“Sebenarnya saya telah menelusuri kebenaran berita itu sesaat setelah aku mendapat laporan. Dan sampai hari ini, aku harus mengakui jika mereka benar-benar mempunyai perhitungan yang masak pada setiap berita yang mereka hembuskan.”
Raden Trenggana menyimak dengan dahi berkerut. Sesekali ia menarik napas dalam-dalam. Raden Trenggana masih meraba tentang sosok yang dimaksud oleh Ki Tumenggung Suradilaga.
Lalu Raden Trenggana bertanya, ”Apa yang menjadi landasan pemikiranmu hingga menilai mereka sangat cakap dalam membuat perhitungan?”
“Saat ini, dalam pengamatanku, beberapa kelompok prajurit mulai mengalami gesekan-gesekan kecil. Maksud saya adalah kelompok-kelompok prajurit sekarang tidak lagi mempunyai rasa kebersamaan dalam lapisan yang seperti dahulu atau beberapa bulan yang lalu,” Ki Tumenggung Suradilaga merasakan suaranya bergetar lain dari biasanya. Ada khawatir dalam hatinya jika keterangannya akan membuat Sultan Trenggana menjadi marah.
“Apakah mereka membuat kabar buruk tentang aku?”
“Tidak.”
“Apakah mereka menebar rasa takut pada rakyatku?”
“Tidak.”
“Lalu apa yang mereka katakan?”
“Mereka mengulang kata-kata Anda tentang rencana penyerbuan ke wilayah timur. Lalu mereka menyertakan sejumlah pertanyaan yang sebenarnya sulit dijawab oleh para prajurit. Dan justru kesulitan untuk menjawab pertanyaan itulah yang membuat sendi keprajuritan menjadi retak. Beberapa lurah bahkan berani membantah perintah seorang rangga.”
[penci_related_posts title=”Sayang Bila Dilewatkan” number=”4″ style=”grid” align=”none” displayby=”cat” orderby=”trending”]
Raden Trenggana yang masih belum dapat menerima keterangan Ki Tumenggung Suradilaga kemudian bertanya,” Bukankah aku telah katakan pada para pemimpin prajurit tentang alasan itu?”
“Benar. Anda telah mengatakan itu pada kami semua.”
“Lalu mengapa para rangga dan tumenggung tidak menghukum mereka yang membangkang?”
“Kami bukan tidak berani menghukum mereka, Raden,” Ki Suradilaga tidak meneruskan kata-katanya. Rasa bimbang menghampirinya.
[penci_related_posts title=”Sayang Bila Dilewatkan” number=”4″ style=”grid” align=”none” displayby=”cat” orderby=”trending”]
“Katakan saja!”
Agak ragu-ragu Ki Tumenggung untuk berkata. Ia diam lalu membulatkan tekadnya sekalipun di kemudian hari sebagian pemimpin yang lain akan kecewa dengan sikapnya.
“Raden Trenggana, sebenarnya aku telah bersepakat dengan beberapa tumenggung untuk tidak mengatakan kabar tidak jelas itu di hadapanmu. Tetapi, sebagai pemimpin kami, Anda berhak untuk mengetahui keadaan yang sedang berkembang,” desis Ki Tumenggung dalam hatinya.
“Katakan, Ki Suradilaga! Anda adalah seorang senapati yang dibanggakan para prajurit. Senapati telik sandi yang memiliki kecerdasan luar biasa. Seorang tumenggung yang akan mengorbankan apa saja demi kejayaan Demak,” tegas Raden Trenggana berkata-kata. Sementara Ki Tumenggung Suradilaga membenamkan wajah dalam-dalam.
Kemudian Ki Suradilaga berkata, ”Kanjeng Sultan, orang-orang ini telah menanyakan kesiapan Demak. Dan mengatakan pada para prajurit jika Demak sebenarnya tidak mempunyai persiapan dan kelengkapan yang dapat mengatasi kadipaten-kadipaten di daerah timur. Bahkan mereka mengatakan jika kemenangan Demak adalah pemberian dari para adipati untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak. Kata-kata mereka ini ternyata mampu mengusik nalar prajurit. Beberapa lurah bahkan berani untuk menolak perintah rangga untuk melakukan latihan gelar perang dan kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengan persiapan Kanjeng Sultan.”
“Lalu kalian membiarkan pembangkangan itu terjadi?”
“Demikianlah, Raden Trenggana. Ketika seorang lurah mendapat hukuman, sejumlah prajuritnya berani mengangkat senjata dan hampir saja terjadi pertempuran di barak yang terletak di Kedungjati. Para prajurit itu secara nyata menawan empat orang anak buahku. Pada saat prajurit yang dikirim oleh Ki Patih telah tiba disana, seorang penghubung mengatakan padaku apabila telah terjadi peristiwa serupa di barak yang lain,” Ki Suradilaga mengambil jeda sejenak. Ia kemudian meneruskan, ”Untuk itulah Ki Patih meminta kami semua untuk tidak mengatakan peristiwa-peristiwa itu pada Anda hingga kami dapat mengungkap sosok yang berada di balik pembangkangan di dua barak itu.”
“Mengapa Paman Patih tidak mengatakannya padaku?” Sultan Trenggana bertanya-tanya dalam hatinya.
“Ki Patih Kusumanegara tidak ingin setiap persiapan ke Panarukan menjadi terganggu. Setiap benturan antar prajurit akan membuat mereka semakin lemah,” kata Ki Tumenggung Suradilaga.
[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Inline Related Posts” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”none” withids=”” displayby=”tag” orderby=”rand”]
“Baiklah, aku akan berbicara dengannya mengenai peristiwa itu,” kata Sultan Trenggana kemudian. Dentang dalam dadanya yang berpacu cepat itu kini mulai agak mengendap. Tatap mata tajam seperti menyiratkan kemarahan yang mulai padam. Ia berkata lagi, ”Kini aku akan katakan padamu. Aku minta kau berangkat ke Pajang dan menemui Adipati Hadiwijaya. Bawalah pusaka Sabuk Inten sebagai pertanda jika aku datang secara pribadi. Sampaikan padanya, aku mengundangnya datang ke Demak.”