Mahendra bertepuk tangan. “Kau bernyali besar. Namun kau sedang berhadapan dengan Mahendra, saudara angkat Mahesa Wunelang pemimpin prajurit Kediri yang sangat ditakuti oleh orang-orang sepertimu,” kata Mahendra tanpa turun dari punggung kuda.
“Oh Mahesa Wunelang?” seru Toh Kuning dengan sikap seolah tak percaya pada Mahendra. Ia memutar tubuh dan berkata pada orang-orang di sekitarnya, ”Kalian dengar itu? Mahesa Wunelang agaknya telah menjadi senjata pamungkas.
“Hei, sejak kapan Mahesa Wunelang berubah wujud menjadi sebilah keris? Oh ya tentu saja ada keris yang bernama Mahesa Wunelang.”
Lalu tiba-tiba Toh Kuning menggerakkan kaki dan sebutir batu kecil melayang dengan cepat menyerang Mahendra. Mendadak batu kecil itu meledak saat melayang di udara ketika Mahendra mengangkat telapak tangan menyambut serangan kecil yang diluncurkan oleh Toh Kuning.
Pertunjukan telah diawali oleh Toh Kuning, maka dengan begitu ia dapat mengukur kekuatan Mahendra.
“Ah!” berseru Toh Kuning lalu, ”tentu saja saudara angkat Mahesa Wunelang mempunyai ilmu yang setara. Tetapi Mahesa Wunelang tidak berada di sini untuk melindungi saudaranya yang menjadi orang kepercayaan Raja Kediri. Dan tentu saja Mahesa Wunelang akan marah padamu jika kau tidak menghargai permintaan seorang raja sepertiku.” Toh Kuning menepuk dada. Ia telah berhitung dengan waktu jika Ken Arok dan Ki Ranu Welang telah berada lebih dekat dengan tempat itu. Maka, mendadak Toh Kuning berteriak keras memberi perintah untuk menyerang rombongan Mahendra. Sebelum mulutnya terkatup, Toh Kuning telah melesat deras untuk memberi tekanan pertama pada Mahendra.
Mahendra ringan melompat dari punggung kuda dan menyambut serangan Toh Kuning.
Sekejap kemudian lontaran anak panah datang bertubi-tubi dari sekeliling rombongan dan menjatuhkan beberapa pengawal Mahendra. Sementara dari kedua sisi tikungan, orang-orang Ki Ranu Welang berloncatan menerjang rombongan saudagar itu. Dalam waktu singkat terjadi hiruk-pikuk yang semakin lama semakin riuh. Teriakan yang saling membentak di antara kedua kelompok itu semakin rapat bersahutan.
Sejalan dengan suara-suara gaduh yang memenuhi udara, ketegangan semakin memuncak ketika pukulan dan tendangan mulai menyentuh tubuh setiap orang.
Para pengikut Mahendra melakukan perlawanan sangat ketat. Bagi mereka, harta benda dan barang dagangan para saudagar memiliki nilai yang lebih mahal daripada nyawa mereka sendiri. Kepercayaan adalah pegangan hidup tertinggi. Andaikata mereka ingin, satu-dua perhiasan atau segantang bahan pokok dapat mereka selipkan di balik baju mereka.
Tetapi mereka adalah orang yang dikirim oleh ratu langit, demikian Mahendara menyebut anak buahnya. Dengan nilai jiwani tinggi yang diajarkan oleh Mahendara, semangat tempur anak buanya selalu berada di lapisan puncak. Mereka belum pernah merasa gentar dan surut meski berhadapan dengan jumlah perampok lebih banyak dan lebih lengkap persenjataannya.
Pengikut Ki Ranu Welang harus berjuang lebih keras meskipun mereka telah membunuh beberapa orang dengan lontaran panah, tetapi lawan mereka adalah orang yang menguasai olah gerak dengan sangat baik. Lawan mereka juga orang yang terlatih seperti halnya para prajurit Kediri.
Seorang pemimpin kelompok Mahendra, yang berkalung rantai besi berukuran kelingking, tampak berusaha untuk memperlambat serangan pengikut Ki Ranu Welang yang menggunakan tombak dengan ayunan, tebasan dan kadang-kadang mematuk seperti ular.
Ia kemudian menarik perhatian empat pengikut Ki Ranu Welang untuk datang mengeroyoknya. Maka dengan begitu, para penyamun ini mengalami kesulitan berat dan terdesak hebat.
Mendadak dua bayangan memecah kepungan itu.
Ken Arok secara cepat memasuki lingkar perkelahian dengan dua kaki yang berputar-putar seperti angin topan. Ia segera mengikat pemimpin kelompok Mahendra sebagai lawannya, sementara Ki Ranu Welang berloncatan seperti burung elang membongkar setiap kepungan dan membuat kekacauan pada gelar-gelar kecil yang dijalankan pengawal Mahendra.
Tetapi para pengawal Mahendra tidak segera berpencaran mundur seperti anak ayam kabur kanginan, memang sesekali mereka mundur, namun kemudian mencoba maju dua langkah. Mereka dengan sabar menunggu kelengahan Ki Ranu Welang sehingga setiap ia menyerang lingkaran yang lain, maka dengan sigap mereka memburunya lalu menutup ruang geraknya.