Rasa terkejut memenuhi dada Ki Tumenggung Suradilaga. Ia dapat menduga bahwa mengundang Adipati Pajang merupakan pertanda ada kejadian atau rencana penting yang akan dikemukakan Sultan Trenggana. Tetapi ia tidak menyangka akan dibekali pusaka keramat Kesultanan Demak Bintara, keris Sabuk Inten.
“Kemarilah!” perintah Sultan Trenggana yang telah berdiri dan memegang Keris Sabuk Inten. Ki Tumenggung Suradilaga beringsut maju setapak demi setapak. Tangan Ki Tumenggung Suradilaga bergetar hebat saat menerima pusaka dari tangan Sultan Trenggana. Kening Ki Tumenggung sedikit mengembun saat ia menyimpan dengan hati-hati pusaka itu ke sebuah kantung kulit yang kemudian ia selempangkan di depan dada.
“Ki Tumenggung,” kata Sultan Trenggana penuh wibawa sesaat setelah kembali ke tempat duduknya, ”Bagaimana menurutmu jika aku meminta Pajang mengirim pasukan untuk bergabung dengan Demak?”
Ki Tumenggung Suradilaga tidak segera menjawab. Pikirannya masih dilintasi pertanyaan mengenai landasan Sultan Trenggana dengan memberinya pusaka keraton sebagai pertanda kehadirannya. Tentu saja Ki Suradilaga menjadi heran dan bertanya-tanya karena masih banyak pusaka yang sebenarnya dapat menjadi wakil kehadiran pemimpin Demak. Meski begitu, akhirnya Ki Tumenggung segera mengalihkan perhatiannya pada pertanyaan yang diajukan Sultan Trenggana.
“Adipati Pajang sudah barang tentu akan senang dapat membantu Demak. Sebagai seseorang yang pernah menjadi lurah wiratamtama, tentu saja Kanjeng Adipati Pajang akan dapat membantu Kanjeng Sultan menyusun rencana penyerangan,” jawab Ki Tumenggung Suradilaga.
[penci_related_posts title=”Saran Bacaan” number=”4″ style=”grid” align=”none” displayby=”trending” orderby=”random”]
“Begitukah?”
Ki Tumenggung Suradilaga menganggukkan kepala. Ia seolah mengingatkan Sultan Trenggana tentang seorang lelaki yang mempunyai ketajaman nalar di atas rata-rata dan ilmu kanuragan yang mungkin berjarak satu dua lapis dari Raden Trenggana sendiri.
Raden Trenggana mengangguk-angguk kecil. Lalu katanya, ”Kau tidak dapat segera mencapai Pajang dalam waktu yang singkat. Aku juga memintamu untuk mengamati sambil mengembangkan penelusuran untuk membuka singkap yang menutupi orang-orang yang kau katakan telah menebar benih keraguan dalam hati prajurit-prajuritku. Dan dalam perjalanan menuju Pajang, aku minta kau juga menempatkan satu dua orang yang dapat mengawasi keadaan yang mungkin saja dapat berubah. Maksudku, orang-orang itu dapat saja mengikutimu kemudian menyergap Angger Mas Karebet dalam perjalanan menuju kemari.”
“Saya perhatikan itu, Raden!” tegas Ki Tumenggung Suradilaga menanggapi permintaan Raden Trengana.
“Nah sekarang berangkatlah. Tidak boleh ada seorang pun yang tahu kepergianmu ke Pajang. Lalu kau tunjukkan pusaka itu apabila kau telah berada di hadapan Angger Mas Karebet.” Kemudian Raden Trenggana meminta Ki Suradilaga maju lebih dekat, lalu mengatakan beberapa patah kata dengan berbisik. Sesekali Ki Tumenggung terlihat menganggukkan kepala dengan kening berkerut. Beberapa lama kemudian Sultan Trenggana bangkit berdiri dan melangkah keluar ruangan diikuti Ki Tumenggung Suradilaga beberapa langkah dibelakangnya.
Waktu telah beranjak setapak demi setapak menuju fajar, Ki Tumenggung Suradilaga kencang memacu kuda melintasi lorong-lorong jalan yang menyimpang dari jalan utama. Ia telah berulang kali mendapatkan tugas khusus dari Sultan Trenggana, namun ia sekarang didera kegelisahan yang cukup mendalam. Betapa ia harus menemui Adipati Pajang dengan membawa sebilah piandel yang cukup disegani oleh orang-orang penting di seluruh tlatah Demak.
“Aku tidak akan keberatan jika akhirnya harus pulang dengan kepala yang tertinggal entah dimana, tetapi keris ini benar-benar menjadikan tugas ini seperti berlipat ganda beratnya,” desah Ki Tumenggung dalam hatinya. Ia berhenti lalu menuntun kudanya menuruni lembah menuju sungai kecil yang berada tidak jauh dari jalan yang cukup dapat dilewati dua ekor kuda berpapasan.
Matahari mulai menyemburkan warna merah di kaki langit. Daun-daun berkilauan tertimpa cahaya pagi. Hutan kecil yang terbelah oleh jalanan sempit itu kini mulai bangkit dari tidurnya. Binatang-binatang liar melangkah menggerakkan kaki menyambut fajar baru seiring dengan kicau burung yang terbang di sela-sela dahan dan pepohonan yang besar.
“Jika tidak ada penghalang dalam perjalanan ini, mungkin aku akan memasuki Pajang pada saat matahari berada di puncak,” ia berkata pelan pada dirinya sendiri dan membiarkan kudanya meneguk air dari sungai kecil yang mengalir diantara sela-sela pepohonan. Ki Tumenggung Suradilaga meraba tali yang menyilang di dadanya seakan ingin memastikan jika piandel itu tidak terjatuh dalam perjalanan. Dalam pada itu, pendengaran tajam Ki Tumenggung mendengar gemerisik langkah kaki yang menginjak rerumputan dan daun-daun yang basah. Ki Tumenggung dengan cekatan segera menyembunyikan diri, namun begitu ia tetap waswas karena kuda tunggangannya tidak akan sempat dituntunnya di balik semak-semak.