Merah padam muka Ki Cendhala Geni. Matanya menyala merah dan giginya gemeratak menahan gejolak dirinya yang dihina oleh Bondan.
“Bersiaplah untuk mati!”
Bondan menjawab dengan mempersiapkan diri menghadapi gelombang serangan lawan yang akan datang menerjangnya.
Sebelum datang menyelamatkan Ubandhana, pertarungan antara Ki Cendhala Geni dan Ken Banawa berlangsung cukup hebat. Kedua senjata mereka saling menggulung. Tetapi pada suatu ketika Ki Cendhala Geni memindahkan tangannya dengan menggenggam bagian tengah tangkai kapak, tiba-tiba kapaknya berputar-putar lebih cepat. Gulungan pedang Ken Banawa menjadi semakin sempit seakan tertelan gelombang serangan kapak Ki Cendhala Geni.
Ken Banawa bersusah payah untuk mengimbangi dari mengubah tata gerak hingga meningkatkan tenaganya, tapi ternyata tidak cukup memadai membendung aliran serangan lawannya. Di tengah putaran kapak yang semakin ketat membelit pedang Ken Banawa, uluran tangan terkepal Ki Cendhala Geni menyusup menjangkau dada Ken Banawa.
Tubuh Ken Banawa terpental jauh ke belakang. Dalam waktu itu, Ki Cendhala Geni yang akan menerkamnya, sekilas mengerling ke arah Ubandhana, pada saat itulah nyawa Ubandhana dapat diselamatkan.
Berkelebat Ki Cendhala Geni melayang cepat dan kakinya datang menjejak ke arah Bondan. Tendangan beruntun telah dilepaskan dan Bondan mendapatkan gebrakan dahsyat di awal pertarungan. Dua telapak kaki Ki Cendhala Geni seolah berjumlah puluhan datang beruntun menggempur dada Bondan.
“Gandrik! Sipat keketan! Anak ini benar-benar gila!” Ki Cendhala Geni mengumpat dalam hatinya ketika Bondan menyongsong kakinya yang terjulur.
Sentuhan keras terjadi dan Bondan terdorong surut namun tetap mampu menjaga keseimbangan. Ki Cendhala Geni terkejut melihat betapa Bondan justru membiarkan dirinya hanyut oleh dorongan. Yang menggeramkan hatinya adalah tandang Bondan seolah menunjukkan mereka berada pada tataran yang sama. Tendangan beruntun menghujani seperti puluhan kilat menyambar sebatang pohon, malah disambut Bondan dengan tangkisan untuk membelokkan arah tendangan.
Merasa bahwa serangannya akan berakhir sia-sia, Ki Cendhala Geni pun mengubah tata geraknya. Ia melesat tingi, berputar balik di atas kepala Bondan sambil mengayunkan kapak yang tajam pada kedua sisinya. Nyaris tubuh Bondan terbelah jika tidak segera menghindar dengan berguling ke samping. Bersamaan dengan itu, Bondan melecutkan ikat kepalanya ke lambung Ki Cendhala Geni. Namun Ki Cendhala Geni lekas menutupnya dengan menarik lutut.
“Anak gila!” desis Ki Cendhala Geni ketika menerima lecutan ikat kepala itu dengan lututnya. Sedikit berdenyut di lututnya ketika tersentuh ujung ikat kepala Bondan.
Tak jauh dari lingkar perkelahian Bondan.
Ken Banawa duduk mengatur pemulihan bagi tubuhnya yang sedikit terguncang karena hantaman keras lawannya.
Di bagian lain, saat tertolong kapak Ki Cendhala Geni, ternyata Ubandhana mampu memanfaatkan kedudukan Ken Banawa yang sedang memulihkan diri. Ubandhana menggulingkan tubuh untuk menyambar tombak pendeknya dan segera melesat cepat menerjang Ken Banawa. Sejenak kemudian senjata Ubandhana berputar sangat cepat dan terlihat bayangan putih seakan-akan menjadi selubung bagi tubuhnya. Tombak itu bergulung-gulung serta mengeluarkan dengung suara seperti ombak yang dahsyat menghempas karang.
Pada saat itu Ken Banawa belum selesai menuntaskan pemulihan. Ken Banawa terkesiap dengan serangan maut Ubandhana dan untuk beberapa lama ia terkurung dalam badai tombak musuhnya. Tetapi seorang Ken Banawa adalah perwira yang telah mengalami pertarungan beratus-ratus kali dalam hidupnya. Baik pertarungan orang per orang maupun dalam peperangan. Pengalaman inilah yang menjadikannya sangat tenang dan perlahan dapat memperbaiki keadaan.
Ubandhana dan Ken Banawa segera terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Tampak nyata kelincahan Ken Banawa tidak berkurang karena usia yang lanjut dan Ubandhana pun terkesan perkasa. Kekuatannya seolah mampu mengimbangi kelincahan Ken Banawa.
Di lingkaran pertempuran yang lain, semakin lama semakin nyata terlihat para pengawal Laksa Jaya berhasil didesak prajurit Majapahit. Bahkan laskar Laksa Jaya bergeser semakin jauh dari Arum Sari dan makin mendekati garis pantai. Ruang gerak mereka menjadi sempit karena gelar setengah lingkaran yang diperagakan oleh prajurit Majapahit.