“Mahendra,” kata seseorang yang melayang jungkir balik di atas kepala para prajurit Kediri.
“Kakang Mahesa,” sambut Mahendara saat berpaling pada orang yang kini berdiri di sampingnya. Lantas ia menoleh ke arah Toh Kuning dan berkata, ”Inilah wujud Mahesa Wunelang sesungguhnya. Mungkin akan lebih baik jika kau menyerahkan diri. Lihatlah sekelilingmu, Toh Kuning. Hey, apakah aku tidak salah menyebut nama?” Mahendra mengucap kata dengan napas yang masih teratur mengalir dari dadanya.
“Ki Sanak,” berkata Toh Kuning. ”Menyerah? Itu bukan kata-kata yang tepat untuk aku dengar saat ini. Yang aku ingin dengarkan darimu adalah kau menyerahkan logam emas kerajaan dan membiarkan Mahesa Wunelang menjadi pengikutku.” Ia menunjuk pada tempat Ken Arok yang terkapar kemudian berkata lagi, ”Mahesa Wunelang dapat menjadi pendukungku apabila anak itu mempunyai halangan untuk menemaniku.”
“Kurang ajar!” Mahesa Wunelang menggeram marah. Ia menoleh Mahendra lalu, ”Aku akan meringkusnya kemudian menyerahkannya pada Sri Raja Kertajaya sebagai hadiah.” Mahendra menganggukkan kepala lalu beringsut mundur bergabung bersama orang-orang yang melingkari Toh Kuning.
“Oh!” saudara seperguruan Ken Arok itu kemudian bertepuk tangan. “Bagus, sangat bagus. Sungguh menyenangkan jika Mahesa Wunelang ingin mengenal siapa aku lebih jauh. Kemarilah, Prajurit!” Toh Kuning segera menggebrak sepenuh tenaga sekejap setelah mengatupkan bibirnya. Ia menyerang Mahesa Wunelang dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Keris Toh Kuning, bagaikan kilat, menyambar-nyambar Mahesa Wunelang yang cepat memutar tombak untuk membendung serangan Toh Kuning yang sangat ganas.
Putaran cepat tombak Mahesa Wunelang akhirnya membentur keris Toh Kuning, ketika ia mencoba mengungkit tombak lawannya. Ia berseru kaget lalu memaki lawannya dengan kata-kata kasar. Betapa ia merasakan seperti dihisap oleh satu kekuatan yang tidak terlihat. Namun Toh Kuning adalah pemuda cerdik, ia segera melepaskan tendangan ke siku lawannya. Mahesa Wunelang tidak mempunyai pilihan lain selain melepaskan senjatanya yang menempel pada keris Toh Kuning, jika ia terlambat sedikit saja maka persendian tulangnya akan patah karena tendangan itu membawa sambaran angin yang kuat.
Sebagai pemimpin prajurit yang berkedudukan tinggi, sudah sepantasnya jika Mahesa Wunelang mempunyai ketenangan yang cukup dalam. Meskipun ia terkejut dengan serangan mendadak Toh Kuning, meskipun tombaknya sempat terlepas dari genggam lalu terjatuh, Mahesa Wunelang mengait senjatanya dengan ujung kaki. Dalam sekejap ia kembali memegang senjata.
Setelah itu, serangan Toh Kuning dibalasnya dengan sebuah gerakan berbahaya. Mahesa Wunelang, yang cepat menjaga keseimbangan, mendadak menyerang balik dengan tusukan tombak yang menukik ke pangkal kaki Toh Kuning.
Serangan yang datang tiba-tiba itu memaksa Toh Kuning melontarkan tubuh surut beberapa langkah. Tetapi Mahesa Wunelang tidak membiarkan lawannya berdiri bebas untuk menyusun ulang olah geraknya. Dengan loncatan panjang ia menerjang disertai satu pukulan yang kuat. Toh Kuning menangkis serangan itu dengan memukul landean tombak Mahesa Wunelang.
Demikianlah pertempuran itupun menjadi semakin sengit dan Toh Kuning pun semakin ganas menyerang. Namun Toh Kuning seperti telah melupakan keadaan dirinya. Ia mengabaikan daya tahan ragawinya. Setelah semalam ia bertempur membantu pengikut Ki Ranu Welang, kemudian ia melawan Mahendra yang cukup hebat mempertahankan diri, kini Toh Kuning berhadapan dengan Mahesa Wunelang yang berada jauh di atas Mahendra. Awalnya ia tidak menghiraukan rasa lelah yang menderanya, namun ia sekarang merasa ia mulai mengalami penurunan meskipun tidak terlalu banyak.
Keinginan Toh Kuning untuk mewujudkan sesuatu yang dianggapnya sangat besar telah membuatnya abai dengan keadaan. Mungkin cita-cita Toh Kuning terdengar aneh bagi banyak orang tetapi ia adalah pemuda yang gigih. Bukan sebuah hasrat pada kebendaan atau kedudukan, Toh Kuning hanya ingin menginginkan kesejah-teraan bagi orang-orang di luar kotaraja. Setiap kali ia melihat prajurit dan para petinggi kerajaan, setiap kali itu pula ia memendam kemarahan yang tumbuh serentak dengan tujuannya.
“Mengambil harta benda orang-orang kaya bukanlah perbuatan jahat apabila aku membagikannya pada banyak orang,” ucapnya pada sebuah masa yang lewat. Dalam waktu itu Ken Arok dapat menerima pendapatnya tanpa bantahan karena ia berpikir sama dengan karibnya itu.