“Sebagai panglima prajurit, saya menyatakan bahwa murid-murid Begawan adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi di tempat ini. Dan saya juga seorang senapati yang bertanggung jawab atas keamanan wilayah kerajaan, maka saya menyatakan bahwa mereka berdua berhak mendapatkan perlindungan,” kata Mahesa Wunelang sambil memberi hormat pada Begawan Purna Bidaran yang telah memanggul tubuh lemas Toh Kuning.
Tubuh Begawan yang agak bungkuk seolah menunjukkan bahwa Toh Kuning benar-benar menjadi beban di pundaknya, padahal tidak seperti itu. Memanggul Toh Kuning yang jelas lebih berat bobot tubuhnya, namun seakan tidak mempunyai berat ketika Begawan menggerakkan tangan mengangkatnya tanpa menyentuh kulit Toh Kuning.
Begawan menganggukkan kepala, katanya, ”Terima kasih, Ngger.” Sekejap kemudian Begawan Purna Bidaran telah lenyap dari tempatnya berdiri.
####
Beberapa pekan berlalu.
Bulan silih berganti menampakkan bagian-bagian yang indah. Terkadang ia bersinar terang dan seluruh wajahnya terlihat jelas dari bumi. Terkadang ia seperti setandan pisang yang ranum. Wilayah bawahan Kediri merangkak maju membenahi diri. Perdagangan yang semakin meningkat telah membuat jalanan kian ramai hilir mudik orang memenuhi kebutuhan hidupnya.
Puncak Arjuna yang berdampingan dengan Penanggungan terlihat gagah dan seperti menyimpan misteri besar yang belum terpecahkan. Matahari belum sepenuhnya menampakkan diri saat embun mulai bergulir pelan menyusur sisi dedaunan lalu menetes perlahan. Hamparan sawah yang hijau dan pematang yang tertata rapi hingga terlihat seperti barisan prajurit membentang di lereng Arjuna. Angin berhembus sedikit kencang membawa udara dingin menyeberangi lereng Arjuna.
Toh Kuning yang telah sembuh dari luka dalam yang dideritanya ketika berkelahi dengan Mahesa Wunelang terlihat tekun mengikuti petunjuk gurunya. Tangannya membentuk seperti cakar harimau bergerak-gerak mantap. Setiap kali tangannya melakukan sambaran sering diikuti suara berdesing tajam. Begitu pula gerak kakinya kala menendang. Kulit sebatang pohon pun terkelupas saat angin tendangan Toh Kuning mengenainya. Sesekali ia jungkir balik di udara, bergulingan dan melayang seperti terbang sambil melepaskan pukulan jarak jauh.
Setelah sinar matahari mulai menyengat kulit, Begawan Purna Bidaran menyuruhnya berhenti dan memintanya untuk duduk mendekat.
Toh Kuning duduk di depan gurunya dengan kepala tunduk. Begawan Purna Bidaran membuka mata, berkata pelan dan menyejukkan, “Toh Kuning, kau menjadi muridku sejak kecil dan aku tidak pernah melarangmu untuk menyerap ilmu dari orang lain. Mpu Pancadriya adalah salah satu orang yang sempat mengajarimu sebuah ilmu.
“Dan sampai pada usiamu sekarang ini, aku masih menganggapmu sebagai murid terbaik. Kau tidak pernah aku perintahkan keluar setelah menamatkan pelajaranmu di padepokan ini. Aku membiarkanmu untuk tetap mengembangkan diri meski kau mulai sering berjalan cukup jauh dalam waktu yang lama. Aku mengerti kau akan mengambil jalan yang sama untuk kembali pulang.”
Dengan sorot mata penuh wibawa yang menggambarkan keagungan jiwa yang bersemayam dalam wadagnya, Begawan melanjutkan, ”Aku sadar jika usia akan membuatku semakin lemah. Maka, sekarang ini, aku ingin katakan padamu bahwa tubuh yang lemah bukan sebuah pesan untuk menyerah.
“Sebaliknya, Ngger!
“Tubuh yang lemah karena usia itu menjadi sebuah ruang yang sangat luas dan hampir tak bertepi. Mungkin, kau berpikir tentang Mahesa Wunelang yang kau anggap sebagai musuh besar serta lawan yang tangguh akan menjadi lemah karena usianya bertambah. Dan keadaan serupa sebenarnya berlaku juga padamu. Kau semakin lemah ketika usiamu bertambah.” Begawan Bidaran berhenti sejenak. Ia menarik nafas panjang.
“Sehingga ketika saat itu tiba, kau akan merasa jika semua kekuatan, kecepatan dan ilmu yang kau miliki telah menyusut. Apabila kau tidak dapat berdamai di masa itu, maka kegelapan yang pernah kau alami pada saat bersama Ken Arok akan kembali menguasai dirimu.
“Di masa lalu, kau berada dalam jajaran orang berilmu tinggi dan kau luangkan banyak waktu untuk melakukan pekerjaan yang kau anggap benar. Aku mengikuti kalian berdua saat merampas para pedagang, aku berjalan di belakang kalian saat membagikan rampasan pada orang-orang kelaparan. Aku tahu itu semua,” berkata Begawan Bidaran.