SuaraKawan.com
Bab 14 Pertempuran Hari Pertama

Pertempuran Hari Pertama 9

Seorang prajurit Ki Sentot yang sedang merawat luka-luka kawannya hanya termangu-mangu sambil mendesis perlahan, ”Kekuatan dari mana yang merasuki anak muda itu ? Apakah engkau merasakan tanah bergetar?”

“Ya, aku kira sempat terjadi gempa sesaat pada tanah ini,” jawab kawannya itu.

Ki Cendhala Geni terusik hatinya karena belum dapat mengakui Bondan yang mampu menahannya begitu lama dalam pertempuran di hari pertama.

“Bagaimanapun, ia telah terluka parah di tepi hutan. Dan nasib baik masih menyertainya ketika ia dapat selamat di rawa-rawa. Bahkan hari ini pun masih terselamatkan oleh sangkakala senja,” gumam Ki Cendhala Geni dalam hatinya. “Tetapi esok ia akan menyesali alasan pertemuan denganku.”  Ki Cendhala Geni tidak lagi peduli dengan tujuannya semula setelah mendapati musuhnya yang berusia muda ternyata sanggup membuatnya di bawah tekanan. Menjadi pemenang dalam perkelahian melawan Bondan adalah satu-satunya yang menjadi perhatiannya selepas senja. Diusirnya perasaan khawatir terhadap teguran Ki Sentot Tohjaya. Dihalaunya angan-angan tentang kembalinya kejayaan Jayatkwang. Ki Cendhala Geni tidak lagi merasa adanya tekanan mengenai cita-citanya. Pikirnya dengan singkat, bila dapat menaklukkan Bondan, maka halangan besar telah terbuang jauh dengan sendirinya. Perjumpaan sebelumnya dengan Bondan menjadikannya berpikir seperti itu. Dua kali Bondan telah menjadi batu penghalangnya. Maka tidak boleh ada lagi batu untuk perjalanan berikutnya. Bondan harus dihilangkan dari permukaan bumi. Ki Cendhala Geni menyungging senyum di bibirnya.

Perlahan dengan kelembutan, malam datang menyelimuti perbukitan bersama sinar rembulan kusam.

Beberapa kelompok orang masih terlihat hilir mudik mencari kawannya yang menjadi korban. Kelompok orang-orang berasal dari kedua pasukan yang berlawanan. Dalam keadaan ini, kedua kelompok yang terdiri dari beberapa ratus orang tampak bekerja sama untuk menemukan korban baik yang terluka maupun meninggal dunia.

Untuk sesaat mereka melupakan yang mereka rasakan dan alami di siang hari.

Saat itu di pendapa padukuhan induk Karangan, Ken Banawa mengadakan pembicaraan dengan beberapa senapati.

“Kita berikan istirahat pada prajurit yang bertempur sejak pagi. Dan prajurit yang datang kemudian, akan mendapat giliran ronda,” kata Ken Banawa,selanjutnya, ”gelar perang yang kita gunakan hari ini ternyata tidak memberi pukulan berat bagi mereka. Kesulitan kita ada pada jumlah mereka yang lebih banyak dan lebih terlatih.”

“Jumlah itu tidak semestinya menjadi sesuatu yang menyulitkan bagi kita, Ki Banawa,” kata Mpu Drana yang masih terlihat gagah di usianya yang lanjut kemudian sambungnya, ”menurutku, kehadiran beberapa ekor gajahlah yang menjadi hambatan utama bagi kita untuk mendesak induk pasukan Ki Sentot.”

“Benar. Namun kehadiran Mpu Drana menjadikan gempuran gajah-gajah itu sedikit lebih dapat dihambat. Dari delapan ekor gajah, satu ekor berhasil direbut oleh Mpu Drana, seekor yang lain berhasil dilumpuhkan oleh seorang prajurit kita,” kata Ken Banawa. Lanjutnya kemudian, ”dan sumbangsih Mpu Drana pula telah menghantam satu ekor lagi sehingga bila esok tidak ada perubahan maka lima ekor gajah akan kembali ke medan perang.”

Semua orang yang berada di pendapa mengangguk-anggukan kepala. Setiap orang sedang berpikir keras dan membayangkan yang dapat mereka lakukan esok hari untuk memukul mundur pasukan gajah dan pasukan Ki Sentot.

“Dan yang menjadi keanehan hari ini adalah pasukan berkuda Ki Sentot tidak tampak di arena, Ki Banawa,” kata Jayapawira dengan wajah gelisah. Pendapatnya, pertempuran pasukannya dengan pasukan Gajah Praba ternyata belum mencapai hasil akhir. Kedua pasukan harus mengakhiri pertempuran saat terdengar perintah untuk mundur.

“Aku berpendapat sama dengan Ki Jayapawira,” Ra Caksana mengatakan itu sambil mengusap wajahnya, kemudian ia berkata, ” ini berarti pasukan berkuda mereka mungkin akan melakukan tandang esok hari, tetapi kita belum tahu betul gelar seperti apa yang akan mereka ungkapkan esok.”

“Baiklah, sementara ini, aku pikir bahwa untuk esok hari Bondan menjadi pendamping Ki Jayapawira,” Ken Banawa memandang Bondan lalu melanjutkan, ”Ki Jayapawira akan memimpin gelar dalam pasukan itu dan engkau dapat bergerak bebas menghadapi senapati yang akan berada di sayap yang berlawanan denganmu.”

“Paman, sebelumnya saya harus memohon maaf.  Saya kira esok akan secara khusus menghadapi Ki Cendhala Geni. Meski begitu, saya tetap berada dalam arahan Ki Jayapawira tetapi apabila penghubung menyampaikan kabar tentang Ki Cendhala Geni, maka aku akan meninggalkan Ki Jayapawira. Dan untuk sementara kekosongan itu dapat diisi oleh perwira yang dipimpin Ki Jayapawira,” kata Bondan menanggapi usul Ken Banawa, kemudian ia menundukkan.

“Marilah semua orang berkumpul di dekatku,” perintah Ken Banawa dan sebuah isyarat diberikan Ken Banawa dan kemudian di atas tikar pandan di hadapan mereka telah tergelar sebuah papan. Untuk selanjutnya perundingan berlangsung sedemikian rapat dan nyaris tak dapat didengar dari jarak dua langkah.

Related posts

Merebut Mataram 26

Redaksi Surabaya

Penculikan 20

Ki Banjar Asman

Sampai Jumpa, Ken Arok! 12

Ki Banjar Asman