Dakwaan Oditur Militer ‘Dimentahkan’ Keterangan Ahli Pidana di Kasus Dugaan Perzinahan Istri Perwira

oleh
oleh
Ahli Hukum Pidana Universitas Bhayangkara, Dr. Sholehuddin SH., MH. Foto: ist

Surabaya-SUARAKAWAN.COM: Sidang lanjutan kasus dugaan perselingkuhan istri Perwira TNI dengan terdakwa Pratu RA kembali digelar di Pengadilan Militer III-12 Surabaya, Selasa (19/8/2025). Namun yang mengejutkan, Ahli Hukum Pidana Universitas Bhayangkara (Ubhara) malah membongkar delik maupun apa saja yang bisa jadi alat bukti, jika diterapkan Pasal 284 jo Pasal 281 KUHP dalam dakwaan Oditur Militer.

​Ahli Hukum Pidana Ubhara, Dr. Sholehuddin SH., MH., usai sidang kepada sejumlah awak media memaparkan bagaimana unsur-unsur delik suatu tindak pidana seperti yang didakwakan Pasal 281 dan Pasal 284 KUHP. “Jadi Pasal 284 itu kan delik aduan ya, delik aduan absolut artinya seseorang yang dirugikan secara langsung yang bisa mengadukan terjadinya tindak pidana itu. Dan dia delik aduan absolut artinya pelaku ini tidak boleh dipisah-pisah. Jadi kalau pelaku yang satu dituntut atau diproses maka pelaku pasangannya juga harus dituntut. Itu yang saya sampaikan tadi (di persidangan) bahwa pasal 284 KUHP itu adalah delik aduan absolut,” ujarnya pada awak media.

Sedangkan untuk membuktikan Pasal 284, kata Sholehuddin, tidak boleh menggunakan logika awam. Harus menggunakan logika hukum, khususnya hukum pidana. “Kalau logika awam itu kan misalnya begini ilustrasinya, seseorang yang masuk ke sebuah hotel kemudian dia masuk berdua pasangan dan satu jam disitu kemudian keluar. Itu biasanya logika awam kan sudah melakukan persetubuhan. Logika hukum tidak boleh begitu. Harus benar-benar ada alat bukti. Misalnya disitu harus ada sisa-sisa sperma. Jadi seperti itu. Overspell namanya. Tindak pidana overspell. Perzinahan itu dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis. Makanya delik aduannya absolut dia. Tidak boleh dipilih. Ini saya adukan tapi ini enggak. Ini enggak boleh. Karena sama-sama melakukan. Kalau hanya salah satu yang melakukan berarti kan bukan perzinahan,” jelasnya.

Menurut Sholehuddin, dalam kasus Pasal 284 KUHP yang menjadi utama ialah alat bukti, khususnya uji laboratorium jika tidak ada yang mengetahui peristiwa tersebut.

“Dalam hal ini laboratorium, kalau tidak ada yang tahu. Karena 284 itu membuktikannya sulit. Kalau keterangan saksi saja harus benar-benar dia tahu, tapi kan jarak, atau tidak ada yang bisa melihat secara langsung orang itu berbuat. Maka alat bukti yang sangat penting adalah berkaitan dengan laboratorium. Apabila para pelaku ini tidak mengakui, itu harus dibuktikan dengan laboratorium. Misalnya barang bukti berupa celana yang ada sisa spermanya. Yang berkaitan foto atau video? Video berarti, yang memvideo berarti pelaku kan gitu. Itu boleh, tapi harus pelaku. Kalau bukan pelaku, itu kan mustahil. Orang begitu, orang berzina, terus ngajak orang, disuruh memvideo gitu. Jadi memang sangat sulit membuktikan itu. Kalau hanya bukti keterangan saksi, lemah,” terangnya.

Ketika disinggung alat bukti berupa chat Whatsapp, Sholehuddin menyatakan, bahwa isi chat Whatsapp bisa dijadikan alat bukti asalkan dalam chat itu menyebutkan hasil persetubuhan atau perzinahan. “Yang penting WA itu isinya, itu alat bukti surat. Isi misalnya, oh tadi enak ya, kita begini, kita model begini. Harus begitu isinya. Kamu begini, cara memasukkan begini. Kalau chat janjian ketemu di hotel. Ya berarti kan bukan 284 itu kalau ketemu saja,” tandasnya.

Bahkan, Sholehuddin menilai, chat yang berisi janjian ketemu di hotel pun tidak bisa menjadi alat bukti. “Alat petunjuk pun bukan. Misalnya, chat janjian di hotel. Jangankan hanya chat janjian. Kita diketahui masuk ke hotel, tidak bisa kita disangka atau didakwa dengan Pasal 284. Kenapa hukum pidana itu seperti itu? Karena dimungkinkan. Orang berlain jenis masuk ke hotel, siapa tahu laki-lakinya impotent. Gak ada yang tahu. Laki-laki impotent. Atau siapa tahu laki-lakinya masih punya rasa takut kepada Tuhannya. Dia hanya cium-ciuman. Hanya peluk-pelukan. Tapi dia takut Agamanya, oke lah. Dia bisa menahan. Takut. Tapi sekedar mencium apa bisa dijerat Pasal 284 kalau mencium? Tidak bisa,” paparnya.

Sholehuddin kembali menegaskan, bahwa penerapan Pasal 284 KUHP harus dibuktikan dengan cermat. “Misalkan bukti dengan adanya sperma. Kalau gak ada alat bukti itu, ya berarti tidak cukup bukti. Karena penerapan pasal itu harus hati-hati tidak boleh sembarangan. Semua tergantung majelis hakim yang mulia. Saya pokoknya sudah sampaikan. Tidak bisa menggunakan alat bukti keterangan saksi. Karena saksi itu harus melihat, mendengar, dan mengalami sendiri. Nah misalnya ketika didobrak pintunya, dia masih begini (berhubungan), itu bisa dijadikan saksi. Kalau didobrak hanya duduk berduaan tidak bisa. Tidak bisa dijadikan saksi dengan Pasal 284,” paparnya.

Sedangkan di tanya terkait Pasal 281 KUHP yang ada dalam dakwaan? “Kalau Pasal 281 itu di depan umum. Melanggar kesusilaan. Misalnya bersetubuh di depan umum. Meskipun istri sendiri, kalau di depan umum sengaja bersetubuh bisa kena Pasal 281,” tambahnya. (her)

No More Posts Available.

No more pages to load.