Sabuk Inten 13

oleh

“Kau sangat teliti, Ngger. Baiklah, lalu apa rencanamu berikutnya?”

“Kita berada dalam jarak yang lumayan jauh dari mereka, dan apabila mereka mempunyai kemampuan maka kita tidak dapat menghindar dari sebuah benturan yang terkadang aku tunggu-tunggu, Kiai,” jawab Kidang Tlangkas dengan wajah sungguh-sungguh.

“Tetapi aku tidak dapat membiarkanmu mendekati mereka dalam keremangan semacam ini. Lagipula kita belum mengetahui siapa mereka, lalu bagaimana kau membayangkan suatu perkelahian?” tanya pelan Ki Sedayu Tawang.

Kidang Tlangkas membuang wajah pada arah lain. Sungguh  ia juga tidak mengerti alasan untuk berkelahi dengan dua pergerakan yang tertangkap olehnya. “Saya tidak tahu, hanya saja itu akan terjadi. Malam ini mungkin akan sangat gelap, dan sebenarnya cukup membuat saya curiga dengan pergerakan keduanya di balik semak-semak. Kalau mereka bertujuan baik, mengapa menyamarkan keberadaan?” Setelah sedikit tarikan napas panjang, Kidang Tlangkas melanjutkan, “Apakah Anda punya maksud menyergap mereka dalam gelap sebentar lagi?”

“Tidak, Ngger. Aku akan membiarkan malam ini berlalu dengan biasa saja. Namun lebih baik jika engkau mengistirahatkan tubuh. Mungkin Sambi Sari memiliki sesuatu yang kita belum tahu lalu kita butuh tenaga untuk itu. Pastinya ada orang lain yang mungkin bertujuan sama dengan kita.”

Kidang Tlangkas manggut-manggut dan agaknya ia setuju dengan gagasan Ki Sedayu Tawang. Lantas ia berkata, ”Jika begitu, kita akan berdiam diri saja dan mendekam kelaparan?”

“Apakah kita akan mengundang kedua bayangan itu untuk makan malam bersama kita, Ngger?” kata Ki Sedayu Tawang dengan senyum mengembang tipis.

Kidang Tlangkas tersenyum kecut mendengarnya. Lalu ia memutar tubuh dan mengawasi rerimbun bambu yang berada ng mulai dirambati gelapmeraba pinggangnya yang terdapat sekantung kulit berisi air minum. Bagaimanapun juga Kidang Tlangkas adalah anak muda yang berkembang dalam tuntunan Pangeran Parikesit, kemudian ia menapak jalan sebagai prajurit Pajang. Oleh karena itu  ia telah melatih dirinya untuk menghadapi keadaan keadaan yang jauh dari makanan dan sumber minuman,

“Tenangkan dirimu, Ngger. Dalam waktu yang singkat seperti tadi, aku masih menyempatkan diri membawa bekal sekedarnya untuk mencegah bunyi-bunyi yang mungkin saja dapat menganggu tugas pengamatan ini,” senyum Ki Sedayu Tawang dan menyodorkan sekepal nasi gureh yang terbungkus dalam daun pisang.  Tanpa berkata dan berpikir panjang, Kidang Tlangkas segera menerimanya lalu makan dengan lahap.

“Agaknya mereka menunggu gelap, Ki Tumenggung,” kata Ki Gambas Ayut dengan pandang mata menatap ke pategalan tempat Ki Sedayu Tawang dan Kidang Tlangkas menghentikan kuda.

“Mungkin saja mereka tidak ingin bergabung dengan kita di sini,” berkata Ki Suradilaga sambil mengikat kudanya. ”Saya kira kita tidak dapat mencurigai mereka dengan melakukan perbuatan yang tidak kita harapkan terjadi.”

“Saya juga beranggapan seperti itu, Ki Tumenggung. Namun berita telah tersebar tentang beberapa orang yang sebenarnya juga mengawasi Pajang. Mungkin mereka termasuk dalam kelompok orang-orang itu,” Ki Rangga berkata-kata sambil melepas kantong kulit berisi air minum  yang diikatnya pada pelana kuda.

[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Disarankan” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”right” withids=”” displayby=”tag” orderby=”rand”]

“Mengawasi Pajang tentu mempunyai arti bertentangan ketika Ki Rangga berbicara dengan orang yang berbeda,” kata Ki Tumenggung Suradilaga seraya menyandarkan punggung. Kemudian ia berkata lagi, ”Saya tidak menyangka jika berita itu justru datang lebih dahulu daripada kehadiranku beberapa waktu yang lalu. Ki Rangga, bagaimana Anda jelaskan pada Kanjeng Adipati tentang pengawasan yang dilakukan sekelompok orang? Sementara Anda belum mengenali dengan jelas orang-orang yang diyakini sedang bekerja di balik bayang-bayang.”

“Saya belum dapat mengatakan sedikit pun pada Adipati Hadiwijaya, Ki Tumenggung.”

“Hmm.. Bagaimana Anda mengetahui atau mempunyai dugaan tentang pekerjaan yang dilakukan sekelompok orang?” pandang mata Ki Tumenggung Suradilaga lekat menatap wajah Ki Rangga Sambaga.

“Ki Tumenggung,” jawab Ki Rangga sesaat setelah mengendapkan perasaannya, ”tentu saja kita dapat mempunyai dugaan apabila telah mengetahui rencana Raden Trenggana untuk menyerang daerah timur.”

“Dapatkah Anda jelaskan?”

“Tidak menutup kemungkinan apabila rencana itu benar-benar dijalankan, maka Pajang dan Demak akan mengalami kekurangan prajurit. Sehingga, mungkin saja, keadaan itu dapat dijadikan celah untuk menguasai salah satu tempat yang ditinggalkan oleh pemimpin tertinggi di kedua daerah itu.”

No More Posts Available.

No more pages to load.