Tak lama kemudian mereka telah duduk melingkar di dalam ruangan yang aroma wanginya memenuhi setiap bagian. Sri Jayanegara yang masih berusia muda terlihat tenang saat membuka pertemuan yang sangat penting itu. Di sebelahnya seorang lelaki dengan pakaian berwarna merah dengan sulaman benang emas menebar pandang menatap satu per satu orang yang di sekelilingnya. Mpu Nambi terlihat sangat gagah dan wibawa besar memancar keluar dari sorot matannya. Dyah Gitarja dan Gajah Mada duduk berhadapan dengan dua orang tertinggi di Majapahit.
“Berita apa yang kau bawa kemari, Dyah Gitarja?” Sri Jayanegara bertanya setelah sepatah dua patah ia ucapkan untuk mengawali pertemuan.
Perempuan yang usianya sudah menjelang dewasa itu menoleh sesaat pada Gajah Mada, lalu menarik napas panjang. Kemudian bibirnya bergerak, ”Kakang Gajah Mada yang membawa berita dari Kahuripan.”
“Bukankah aku mendengar sebenarnya kau ingin aku mengirim tambahan prajurit untuk keamanan di kotamu? Lalu atas desakan apa kakang Gajah Mada mendatangi kotaraja?” Sri Jayanegara bertanya dengan alis sedikit terangkat. Bergantian ia memandang kedua tamunya.
“Yang Anda dengar adalah keinginanku sebelum kedatangan kakang Gajah Mada tadi pagi.”
Kini Mpu Nambi lurus melihat wajah Gajah Mada yang terlihat tegang. Bibir Gajah Mada terkatup rapat sementara matanya memandang permukaan meja.
“Terjadi apakah di Kahuripan, Gajah Mada?” bertanya Mpu Nambi.
Napas Gajah Mada terdengar panjang dilepaskan. Ia mencoba menata diri sebelum menyampaikan keadaan Kahuripan di hadapan dua pemimpin Majapahit. Ia menggeser letak duduknya sejengkal surut. Lalu dengan dada tegak ia berkata, ”Ki Srengganan telah menguasai pemerintahan Kahuripan sepeninggal Bhre Kahuripan.” Singkat Gajah Mada menyampaikan berita yang membuat Sri Jayanegara terlihat pucat dan menatap wajah Gajah Mada dengan mulut ternganga.
Sri Jayanegara dengan napas sedikit memburu lalu melirik Mpu Nambi lantas bertanya, ”Apa yang harus aku lakukan, Paman? Sementara saat ini Ki Nagapati telah memusatkan perhatiannya ke kotaraja.”
Tiba-tiba ia berdiri, pandang mata Sri Jayanegara terlihat nanar dan penuh amarah. ”Aku tidak akan pernah memberi apa yang diinginkan Ki Nagapati!”
Suara Sri Jayanegara cukup lantang terdengar dan cukup mengagetkan tiga orang yang duduk di sekelilingnya. Kemudian ia menghadap Mpu Nambi lalu, ”Katakan Paman! Aku harus berbuat apa?”
Ia menghentak-hentakkan kakinya dan keresahan sangat jelas terpancar dari raut wajahnya.
Mata yang menyorotkan wibawa dan ketenangan itu menyapu pandangan sekelilingnya. Ia bangkit lalu berkata, ”Gajah Mada, kau harus kembali ke Kahuripan dan susun pasukan yang berada di balik dinding kota. Dan aku akan perintahkan Ki Rangga Ken Banawa pergi mencari Ki Nagapati, tetapi jika pembicaraan itu gagal maka aku sendiri yang menghadapi Ki Nagapati. Setelah itu terjadi Ken Banawa harus membawa pasukannya menuju Kahuripan.”
Sri Jayanegara merasa dadanya menjadi lapang mendengar rencana singkat Ki Patih Mpu Nambi. Ia menyandarkan punggung lalu berkata, ”Aku akan panggil Ki Rangga datang ke ruangan ini.”
Lantas ia meminta seorang penjaga untuk meminta Ken Banawa untuk datang secepatnya.
[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Disarankan” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”none” withids=”” displayby=”tag” orderby=”rand”]
“Silahkan masuk, Paman!” kata Dyah Gitarja setelah seorang penjaga melaporkan kedatangan orang yang dimaksud oleh Sri Jayanegara. Penjaga ini juga mengatakan jika Ken Banawa tidak datang seorang diri.
Ken Banawa datang memasuki ruang tanpa tanda jasa atau kepangkatan yang biasa tersemat pada pakaian perwira prajurit Majapahit. Berulang kali ia menolak menolak anugerah dari raja Majapahit karena merasa pengabdiannya belum sempurna.
“Seorang anak muda bernama Bondan?” Alis Sri Jayanegara sedikit mengerut seperti mengingat sesuatu. Ia tidak melepaskan pandang matanya dari seorang lelaki muda yang berjalan di belakang Ken Banawa.