Sampai Jumpa, Ken Arok! 17

oleh

Namun tiba-tiba satu sambaran angin yang lebih dahsyat mendorong balik tenaga inti yang dilepaskan oleh Mahesa Wunelang dan Toh Kuning. Tubuh Toh Kuning terseret gelombang yang datang tiba-tiba ditambah dengan tenaga intinya sendiri yang terpental balik menghantam tubuhnya.  Mahesa Wunelang makin terkesiap ketika pukulannya seperti menghantam dinding baja, lalu berbalik arah dengan kekuatan berlipat ganda. Sekalipun ia telah memperkuat kedudukannya dengan merendahkan tubuh sedikit mendekati tanah, tubuh Mahesa Wunelang masih terseret surut tetapi ia dapat berjungkir balik lalu mendarat dengan sedikit terhuyung.

“Begawan!” seru Mahesa Wunelang terkejut. Orang-orang sekitarnya meloncat maju lalu memberi hormat pada orang yang baru datang itu.

“Guru!” desis pelan Toh Kuning saat melihat seorang lelaki yang berusia hampir seabad berdiri tegak di tengah-tengah antara dirinya dengan Mahesa Wunelang. Dorongan tenaga Begawan Bidaran memaksa Toh Kuning untuk tetap berbaring, pada waktu itu ia merasakan satu himpitan seperti sebukit tanah berada di atas dadanya. Sesak dan matanya berkunang-kunang.  Ia tidak berpikir akan mendapatkan bantuan dari gurunya. Ia juga tidak merasa akan mendapatkan hukuman. Saat itu, Toh Kuning adalah seseorang yang tidak dapat berpikir atau mempunyai perasaan. Sepenuhnya ia menjadi mayat hidup.

“Tidak aku izinkan orang lain untuk membunuh muridku,” berkata Begawan Purna Bidaran pelan namun sangat jelas terdengar oleh orang-orang. Ia memutar tubuh kemudian menatap wajah Mahesa Wunelang. ”Kau orang hebat dan berilmu tinggi. Kau adalah orang yang bertanggung jawab atas keamanan di seluruh wilayah Kediri. Tetapi aku melarangmu untuk membawa kedua muridku ke kotaraja. Mereka berdua tidak boleh dihukum oleh siapapun termasuk Sri Baginda Kertajaya.”

Mahesa Wunelang menganggukkan kepala. Ia tahu Begawan Purna Bidaran. Ia tidak membantah perkataan Begawan Bidaran.

Ki Gading Seta melangkah maju dan ketika berdiri berhadapan dengan Begawan Purna Bidaran, ia berkata, ”Adalah sebuah keberuntungan apabila seseorang mempunyai guru dengan ketinggian ilmu dan kedalaman hati yang sukar bandingannya.”

Begawan Bidaran mengangkat tangannya lalu katanya, ”Seperti halnya dengan kalian semua. Aku pun mempunyai rasa takut dan masa-masa yang gelap.”

Ki Gading Seta berpaling pada Mahendra yang kemudian berjalan dan berdiri di sampingnya. Kata Mahendra, ”Sebenarnya kita semua berasal dari kelompok yang sama. Hanya saja mungkin Begawan mempunyai cara khusus dalam menggembleng murid-muridnya.” Mahendra kemudian menunjuk dengan ibu jarinya tempat Ken Arok berada.

“Aku melihat semua yang terjadi di tempat ini,” kata Begawan. Ia melanjutkan sambil mengerling sesaat pada Toh Kuning yang merayap maju mendekati gurunya, ”aku mengikuti kepergian Toh Kuning yang berbalik arah sebelum ia melewati regol padepokan. Aku berada di belakang Ken Arok ketika ia melepaskan burung sebagai tanda rombongan Angger Mahendra telah melewati batas Alas Kawitan.”

Begawan Bidaran menarik nafas panjang. Ada semacam penyesalan yang membayang di kedua matanya. Ia berkata lirih, ”Aku menyesali kematian Ki Ranu Welang.”

“Begawan, Anda pernah mengatakan bahwa kematian adalah keadilan yang tertunda, sekiranya sudi Anda urai untuk kami,” kata Mahesa Wunelang merendah.

[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Disarankan” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”none” withids=”” displayby=”recent_posts” orderby=”rand”]

Guru Ken Arok menggeleng. “Kematian bukanlah keadilan yang tertunda jika kita mencoba melihatnya dari segi yang berbeda. Kematian akan dianggap sebagai hukuman yang adil oleh keluarga dari mereka yang pernah dibunuh olehnya. Tetapi kematian sendiri juga membawa kegelapan bagi mereka yang membunuhnya,” Begawan berujar dengan suara yang menggetarkan relung kalbu.

Untuk sesaat keadaan sekitar tikungan itu menjadi hening. Begawan Bidaran kemudian dengan lantang berkata, ”Aku minta diri pada kalian. Namun sebelum itu, atas perbuatan yang dilakukan oleh kedua muridku, aku minta kalian rela memberi ampun pada mereka berdua.”

Mahendra, Ki Gading Seta dan Mahesa Wunelang serta pengawal mereka tercekat mendengar ucapan Begawan Bidaran. Mereka tak percaya bahwa seseorang, yang dikabarkan mempunyai ilmu setara dengan dewa, menyatakan permintaan yang mustahil dilakukan oleh orang yang setingkat dengannya. Namun pada petang itu, mereka menjadi saksi kebesaran hati Begawan Purna Bidaran.

No More Posts Available.

No more pages to load.