Sabuk Inten 14

oleh

Ki Tumenggung Suradilaga berpikir keras dengan dahi berkerut. Ia dapat menerima penjelasan kawannya dari Pajang karena sebenarnya memang Adipati Hadiwijaya akan meninggalkan Pajang untuk beberapa waktu. Ia bangkit berdiri lalu  berkata, ”Dan Anda adalah orang yang akan menempati kedudukan adipati di Pajang.” Ki Tumenggung diam sejenak kemudian mengangkat wajahnya menghadap ke langit. Katanya, ”Tentu menjadi tanggung jawab yang besar karena Pajang dapat direbut siapapun yang mampu melihat kesempatan yang segera terjadi.”

“Itu di luar kehendakku, Ki Tumenggung,” kata Ki Rangga. Lantas keduanya terdiam. Tidak ada lagi pembicaraan. Seolah mereka sedang menyatukan diri dengan alam sekitar. Tidak terdengar desah napas dari udara yang keluar dari rongga hidung keduanya. Sunyi.

###

Usai makanan itu tandas, Kidang Tlangkas yang sebenarnya enggan untuk mendengarkan kata-kata Ki Sedayu Tawang akhirnya berdiri. Ia memandang lurus arah pedukuhan sambil berkata, “Saya akan pergi menemui mereka sebagai seorang prajurit meski sedang tidak bertugas. Kiai, saya yakin Anda dapat menerima alasan ini.”

“Aku tidak keberatan, Prajurit. Namun engkau harus ingat bahwa Pangeran Parikesit tidak memintamu untuk berkelahi di tempat ini walau pun beliau dapat mengerti jika ada alasan yang tepat.”

“Sangat membosankan bila hanya duduk di tempat ini sepanjang malam,” gerutu Kidang Tlangkas dalam hatinya.

“Apakah kau baik-baik saja?” pertanyaan Ki Sedayu Tawang yang membuat Kidang Tlangkas menjadi salah tingkah.

Ia sempat berpikir akan menantang kedua pendatang itu untuk berkelahi, namun apakah mereka berdua itu benar-benar manusia? Apakah perlunya bekelahi? Tetapi jika mereka berniat untuk mengacaukan Pajang, bukankah berkelahi dapat menjadi jalan terbaik untuk menyelesaikan persoalan? Campur aduk pikiran yang hilir mudik begitu cepat di benak Kidang Tlangkas benar-benar membuatnya hanyut dalam angan.

 

“Kemarilah,” tiba-tiba Ki Rangga Sembaga berbicara. Ia tidak memandang arah tertentu tetapi perintah itu jelas ditujukan pada seseorang. “Kita dapat duduk bersama lalu berbicara.”

Sama halnya dengan orang kepercayaan Adipati Hadiwijaya, Ki Suradilaga pun berkata-kata, “Di sini ada makanan. Kita dapat menyalakan api bersama.”

Kidang Tlangkas mengerutkan kening. Ia berjarak cukup jauh dari kedua utusan Adipati Pajang, dan tengah bersembunyi di balik rerimbun semak. Kidang Tlangkas masih terheran karena percakapan itu ditujuan pada seseorang, tetapi ia tidak melihat seorang pun berada di dekat mereka selain dirinya sendiri. Yang terjadi adalah Kidang Tlangkas tidak dapat menahan diri untuk menjaga jarak dengan kedua utusan Pajang itu. Di tengah kecamuk pikirannya, ia melesat deras mendekati tempat mereka berdua.

Namun kedatangannya mengusik pendengaran Ki Sembaga dan Ki Suradilaga walaupun Kidang Tlangkas telah menggunakan daya penyerap bunyi. Dalam waktu itu ia menajamkan penglihatan untuk mencari orang yang menjadi sasaran panggilan.

Suasana sangat sunyi.

Untuk seukuran waktu yang cukup, Kidang Tlangkas tidak mendapati orang lain. Mungkinkah mereka mengarahkan ucapan itu padanya? Tidak ada orang selain mereka berempat walau jarak ada di antara mereka. Begitu isi pikiran Kidang Tlangkas. Tanpa panjang kata, Kidang Tlangkas keluar dari persembunyian. “Aku tidak mengira jika dapat berjumpa dengan orang-orang yang sanggup bicara pada roh gentayangan.”

Meskipun ia menyadari akan ada kemungkinan terburuk yang dapat menimpanya, Kidang Tlangkas melangkah mantap dengan pikiran bergolak. Sungguh, ia belum matang memutuskan tindakan itu.

Suara lantang Kidang Tlangkas membuat kedua utusan Adipati Hadiwijaya memalingkan wajah padanya.

Raut muka heran segera menghiasi Ki Rangga Sembaga. “Bukankah engkau prajurit yang bertugas di halaman belakang istana?”

“Benar,” jawab Kidang Tlangkas tanpa keraguan. Bahkan ia sedikit membusungkan dada ketika mendapati pemimpinnya yang melakukan tugas penyamaran. “Menyerahlah, Ki Rangga!”

[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Disarankan” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”left” withids=”” displayby=”tag” orderby=”rand”]

“Menyerah? Sebentar. Prajurit, engkau akan dihukum karena sikap seperti itu!” teguran keras Ki Rangga Sembaga terlontar dengan nada tinggi.

“Apa peduliku?” Sikap Kidang Tlangkas belum berubah. “Ki Rangga, Anda bersalah karena telah membawa orang asing datang ke tempat ini. Sementara Anda mengerti bahwa pedukuhan itu adalah tempat yang dirahasiakan oleh Kanjeng Adipati.”

Ki Tumenggung Suradilaga segera meraba saku namun tidak menemukan sesuatu yang diharapkannya ada. Lalu tangannya  menyusur ikat pinggang dengan harapan dapat menemukan tanda pengenal dari Adipati Hadiwijaya. Namun, ia tidak lagi berharap banyak untuk dapat menghindari perselisihan yang mungkin saja menyembul. Bendera kecil sebagai bukti bahwa keduanya adalah utusan Adipati Hadiwijaya tidak berada padanya. Ki Tumenggung Suradilaga menyesali kecerobohan yang dilakukannya, walau demikian, ia berharap Ki Rangga Sembaga dapat menunjukkan bukti.

No More Posts Available.

No more pages to load.