“Paman Patih, aku akan katakan pada mereka bahwa ini semua adalah urusan keluarga yang belum terselesaikan, dan aku yakin mereka akan memahaminya. Karena memang itulah yang menjadi kenyataan jika para adipati di wilayah timur adalah saudara muda Demak,” ucap Raden Trenggana sebelum berhenti sejenak. Kemudian dengan sedikit rasa geram ia berdesis, ”Dan sudah sepantasnya seorang saudara tua memberi hukuman pada mereka.”
Untuk beberapa lama kemudian ketiga orang itu menyusun langkah-langkah yang perlu dilakukan setelah laporan dari para petugas sandi dan penghubung di setiap kadipaten telah terkumpul. Pembicaraan berlangsung hingga lewat tengah malam, sesekali Raden Trenggana bertanya untuk menguji siasat yang diajukan kedua bawahannya itu. Raden Trenggana agaknya benar-benar tidak ingin mengalami kekalahan dalam perjalanan menuju Panarukan ini. Ia tidak ingin peristiwa yang membuatnya malu itu dapat menimpanya. Pendapat Ki Patih Kusumanegara dan Ki Tumenggung Wilaguna yang diutarakan pada awal pembicaraan benar-benar membuka wawasannya tentang siasat baru.
“Saya kira sebaiknya Anda mengundang Kanjeng Adipati Pajang agar dapat urun rembug tentang rencana ini. Setidaknya kehadiran beliau dapat menambah wawasan dan kemampuan yang telah ada di Demak,” Ki Patih Kusumanegara memberi usulan. Ki Tumenggung Wilaguna mengganggukkan kepala menyetujui usulan Ki Patih yang sudah berusia lanjut itu.
“Baiklah Ki Patih. Aku terima usul Ki Patih. Dan secepatnya aku akan mengirim utusan ke Pajang. Kita lanjutkan pembicaraan ini setelah aku mendapat laporan terbaru dari kemampuan para prajurit dan persiapan di Jepara,” Sultan Trenggana menutup pertemuan.
Sepeninggal Ki Patih Kusumanegara dan Ki Tumenggung Wilaguna, Sultan Trenggana memanggil pemimpin yang secara khusus membawahi para petugas sandi, Ki Tumenggung Suradilaga. Sejenak kemudian seorang lelaki yang bermata tajam dan berusia sama dengannya telah berdiri di hadapannya.
[penci_related_posts title=”Sayang Bila Dilewatkan” number=”4″ style=”grid” align=”none” displayby=”cat” orderby=”random”]
“Sebelum aku mengatakan apa yang akan menjadi tanggung jawabmu, katakan apa yang kau ketahui mengenai keadaan menuju Pajang, Ki Tumenggung Suradilaga,” berkata Sultan Trenggana.
Ki Suradilaga sejenak mengatur diri, kemudian ia menjawab, ”Jalan-jalan dan keadaan di sekitarnya tidak berbahaya. Itu adalah keterangan dari petugas sandi yang aku kumpulkan.” Ia berhenti sejenak. Lalu berkata selanjutnya, ”Meskipun para petugas sandi menyampaikan seperti itu, saya belum sepenuhnya dapat meyakini kebenaran keterangan mereka.”
“Apa yang terjadi dalam pasukan sandi yang kau pimpin?”
“Tidak ada, Kanjeng Sultan.”
“Lalu mengapa kau berkata tidak dapat meyakini kebenaran keterangan-keterangan dari petugasmu?” Dahi Sultan Trenggana berkerut. Ia mengubah letak duduknya lalu berkata, ”Baiklah. Kita letakkan keraguanmu itu dalam lingkup yang lebih luas supaya aku dapat mengerti dari sudut pandang yang lain.”
Ki Tumenggung Suradilaga menarik napas dalam-dalam. Kemudian katanya, ”Memang seperti itulah yang mereka katakan pada saya. Dan sebagai pemimpin mereka, saya harus menerima laporan mereka. Tetapi, saya juga mempunyai cara lain yang dapat dijadikan sebagai pembanding setiap laporan yang tiba di depan saya.”
Sultan Trenggana menangkap keraguan yang terpancar dari wajah Ki Tumenggung Suradilaga. Ia merenung sesaat kemudian berkata, ”Ki Tumenggung, tidak ada salahnya bila kau katakan apa yang menjadi sebab keraguanmu. Dan aku yakin akan ada jalan keluar bila kau juga mengatakan laporan yang kau anggap sebagai pembanding.” Ia menarik napas panjang. Dengan mata lurus menatap wajah Ki Suradilaga, Sultan Trenggana berkata lagi dengan tegas, ”Aku tidak meragukan kesetiaanmu. Atau mungkin justru kau telah mendapat keterangan yang lebih penting?”
Jantung Ki Suradilaga berdentang lebih kencang dengan pertanyaan terakhir Raden Trenggana. Sebenarnya ia memang telah mendengar satu dua rencana dari para petugas sandi. Tetapi, ia belum dapat melakukan tindakan penting karena keterangan itu, menurutnya, masih belum jelas tujuannya meskipun mulai mengguncang sendi-sendi tata keprajuritan.
“Raden,” ia berkata kemudian. Agaknya Ki Tumenggung akan berkata dengan hati-hati agar Sultan Trenggana tidak salah memahami sehingga kemudian membuat keputusan yang salah. Ki Tumenggung melanjutkan, ”Saya mendapat keterangan yang berlainan dari para petugas sandi yang bertugas di setiap jengkal wilayah yang berada di antara Demak dan Pajang. Saya mendengar apabila ada satu atau dua pemimpin prajurit yang mempunyai keinginan yang berbeda dengan Kanjeng Sultan. Namun saya masih mendapat kesulitan untuk menembus dinding tebal yang berada di antara kami.