Sabuk Inten 12

oleh

Adipati Hadiwijaya mengerutkan alisnya. “Sabuk Inten. Apakah itu berarti aku telah menggambarkan makna Kanjeng Sunan Kalijaga? Bulir padi, manusia dan semua yang ada di bumi Pajang harus dapat dilekatkan sebagai kesatuan, lalu memadukan seluruh unsur untuk meraih kejayaan? Benarkah seperti itu? Bila benar, lalu apa yang menjadi maksud sesungguhnya dari Kanjeng Raden Trenggana? Aku tidak boleh gegabah dengan menganggap beliau telah menunjukku sebagai pengganti. Itu pemikiran yang cukup bodoh.”

 

Matahari masih melayang di antara bumi dan langit ketika berkas cahayanya menyentuh puncak-puncak pohon yang berdiri dengan gagah. Puncak Merapi terlihat jelas menjulang menyapa awan yang mengapung dan mengelilinginya.

“Kita akan menyusur wilayah barat Pajang, Ki Tumenggung. Pedukuhan Sambi Sari berjarak sekitar setengah hari perjalanan berkuda,” berkata Ki Rangga Sambaga setelah berada di atas punggung kuda.

Ki Tumenggung Suradilaga menganggukkan kepala dan katanya, ”Saya akan menggunakan nama Ki Sulaga, Ki Rangga.”

“Ki Sulaga,” desis pelan Ki Rangga mengulang. Lalu ia berkata, ”Ki Gambas Ayut.” Kemudian ia melihat wajah Ki Suradilaga atau Ki Sulaga seperti menahan tawa.

“Ki Gambas Ayut,” pelan Ki Sulaga mengulang kemudian melepas tawanya. Kuda-kuda mereka berderap tidak begitu cepat menuju Pedukuhan Sambi Sari.

 

Sementara itu di dalam sebuah rumah yang hanya berjarak satu bangunan dari pendapa kadipaten, Pangeran Parikesit sedang bercakap dengan seorang prajurit.

“Apakah kau yakin mereka menuju Sambi Sari?”

“Saya yakin, Pangeran.”

“Lalu siapakah orang dari Demak itu?”

“Orang dari Demak itu bernama Ki Suradilaga dan ia  seorang tumenggung.” Ia berhenti sejenak. Kemudian ia berkata lagi, “Pangeran, dalam waktu dekat Jaka Tingkir akan melakukan perjalanan ke Demak.”

Pangeran Parikesit menatapnya lekat-lekat dengan dahi berkerut. Ia bertanya heran, ”Apa aku tidak salah dengar, Angger Kidang Tlangkas?”

“Tidak, Pangeran. Saya mendengar kata-kata Hadiwijaya sangat jelas. Meskipun saya berada dalam gardu jaga, namun saya  dapat menggeser pusat pendengaran di tempat Hadiwijaya berdiri.”

“Kau lakukan itu saat di gardu jaga?”

“Benar, Pangeran. Dan saat itu hanya ada dua orang temanku yang mengawasi bagian luar.”

Pangeran Parikesit mendengarnya sambil manggut-manggut. Ia berdesis dalam hatinya, ”Jika begitu, perkembangan anak ini nyaris di luar perkiraanku semula. Dan mungkin ia berada dalam tataran yang tidak begitu jauh dengan Ki Rangga Sambaga.”

“Baiklah, sebaiknya kau segera menyusul mereka. Lakukan penyergapan dan lumpuhkan mereka, terutama orang yang bernama Ki Suradilaga. Kau dapat mengajak serta Ki Sedayu Tawang,” Pangeran Parikesit memberi perintah.

Prajurit itu segera meminta diri lalu bergegas menuju rumah tinggal Ki Sedayu Tawang. Sementara itu Pangeran Parikesit seperti sedang merenungkan sesuatu dalam pikirannya. Untuk waktu yang lama ia diam dalam duduknya hingga senja hampir berakhir. Ketika matahari benar-benar tenggelam di balik punggung bukit, ia bangkit dan berjalan memasuki rumah.

Sementara itu, Kidang Tlangkas dan Ki Sedayu Tawang memacu kudu menyusur jalan menuju Sambi Sari. Kala itu hari masih benderang sehingga mereka tidak menemui kesulitan untuk mengejar Ki Tumenggung Suradilaga dan Ki Rangga Sambaga.

“Apakah kita akan menyergap mereka di Sambi Sari atau di tempat lain, Ki Sedayu?” bertanya Kidang Tlangkas.

Ki Sedayu Tawang menatapnya tajam. Lalu ia bertanya balik, “Apakah Pangeran Parikesit tidak membicarakan itu padamu, Ngger?”

[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Disarankan” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”left” withids=”” displayby=”cat” orderby=”rand”]

Kidang Tlangkas menggeleng, lalu mempercepat laju kuda saat melihat gerumbul bambu yang tumbuh di kedua sisi jalanan menuju Sambi Sari. Ki Sedayu Tawang mengerti maksud Kidang Tlangkas yang berburu waktu untuk mencapai rerimbun bambu. Ia turut menghentak lambung kuda, keduanya berpacu untuk mencapai rerimbun bambu terlebih dahulu. Namun tiba-tiba saja Kidang Tlangkas mengubah haluan kuda, ia melompat beserta kudanya ke sebuah pategalan kering dan berhenti di bawah pohon randu. Ki Sedayu Tawang, yang tidak mengerti perubahan rencana itu, meski terkejut tetapi ia cepat mengikuti Kidang Tlangkas.

Kidang Tlangkas memberi tanda pada Ki Sedayu Tawang untuk bersikap tenang, kemudian ia melompat turun dari kuda lalu berjalan mendekati Ki Sedayu Tawang.

“Saya melihat satu-dua bayangan berkelebat di antara rerimbun bambu, Kiai. Saya rasa tidak mungkin kita akan membiarkan untuk disergap. Apalagi dalam suasan remang seperti sekarang ini,” pelan berkata Kidang Tlangkas sambil mendongakkan kepala melihat langit yang mulai dirambati gelap.

No More Posts Available.

No more pages to load.