Gumilang yang melihat pertarungan itu dari tempat yang sedikit agak jauh dapat menilai bahwa Ki Rangga Ken Banawa masih berada satu lapis di atas Ki Sentot. Saat itu Gumilang memberi perintah prajuritnya agar memperhatikan para prajurit Ki Wisanggeni yang tertawan dan luka-luka.
“Kumpulkan mereka di sini dan rawat yang terluka,” perintah Gumilang pada pasukannya. Sambi menatap sejumlah orang yang duduk di hadapannya, katanya, ”Aku tidak ingin kalian melakukan percobaan untuk melarikan diri. Menyerah itu bukanlah perbuatan yang hina, tetapi dengan menyerah, kalian dapat menunjukkan bahwa kehidupan sepatutnya dijaga.”
Para prajurit yang menyerah lantas menganggukkan kepala. Seorang senapati mereka berdiri kemudian berbicara pada yang lain sambil menunjuk Gumilang, ”Kawan-kawan, mungkin ada benarnya kita ikuti kata-kata senapati muda itu.” Kemudian ia menurunkan senjatanya dan berkata lagi, ”Aku sadar menyerah adalah keputusan yang sulit karena lebih mudah bagi kita untuk melawan kekerasan dengan kekerasan. Tetapi menyerahkan senjata adalah pilihanku saat ini.”
Beberapa kawannya mengikuti perbuatan senapati pasukan Ki Wisanggeni yang menurunkan senjata, meskipun terjadi gejolak perlawanan untuk sesaat namun prajurit-prajurit Gumilang dapat meredamnya dengan sangat baik. Karena itu, keberhasilan Gumilang akhirnya menjadikan sayap utara pertempuran menjadi sedikit lebih tenang.
Lalu ia memberi aba-aba untuk melintas dari sayap utara ke selatan untuk memukul pasukan Ki Sentot yang berada di garis pertahanan. Yang terjadi kemudian adalah pasukan Ki Sentot menjadi kalang kabut dengan serangan mendadak pasukan berkuda yang dipimpin Gumilang. Pada saat itu, dua kelompok kecil pasukan khusus Majapahit berhasil membuka jalan dan memisahkan barisan pasukan Ki Sentot. Dengan begitu kekacauan besar melanda pasukan Ki Sentot.
Setapak demi setapak pasukan Ki Sentot berhasil dicerai-beraikan dan akibatnya adalah perlawanan mereka semakin lemah. Beberapa pertempuran kecil masih terjadi namun prajurit Majapahit, yang dibantu para pengawal kademangan, telah menguasai keadaan dan berhasil memadamkan api pertempuran.
“Ki Sentot, kau dapat melihat kekacauan yang terjadi dalam induk pasukanmu,” berkata Ken Banawa setelah mendapat laporan dari petugas penghubung.
“Aku tidak peduli, Ki Rangga,” sahut Ki Sentot. ”Mereka telah memperjuangkan tujuan mereka melalui cara yang terhormat. Kekalahan bukanlah satu hal yang tabu untuk kami hindari.”
Ken Banawa menggoyangkan kepala, kemudian memiringkan tubuh condong ke samping, menghindari kejaran tombak Ki Sentot yang berusaha menyentuh lambungnya. Tombak Ki Sentot menggelepar kuat dan sanggup menggetarkan persendian Ken Banawa setiap kali senjata mereka berbenturan. Dua senapati tangguh dan kenyang pengalaman tempur kini saling melepaskan ancaman maut untuk mempertahankan hidup. Mereka berkelahi mati-matian.
Dengan bertumpu pada kaki kirinya, Ken Banawa memutar tubuh dengan kecepatan tinggi dan tiba-tiba tumit kanannya melesat menyilang dari bawah ke atas menyentuh kening Ki Sentot. Ki Sentot tidak bersiap dengan serangan yang tidak terduga itu lalu terguling roboh. Namun saat ia bangkit berdiri, Ken Banawa telah menyentuh lehernya dengan ujung pedangnya.
“Perintahkan pasukanmu untuk menyerah, Ki Sentot,” Ken Banawa mencoba mengulang permintaannya.
“Tidak mungkin aku lakukan itu, Ki Rangga,” kata Ki Sentot lalu ia berdiri perlahan dengan tombak yang masih tergenggam. Kemudian ia menatap tajam wajah Ken Banawa dan berkata, ”Kau adalah seorang yang jantan dan tidak membunuh lawan yang tidak bersenjata.” Lalu Ki Sentot melemparkan tombaknya dan berjalan meninggalkan Ken Banawa di belakang punggungnya.
“Aku perintahkan kau untuk berhenti, Ki Sentot!” lantang Ken Banawa berkata.
Ki Sentot berhenti sesaat. Ia seperti merenung ketika wajahnya melihat tanah yang dipijaknya. Tiba-tiba ia berseru nyaring, ”Aku perintahkan kalian untuk menyerah pada pasukan Majapahit.” Perintah Ki Sentot yang diucapkan dengan lambaran tenaga inti mengumandang di atas udara medan perang. Sejumlah prajurit-prajuritnya menyambut dengan kebingungan, namun mereka melihat rekan-rekannya melemparkan senjata. Beberapa prajurit yang masih memegang senjata kemudian berkumpul dalam satu barisan yang berbeda dengan rekan-rekannya yang menyerah.
“Kami menolak, Ki Sentot,” kata seorang perwira yang berlari menuju ke tempat Ki Sentot berdiri.
“Maka lanjutkan keinginanmu itu,” berkata Ki Sentot lalu mengambil sebatang pedang seorang prajuritnya yang berdiri di dekatnya. Lalu tiba-tiba ia berbalik arah dan menerjang Ken Banawa dengan satu serangan hebat. Kepulan tipis keluar dari batang pedang dan menyerang Ken Banawa yang telah merendahkan tubuhnya. Lambaran tenaga inti yang telah mengaliri pedang Ken Banawa memancarkan hawa panas, ia menyongsong Ki Sentot dengan kekuatan puncak