Ki Sentot Tohjaya melihat pergerakan sekelompok prajurit yang terdiri dari pasukan berkuda dan prajurit berjalan kaki sedang mengalir ke tengah pusaran yang ia pimpin. “Ken Banawa adalah senapati pilihan,” bisiknya perlahan pada dua pendampingnya, “pasukannya dapat menutup celah dan segera menuju ke barisan kita.” Kemudian ia memberi aba-aba pada dua senapati pengapitnya agar mempersiapkan diri atas kemungkinan benturan keras yang bakal terjadi dengan pasukan pimpinan Ken Banawa. Sesaat pasukan Ki Sentot yang berjumlah besar mengalir pelan menyambut laju lawan.
Di atas tanah yang banyak gundukan lebih tinggi, prajurit Majapahit dan para pengawal kademangan segera membuka barisan untuk menebar. Mereka akan menghantam inti kekuatan pasukan Ki Sentot Tohjaya secara langsung.
“Tahan diri kalian masing-masing! Kita akan menyerang setelah ada perintah dariku!” Ki Rangga Ken Banawa berseru lantang dari punggung kuda.
Pada jarak yang cukup dekat dari pasukan Ken Banawa, Ki Sentot Tohjaya menyuruh pasukannya berhenti. Ia berkata, ”Aku tidak menutup mata atas kekalahan kita di beberapa tempat, tetapi kemenangan kita akan ditentukan sekarang ini. Oleh kalian semua! Kita telah sampai di tempat ini dan kita akan bertahan di sini, menghancurkan Majapahit di sini. Tidak ada lagi jalan untuk pulang, satu-satunya pilihan bagiku dan kalian semua adalah mengubur mereka di tanah ini!”
Usai mengatupkan bibirnya, Ki Sentot memberi perintah pada pasukannya untuk maju menyerang.
Ken Banawa pun telah menarik tali kekang kudanya dan menerjang diikuti oleh prajurit-prajuritnya.
Seperti yang telah diperkirakan oleh para pemimpin dari dua pasukan, benturan keras dari dua barisan yang berlawanan pun terjadi. Dentang senjata beradu, anak panah berterbangan mencapai sasaran dan suara-suara tertahan bercampur baur menjadi satu. Ken Banawa telah memutar pedang untuk membuka jalan agar dapat bertarung melawan Ki Sentot Tohjaya yang berada di belakang barisan depan pasukannya. Para pemimpin dari dua pasukan telah bertemu dengan lawan masing-masing sambil sesekali meneriakkan perintah-perintah dan kata-kata pembangkit semangat juang.
Pada saat pertempuran makin memanas dan darah mulai membasahi tanah, Ken Banawa telah berhasil berhadapan dengan Ki Sentot Tohjaya yang sibuk memberikan perintah pada prajurit-prajurit sekelilingnya.
“Akhirnya aku dapat bertemu secara langsung denganmu, Ki Sentot Tohjaya,” kata Ken Banawa.
Ki Sentot Tohjaya memandangnya dari ujung rambut hingga tidak terlepas satupun bagian Ken Banawa yang lolos dari sorot matanya yang tajam.
“Akhirnya satu langkah maju telah aku lakukan untuk membuat Jayanegara tunduk padaku, Ki Rangga,” Ki Sentot berkata sambil membuka selongsong ujung tombaknya.
Ki Rangga Ken Banawa menganggukkan kepala kemudian katanya, “Tidak seharusnya Anda menempatkan diri sebagai penantang raja, Ki Sentot. Anda adalah orang terhormat dan mempunyai pengikut yang tidak dapat diremehkan. Dan saya melihat sebagian pasukan Anda telah menyerah, namun mereka adalah orang yang harus dihormati karena mengerti arti kehidupan.”
“Aku tidak dapat menentang apa yang telah menjadi suara hatiku. Aku juga tidak mengatakan menyerah adalah sebuah kesalahan, aku hormati keputusan mereka selagi kita masih di medan pertempuran. Namun kau juga tahu jika keputusan itu akan membawa dampak yang mungkin berbeda dengan harapan mereka saat ini.”
“Perlu Ki Sentot untuk mengerti jika akhirnya aku harus bertarung mati-matian melawan Anda itu sama sekali bukan kebencian pribadi,” Ken Banawa berkata.
Ki Sentot menganggukkan kepala, dan katanya, ”Aku mengerti, Ki Rangga.”
Maka sejenak kemudian, mereka telah bersiap dengan segala kemungkinan yang terjadi.
Ken Banawa dapat melihat sorot mata penuh keyakinan dari Ki Sentot Tohjaya. Dalam hatinya, Ken Banawa sangat menyayangkan sikap KI Sentot yang teguh pada pendirian untuk menentang Sri Jayanegara. Karena itu, Ken Banawa memutuskan untuk segera menggunakan puncak ilmu yang dimilikinya. “Ki Sentot akan menjadi lawan yang sangat kuat,” katanya dalam hati.
Sebaliknya, Ki Sentot juga tidak memandang remeh Ken Banawa yang telah melompat turun dari kuda. Ia menyadari senapati lanjut usia yang menjadi lawannya itu dapat memberinya bahaya dan akibat yang tidak diharapkan. Maka ia melapisi setiap bagian tombaknya dengan tenaga inti yang menjadi puncak ilmunya. Putaran tombak telah menimbulkan pusaran angin yang mengelilingi tubuhnya.