di wilayah yang saat ini bernama Jakarta. Terbentuknya Sungai Gomati yang kini dikenal dengan nama Kali Cakung, jadi salah satu bukti keseriusan Purnawarman membentuk “peradaban sungai” di wilayah kerajaannya. Berkat upaya itu, Purnawarman dihormati oleh rakyat Tarumanegara. Saluran yang telah berhasil dibuatnya bersama masyarakat secara gotong royong telah memberikan dampak besar terhadap ekonomi rakyat Tarumanegara dan juga kerajaan.
Daftar Prasasti Peninggalan Tarumanegara
Sumber informasi utama tentang kiprah Raja Purnawarman dan perkembangan Tarumanegara jadi kerajaan besar pada belasan abad silam terdapat di sejumlah prasasti kuno yang ditemukan pada masa modern. Hingga saat ini, ketika sisa-sisa karya besar Raja Purnawarman masih bisa dijumpai di keberadaan sungai yang awalnya adalah kanal buatan, seperti Kali Cakung dan Kali Bekasi (dulu disebut Sungai Candrabhaga), setidaknya telah ditemukan 7 prasasti kuno peninggalan Kerajaan Tarumanegara.
Berikut daftar 7 prasasti peninggalan Tarumanegara yang sudah ditemukan :
1. Prasasti Ciaruteun Prasasti Ciareteun diketahui dari laporan dari pimpinan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang menemukannya di kawasan Bogor pada tahun 1863. Batu prasasti ini ditemukan di Situs Ciaruteun, sekitar 19 km sebelah barat daya Kota Bogor, dan berada di ketinggian 320 mdpl. Belakangan, batu Prasasti Ciaruteun dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi, yakni lokasi keberadaannya saat ini di Kampung Muara, Ciaruteun Hilir, Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Ditemukan di pinggir sungai Ciaruteun dan dekat muara kali Cisadane, pada batu tersebut tertulis huruf Pallawa berbahasa Sanskerta. Terdapat 4 baris tulisan di prasasti yang terukir di permukaan batu andesit, dengan tinggi 151 cm, diameter atas 72 cm, dan diameter bawah 134 cm tersebut.
Di prasasti Ciaruteun, ada pula gambar bermotif laba-laba dan pahatan sepasang telapak kaki Raja Purnawarman. Pahatan dua telapak kaki Purnawarman itu diduga melambangkan kekuasaan atas sebuah daerah tempat prasasti Ciaruteun ditempatkan. Pahatan itu juga melambangkan kekuasaan dan eksistensi Raja Purnawarman yang dihormati layaknya seorang dewa. “Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak kaki Yang Mulia Purnawarman, raja negara Taruma (Tarumanegara), raja gagah berani di dunia,” demikian arti sebagian tulisan di Prasasti Ciareteun.
Ada dua bagian inskripsi di batu itu, yang disebut Prasasti Ciaruteun-A dan Prasasti Ciaruteun-B. Empat baris tulisan huruf Pallawa terdapat di bagian Prasasti Ciaruteun-A. Sedangkan gambar 2 tapak kaki dan pahatan bermotif laba-laba berada di Prasasti Ciaruteun-B. Berdasarkan bentuk tulisannya, Prasasti Ciaruteun diperkirakan dipahat pada abad ke-5 M. Namun, hingga kini belum semua tulisan di Prasasti Ciaruteun dapat dipahami maksudnya. Makna sebagian pahatan tulisan di Prasasti Ciareteun belum bisa dipahami karena dibuat dengan model penulisan aksara kursif, dan bentuknya tidak sama dengan huruf Pallawa standar di kalimat yang sudah bisa dipahami maksudnya.
2. Prasasti Jambu
Prasasti di atas batu yang berisi tulisan Pallawa dan berbahasa Sanskerta ini dikenal juga sebagai Prasasti Koleangkak. Prasasti ini ditemukan dari sebuah perkebunan jambu di bukit Koleangkak, area yang berjarak 24 km sebelah barat dari Kota Bogor. Penemuan prasasti ini pertama kali dilaporkan oleh J. Rigg pada tahun 1854. Prasasti ini kemudian dialihaksarakan dan diterjemahkan oleh J.Ph. Vogel (1925) dalam The Earliest Sanskrit Inscription of Java, dan oleh R.M. Ng. Poerbacaraka (1952) di buku Riwayat Indonesia I. Prasasti yang terpahat di atas batu andesit serupa segi tiga dengan panjang sisi tidak sama itu pun memuat tanda sepasang telapak kaki Raja Purnawarman. Pahatan tapak kaki sang raja di prasasti Jambu dipahami sebagai lambang pujian terhadap kekuasaannya.
3. Prasasti Kebon Kopi
Ditemukan saat penebangan hutan untuk perluasan perkebunan kopi di area kampung Muara Hilir, Cibungbulang, Bogor, prasasti Kebon Kopi memuat tulisan beraksara Pallawa bahasa Sansekerta, dan gambar sepasang telapak kaki gajah. Ketika dialihbahasakan prasasti ini bertuliskan “Di sini tampak sepasang tapak kaki … yang seperti (tapak kaki) Airawata. Gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam … dan (?) kejayaan.”
Huruf pada prasasti Kebon Kopi terlihat lebih kecil daripada Prasasti Ciaruteun. Pahahatannya juga tidak terlalu dalam. Baca juga: Sejarah Kerajaan Sriwijaya, Lokasi, & Pusat Pengajaran Agama Buddha Laporan tentang keberadaan prasasti Kebon Kopi pertama kali disampaikan oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864. Setelah itu, menyusul beberapa penjelasan tentang prasasti yang terpahat pada batu andesit ini.
Beberapa penjelasan awal mengenai Prasasti Kebon Kopi ditulis oleh J.F.G Brumund (1868), A.B. Cohen Stuart (1875), P.J Veth (1878, 1896), H. Kern (1884, 1885, 1910), R.D.M. Verbeek (1891), J.Ph. Vogel (1925), dan lainnya.
4. Prasasti Muara Cianten
Batu yang berbentuk oval ini ditemukan di Bogor. Tulisan huruf Ikal atau Sangkha di batu tersebut belum dapat dibaca hingga saat ini. Penemuan prasasti yang terdapat di kawasan Bogor tersebut pertama kali dilaporkan oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864. Prasasti Muara Cianten ditemukan di area yang berjarak 600-an meter dari lokasi penemuan batu Prasasti Kebon Kopi. Ia ditemukan di tepi Sungai Cisadane dan berjarak kurang lebih 50 meter ke muara Kali Cianten.
Terpahat di atas batu andesit berbentuk hampir lonjong (oval) dengan ukuran sekitar 2,7 x 1,4 x 1,4 meter, prasasti Muara Cianten masih berada di tempat asalnya dan kondisinya kurang terawat. Prasasti di kawasan Kampung Muara, Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor ini kerap terendam ketika aliran Sungai Cisadane dan Kali Cianten meluap.
5. Prasasti Pasir Awi
Di prasasti Pasir Awi terdapat piktograf bergambar sebatang dahan, daun, ranting dan buah yang dipercaya sebagai gambaran angka tahun oleh Rogier Diederik Marius Verbeek, seorang geolog dan ilmuwan naturalis Belanda (1845-1926). Ditemukan oleh seorang arkeolog Belanda, N.W. Hoepermans. S, prasasti Pasir Awi pun memuat pahatan dua tapak kaki yang tidak berdekatan: satu menghadap ke arah utara, dan satu lagi ke timur. Mengutip penjelasan di laman Kemendikbud, pahatan tersebut diyakini menggambarkan dua tapak kaki milik Raja Purnawarman. Tidak ditemukan adanya aksara yang dapat dibaca di prasasti Pasir Awi. Maksud dari pahatan pada batu tempat prasasti berada juga belum dapat diartikan secara pasti oleh para peneliti. Beberapa bagian di permukaan prasasti Pasir Awi juga sudah aus. Berbeda dari 6 prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara lainnya yang berada di dekat aliran sungai, prasasti Pasir Awi justru ditemukan di atas bukit dengan ketinggian 559 mdpl. Prasasti ini ditemukan di lereng selatan bukit Pasir Awi yang sekarang merupakan kawasan hutan perbukitan sebelah barat Cipamingkis yang masih termasuk wilayah Kabupaten Bogor. Keberadaan prasasti ini sudah diketahui sejak tahun 1864, tetapi sampai sekarang masih berada di tempat penemuannya semula.
6. Prasasti Cidanghiyang Ditemukan pada tahun 1947, tepat pinggir sungai Cidanghiang, di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, Prasasti Cidanghiyang memuat 2 baris tulisan bahasa Sanskerta yang dibuat dengan huruf Pallawa. Terpahat di atas batu andesit berukuran 3 x 2 x 2 meter, huruf tulisan di Prasasti Cidanghiang yang berukuran relatif besar masih mudah dibaca, meski bagian atas sebelah kanan batu pecah dan ada beberapa inskripsi yang lenyap. Isinya pujian terhadap Raja Purnawarman. “Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia, Yang Mulia Purnnawarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja,” demikian arti inskripsi dalam Prasasti Cidanghiyang, yang dilansir laman Cagar Budaya Kemendikbud.
Penemuan prasasti ini diungkapkan pertama kali oleh TB. Roesjan, pada tahun 1947. Namun, baru di tahun 1954, penelitian terhadap prasasti ini mulai dipublikasikan Casparis dan Boechari. Tulisan di prasasti Cidanghiyang (atau disebut juga Prasasti Munjul) membuktikan bahwa kawasan Banten dahulu masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara pada era Raja Purnawarman.
7. Prasasti Tugu Batu
Prasasti Tugu terpahat berisi tulisan sangat panjang, melingkar, dan memuat banyak informasi. Prasasti Tugu merupakan prasasti terpanjang yang dikeluarkan oleh Raja Purnawarman. Mengutip keterangan di laman Cagar Budaya Kemendikbud, Prasasti Tugu menerangkan 2 proyek di masa Raja Purnawarman yang hasilnya kini masih terlihat. Kedua megaproyek itu ialah penggalian kanal untuk aliran Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru, dan pembuatan saluran air baru untuk Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km. Kanal untuk Sungai Gomati digali pada tahun ke-22 masa pemerintahan Raja Purnawarman dan selesai hanya dalam waktu 22 hari.
“Dulu (sungai yang bernama) Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan mempunyai lengan kencang dan kuat (Raja Purnnawarman) untuk mengalirkannya ke laut, setelah (sungai ini) sampai di istana kerajaan yang termahsyur,” demikian arti sebagian inskripsi berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta yang terpahat di 5 baris tulisan dalam Prasasti Tugu.
Meskipun tidak tercantum angka tahun, bentuk huruf Pallawa di Prasasti Tugu menunjukkan bahwa inskripsi tersebut dibuat pada pertengahan abad 5 M. Huruf Prasasti Tugu juga mirip dengan yang tertulis di Prasasti Cidanghiang.
Batu Prasasti Tugu tidak hanya memuat tulisan, melainkan juga pahatan gambar tongkat berujung mirip trisula. Gambar tongkat tegak lurus itu menjadi pembatas untuk setiap baris tulisan di batu Prasasti Tugu.
Ditemukan di Kampung Batu Tumbuh, kelurahan Tugu, Koja, Jakarta Utara, trasnkripsi tulisan yang termuat dalam prasasti ini pertama kali dikerjakan oleh H. Kern (1885, 1910, 1911). Lantas, penafsiran atas isi prasasti yang terpahat batu andesit berbentuk bulat telur dengan tinggi satu meter tersebut dikerjakan oleh N.J. Krom (1926, 1931), F.D.K. Bosch (1951, 1961), R.M.Ng. Poerbatjaraka (1952), serta J. Noordyun dan H. Th. Verstappen (1972). Pada tahun 1911, batu prasasti Tugu dimasukkan Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) atas usaha P. de Roo de la Faille. (sumber)