“Aku bukan seorang prajurit yang sering berteriak untuk kejayaan negeri atau pemimpinnya,” begitu jalan pikiran Adipati Hadiwijaya pada malam itu, “sesuatu yang indah dan berharga tidak selalu harus diketahui oleh orang atau harus dinyatakan secara terbuka. Berada di ibu kota Demak untuk jangka waktu yang tidak dapat dipastikan sudah tentu bukan perkara mudah. Tetapi Kanjeng Sunan tidak merancang keris ini tanpa makna. Begitu pula Raden Trenggana.” Demikianlah malam berlalu dengan kenangan yang silih berganti melintasi jalan pikiran penguasa Pajang.
Sebelum itu, tanpa diketahui oleh Ki Suradilaga, Adipati Hadiwijaya telah mengutus satu-dua orang kepercayaannya untuk memanggil Ki Rangga Sambaga dan seorang lainnya. Mereka bertiga berbicara sebentar di sisi pohon gayam yang berada di halaman belakang.
Saat matahari belum menapak tinggi, beberapa orang tampak berjalan keluar dari regol kediaman Adipati Hadiwijaya. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Suradilaga juga terlihat duduk di pendapa beberapa langkah dari Adipati Hadiwijaya. Sesekali Ki Suradilaga menganggukkan kepala ketika melihat segala kesibukan dan ia juga diizinkan untuk mendengarkan perintah-perintah Adipati kepada para bawahannya.
“Aku kira Pajang tidak dapat menunda atau membuat segala sesuatunya menjadi lambat,” kata Adipati Pajang ketika hanya Ki Suradilaga yang berada di pendapa.
Ki Suradilaga mengangguk dalam-dalam. Katanya, ”Saya akan membawa kabar baik ini secepatnya ke Demak, Tuan.”
Adipati Hadiwijaya melihat ke arahnya, kemudian berkata, ”Aku ingin kau berangkat menuju Demak satu atau dua hari lagi. Aku ingin hari ini kau ikut menemani Ki Rangga Sambaga ke pedukuhan Sambi Sari. Aku ingin kau juga dapat mengatakan pada beliau tentang senjata yang akan dikirimkan ke Demak.”
“Saya akan ikuti perintah Adipati,” kata Ki Tumenggung sambil membungkuk hormat.
Tidak lama kemudian seorang lelaki berjalan mendekati tangga pendapa dan memberi hormat pada kedua orang yang telah menunggunya.
[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Jurus Lain” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”right” withids=”” displayby=”cat” orderby=”rand”]
“Ki Rangga, aku ingin kau mengantarkan Ki Tumenggung Suradilaga ke pedukuhan Sambi Sari. Aku telah mengatakan padamu keadaan yang sedang berkembang di Pajang, selain kehadiran Ki Tumenggung tentunya.” Ki Rangga Sambaga mengangguk hormat lalu Adipati Hadiwijaya melihat Ki Suradilaga kemudian, ”Aku ingin kau benar-benar bersiap diri. Mungkin saja akan ada hambatan atau mungkin kalian berdua tidak menemui rintangan. Tetapi, Ki Suradilaga, aku tidak ingin kau berpikir jika Pajang adalah tempat yang aman bagimu.”
“Bagaimana maksud Adipati?” bertanya Ki Suradilaga.
“Ki Rangga Sambaga adalah orang yang berkemampuan sangat tinggi di tlatah Pajang. Tidak akan ada gerombolan penyamun atau orang-orang yang akan mengajak kalian bermain-main. Tetapi, aku tidak ingin pada akhirnya ketinggian ilmu kalian berdua dan wewenang Ki Sambaga akhirnya dapat membuat kalian terlena,” ucap Adipati Hadiwijaya lalu merendahkan suaranya, ”kalian akan terbungkus dalam penyamaran.”
Ki Suradilaga mengangguk dalam-dalam, ia mengerti bahwa setiap penyamaran dapat membawanya ke perkembangan yang tidak terduga. Sementara itu, selepas menerima pesan khusus dari Adipati Hadiwijaya, Ki Rangga Sambaga memerintahkan pelayan untuk menyiapkan kuda,
Adipati Hadiwjaya berkata, ”Mungkin aku akan lebih dahulu tiba di Demak, maka aku minta Ki Suradilaga segera menyusul setelah lawatan di Sambi Sari. Dan Ki Rangga Sambaga, kendali ketertiban Pajang aku serahkan padamu. Bertanyalah pada Ki Buyut Mimbasara. Selain itu aku ingin kau sesekali ajak anak itu berkeliling.”
“Saya mendengar, Adipati,” jawab Ki Sambaga.
Matahari telah menapak tinggi dan bergeser perlahan meninggalkan puncaknya. Adipati Hadiwijaya, Ki Tumenggung Suradilaga dan Ki Rangga Sambaga telah berpisah dan masing-masing telah berada dalam kesibukan tersendiri.
Masa damai yang meliputi langit Pajang. Orang-orang menjalani hari dengan tenang dan jauh dari kekhawatiran. Sejenak Adipati Hadiwijaya melontarkan pandangan mata ke hamparan sawah yang terlihat dari balik dinding batu berukuran pendek. Sekelompok petani dilihatnya tengah mencangkul tanah persawahan. Ia membayangkan bulir-bulir padi yang menggantung pada tangkai padi. “Sabuk Inten,” ia mendesis. Sebuah ikatan yang dapat merekatkan serpihan yang berserak sebelum serpihan itu berubah wujud menjadi sesuatu yang paling berharga. Kemakmuran dan kejayaan.