Nama Jenderal (Purn.) Moeldoko terseret dalam isu kudeta Partai Demokrat. Inidikasi ini diakui oleh ketua umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam konferensi persnya. AHY mengatakan bahwa ada pihak di lingkaran dalam Istana yang hendak mengambil paksa partainya lewat jalur Kongres Luar Biasa (KLB).
Meski tidak lagi aktif, konflik politik ini pun menyinggung latar belakang militer keduanya. Sebelum menjadi ketua umum partai, AHY merupakan eks mayor infantri TNI AD. Sementara itu Moeldoko mantan panglima TNI perwira tinggi bintang empat yang kini menjabat kepala staf kepresidenan.
Fenomena perwira menengah menentang atasannya dari kalangan perwira tinggi memang terbilang langka. Struktur komando militer tidak memungkinkan bawahan melawan atasan. Namun sejarah mencatat, anomali dalam ketentaraan seperti itu pernah terjadi di Republik ini.
Aksi Boyke Nainggolan
Ketika pemerintah melancarkan operasi penumpasan PRRI, Mayor Boyke Nainggolan adalah perwira menengah yang menyatakan ketidaksetujuannya. Boyke adalah wakil kepala staf Teritorium I (TT I) Bukit Barisan. Sebagai bentuk pengecamannya terhadap aksi militer pemerintah pusat itu, dia lantas memutuskan untuk angkat senjata.
Pada 15 Maret 1958, Boyke menggerakan pasukan Batalion Infantri 131 untuk menguasai kota Medan. Misi itu dilancarkan dalam tempo sehari. Pangkalan udara Polonia berhasil diduduki. Beberapa pejabat sipil maupun militer yang dianggap menghalangi gerakan ditangkapi.
Operasi pertama yang mendukung PRRI ini diberi sandi “Sabang Merauke”. Panglima TT-I/Bukit Barisan Letkol Djamin Gintings sampai melarikan diri ke Tanah Karo. Begitu pula dengan Deputi KSAD Wilayah Sumatra Kolonel Djatiikusumo yang terpaksa mengungsi ke Belawan.
Dalam siaran RRI yang disabotase pasukannya, Boyke mengatasnamakan Komando TT-I menyatakan tidak dapat menyetujui tindakan kekerasan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah Sumatra Tengah (PRRI) dan Sulawesi Utara (Permesta). Boyke menuntut Presiden Sukarno untuk memerintahkan penghentian operasi-operasi militer ke daerah tersebut.
“Bila tuntutan di atas tidak dipenuhi, Komando TT-I akan menempuh jalan sendiri untuk menghadapi keadaan dan perkembangan selanjutnya,” seru Boyke Nainggolan dalam siaran RRI dikutip Payung Bangun dalam biografi Kolonel Maludin Simbolon.
Aksi Boyke Nainggolan tentu menggemparkan Markas Besar Angkatan Darat. Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution bahkan menganggap Boyke telah melakukan kudeta. Padahal, Boyke Nainggolan termasuk salah satu perwira kesayangan Nasution yang dipersiapkan menjadi penerusnya di masa depan.
“Terjadi kejutan baru, yaitu Operasi Sabang-Merauke dari Mayor Boyke Nainggolan di Medan. Laporan tanggal 16 Maret dari Jakarta mengatakan bahwa ‘Medan telah berontak’,” kenang Nasution dalam memoar Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua.
Perlawanan Boyke Nainggolan akhirnya tumpas setelah Nasution mengerahkan kekuatan penggempur dari kesatuan RPKAD (kini Kopassus). Setelah PRRI-Permesta dapat ditaklukan, Boyke dipecat dari TNI. Lantaran frustrasi, Boyke mengalami tekanan batin. Dia kemudian mengakhiri hidupnya secara tragis dengan menjatuhkan diri dari sebuah menara.
Kendati berhasil membawa tentara mendominasi negara, Nasution kemudian dipinggirkan oleh Presiden Sukarno. Memasuki masa Orde Baru, Nasution tersingkir. Dia bahkan terkena cekal pemerintah karena terlibat dalam kelompok oposisi Petisi 50.
Prabowo vs Benny
Episode lain “mayor menentang jenderal” terjadi di masa Orde Baru. Pada suatu hari yang tenang di bulan Februari 1983, seseorang menyampaikan surat kepada Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf. Surat tersebut dalam biografi Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit yang disusun Atmadji Sumarkidjo, disebutkan berasal dari “Mayor Anu”. Tertanggal 23 Februari 1983, begini nukilan suratnya.
“Bapak yang tercinta. Saat ini adalah detik-detik bersejarah. Bapak terpanggil untuk menyelamatkan Negara. Bapak jangan goyah. Demi TNI kita yang tercinta kalau berdiri teguh sekarang – pasti menang.”
Jusuf kenal baik dengan si mayor. Menurutnya surat tersebut disampikan sehubungan dengan digantikannya Jusuf sebagai panglima ABRI oleh Letjen Benny Moerdani. Sang mayor sejak awal tidak senang dengan Benny Moerdani.
Nama si mayor tidak disebut secara gamblang dalam biografi Jusuf. Namun Kivlan Zein dalam Konflik dan Integrasi TNI-AD mengatakan pada periode itu terjadi konflik antara Benny Moerdani dengan Mayor Prabowo Subianto. Seperti dicatat Kivlan, ketika masih menjadi staf khusus Benny, Prabowo menangkap gelagat atasannya yang berencana untuk membersihkan gerakan-gerakan Islam radikal secara sistematis.
“Prabowo Subianto memperoleh informasi ini karena Jenderal Benny Moerdani melihat latar belakang bapaknya, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, seorang sosialis, dan ibunya seorang penganut Kristen dari Manado. Namun, Prabowo merasa tidak cocok dengan rencana tersebut,” kata Kivlan.
Prabowo kemudian melaporkan hal tersebut kepada Presiden Soeharto yang sekaligus mertuanya. Mulanya Soeharto mengacuhkan, namun berdasarkan informasi lanjutan yang diterima, akhirnya presiden percaya. Kejadian ini, menurut Kivlan, menyebabkan Benny Moerdani marah kepada Prabowo dan mengeluarkannya dari Kopassus menjadi Kepala Staf Kodim (Kasdim).
“Suatu jabatan buangan bagi anggota Kopassus,” tutur Kivlan. Sebelum dipindahkan dari Kopassus, Prabowo adalah wakil komandan Detasemen 81 yang merupakan unit pasukan elite dari Kopassus spesial anti-teror. Baru pada 1985, ketika Jenderal Rudini menjabat Kepala Staf Angkatan Darat, Prabowo ditempatkan sebagai wakil komandan Batalion Infantri Lintas Udara 328.
Benny sendiri akhirnya terdepak juga dari kekuasaan. Benny dianggap mengusik kegiatan bisnis anak-anak Soeharto yang menyebabkan sang presiden tersinggung. Karier Benny lambat laun tenggelam. Pada saat Presiden Soeharto melantik para menteri yang duduk di Kabinet Pembangunan VI (periode 1993-1998), sosoknya tidak lagi nampak.
Prabowo Subianto sepertinya bernasib lebih baik dari AHY dan Boyke Nainggolan. Dia kini menjabat menteri pertahanan dan sedang memimpin proyek lumbung pangan nasional di Kalimantan Tengah. [HT]