Pemujaan di Bukit Tandus

oleh

DI atas perbukitan Batur Agung, sebuah kompleks percandian berdiri megah. Di tempat ini, masyarakat Jawa kuno melakukan pemujaan kepada Dewi Sri untuk memohon berkah dan kesuburan pada lahan pertanian mereka.

Kompleks percandian ini terletak di Dusun Candisari, Desa Sambireja, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Namanya Candi Sari. Karena ada candi lain dengan nama yang sama di daerah ini, yakni Candi Sari di Kalasan, maka agar tak terjadi kekacauan penyebutan candi ini dinamakan Candi Sari Sorogedug. Sementara penduduk sekitar menamakannya Candi Barong.

“Mungkin penamaan ini berdasarkan kepala kala yang menyerupai barongan,” ujar arkeolog Timbul Haryono dalam “Candi Sari (Sorogedug): Suatu Tinjauan Arsitektur”, makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi II di Jakarta, 25-29 Februari 1980.

Candi Barong dibangun di atas puncak sebuah bukit yang telah dipangkas, dengan tiga bagian halaman berundak, memanjang dengan arah timur ke barat. Pola percandian seperti itu mengingatkan pada tradisi pemujaan megalitik pada masa prasejarah.

“Bentuk batur candi pun dibuat berundak-undak secara jelas, suatu hal yang jarang ditemui pada batur candi di lain tempat,” ujar Timbul Haryono.

Ketiga halaman itu dibatasi oleh pagar keliling. Di halaman pertama tak ditemukan bekas-bekas bangunan. Di halaman kedua terdapat bekas-bekas susunan batu putih yang mungkin merupakan bekas pondasi bangunan.

Sedangkan di halaman teratas dan paling belakang, dua candi induk berdiri sejajar. Candi Barong I terletak di selatan dan Candi Barong II di tengah halaman. Gapura berhias kepala kala dan sulur-suluran menyambut siapapun yang memasuki halaman teratas sekaligus tersakral ini.

Memuja Dewi Kesuburan

Candi Barong I dan Candi Barong II memiliki bentuk arsitektur dan ragam hias yang sama. Bagian-bagiannya masih lengkap; dari kaki, tubuh, hingga atap.

Motif sulur-suluran, geometris, dan kerang bersayap (śaṅkha) menghiasi bagian kaki candi. Ukiran sulur gelung menghiasi tubuh candi. Hiasan kala dan makara masing-masing tampak pada bagian atas relung candi dan ujung pipi tangga. Sementara motif-motif geometris terukir di dindingnya.

Kedua candi itu tak punya pintu masuk kendati ketika dipugar memiliki rongga di dalamnya. Pada keempat sisi dinding candi terdapat relung kosong, yang mungkin dahulu diisi dengan arca.

Di Candi Barong ditemukan dua arca Dewi Sri, dua arca Wisnu, sebuah arca Ganesa yang belum selesai, dua arca lainnya yang tidak dapat diidentifikasikan, dan hiasan kerang bersayap (śaṅkha) yang merupakan lambang Dewa Wisnu.

“Berdasarkan temuan tersebut dapatlah diketahui bahwa Candi Barong merupakan percandian agama Hindu dan diperkirakan digunakan untuk pemujaan kepada Dewi Sri yang merupakan Dewi Kesuburan,” tulis arkeolog Edy Sedyawati dalam Candi Indonesia: Seri Jawa.

Kedua arca Dewi Sri di Candi Barong terbuat dari batu. Arca pertama, Dewi Sri duduk dalam posisi paryangkasana di atas padmasana (singgasana teratai). Tangannya empat. Tangan kanan depan seperti tengah memberi anugerah. Tangan kiri depan diletakkan di atas pangkuan dengan telapak tangan terbuka. Tangan kanan belakang memegang kamandalu (kendi). Tangan kiri belakang memegang setangkai padi.

Arca kedua dalam posisi duduk bersila di atas padmasana. Namun bagian atasnya tak utuh lagi. Tangannya dua. Tangan kanan memegang sebuah kamandalu. Tangan kiri memegang sebatang padi. Memakai kirītamakuta (mahkota), anting, kalung, kelat bahu, gelang siku, dan channawīra (tali yang diselempangkan menyilang di antara buah dada).

Dewi Sri dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali. Perannya mencakup segala aspek Dewi Ibu, yakni sebagai pelindung kelahiran dan kehidupan. Ia juga dipuja sebagai Dewi Padi atau Dewi Kesuburan yang memberikan kekayaan, kemakmuran, dan terutama berkah panen padi yang melimpah. Karenanya, bahkan hingga kini, Dewi Sri dihubungkan dengan mitos asal usul padi.

Pemujaan terhadap Dewi Sri sudah berlangsung sebelum pengaruh Hindu-Buddha datang ke Nusantara, yaitu sejak masuknya penyebaran budidaya padi di Asia pada masa prasejarah. Kepercayaan ini mampu bertahan menghadapi perubahan sosial dan agama.

Menurut arkeolog Titi Surti Nastiti dalam “Dewi Sri dalam Kepercayaan Masyarakat Indonesia” terbit di Tumotowa Vol. 3 No. 1, Dewi Sri dalam agama Hindu dikenal sebagai istri Dewa Wisnu. Namun, secara ikonografis, pengarcaan Dewi Sri di Indonesia lebih mirip dengan Wasudhārā, yang dalam agama Hindu disebut Bhūdewi (Dewi Kesuburan) atau sebagai sakti Dewa Kuwera.

Sikap duduk dan atribut Dewi Sri sama dengan Wasudhāra. Bedanya, jika tangan kiri Wasudhārā memegang setangkai gandum, tangan kiri Dewi Sri memegang setangkai padi dan tidak memakai mahkota berelief Aksbobhya atau Wairocana seperti Wasudhārā.

Kata Titi, hal tersebut kemungkinan disebabkan silpin (pembuat arca) pada masa Jawa Kuno mempunyai konsep sendiri mengenai Dewi Sri. Pembuat arca mengawinkan konsep Dewi Sri dalam agama Hindu dengan Dewi Kesuburan atau Dewi Padi yang dipuja pada masa prasejarah.

Menghadirkan Unsur Air

Di masa lalu, keberadaan arca Dewi Sri di Candi Barong menjadi dimengerti ketika melihat kondisi lingkungan di sekitar candi yang jauh dari kata subur. Tandus, kering, dan jauh dari sumber mata air. Padahal masyarakat di sekitar candi hidup dari pertanian. Karenanya mereka menggunakan sistem pertanian tadah hujan agar kebutuhan air terpenuhi.

Kondisi itu juga mendorong masyarakat untuk menghadirkan berbagai benda yang menyimbolkan dan memiliki hubungan dengan air di Candi Barong dalam bentuk motif hias śaṅkha bersayap.

Menurut arkeolog Harriyadi dalam “Makna Ragam Hias Śankha Bersayap pada Candi Hindu dan Buddha di Jawa”, Purbawidya, Vol. 9 No. 2, November 2020, penggambaran śaṅkha dimaksudkan untuk menghadirkan unsur air bagi candi dan lingkungannya.

Śaṅkha pada dasarnya merupakan binatang laut. Binatang ini lekat dengan Dewa Wisnu. Dalam mitologi, salah satu avatara atau perwujudan Dewa Wisnu, yakni Narayana, menggunakan śaṅkha sebagai atributnya. Narayana merupakan dewa air.

Di Candi Barong ada dua arca Dewa Wisnu. Arca pertama digambarkan duduk di atas padmasana dalam sikap paryangkasana. Ia bertangan empat. Tangan kiri depan diletakkan di atas pangkuan, dengan telapak tangan terbuka menengadah. Tangan kanan depan mulai pada pertengahan lengan atas. Menurut bekas-bekasnya mungkin telapak tangan kanan diletakkan di atas lutut kaki kanan. Tangan kiri belakang ditekuk ke atas di samping kepala, tapi sudah patah (hilang) sehingga tak diketahui jelas jenis benda yang dipegang. Melihat bekas-bekasnya, mungkin yang dipegang śaṅkha. Kepala sudah patah (hilang). Pelipit stela mempunyai pinggiran lidah api.

Arca kedua hanya bagian dada ke atas. Ia juga bertangan empat. Kedua tangan depan sudah patah. Tangan kiri belakang memegang śaṅkha, sedangkan tangan kanan belakang memegang cakra.

Selain dalam arca Dewa Wisnu, śaṅkha dipahatkan pada bagian kaki candi. Menurut Harriyadi, ragam hias śaṅkha di Candi Barong memiliki sayap dan rumah siput (spire) yang berada pada bagian atas dan lingkar tubuh yang menghadap bawah. Śaṅkha bersayap Candi Barong berdiri pada lapik yang berbentuk teratai mekar, padma, dan di sekelilingnya terdapat hiasan berupa sulur gelung dan hiasan geometris.

Śaṅkha bersayap dipahatkan pada candi agar mendatangkan kesuburan dan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya,” ujar Harriyadi.

Gaya Peralihan

Kapan Candi Barong berdiri belum diketahui dengan pasti. Sampai kini belum ditemukan sumber prasasti yang mencatatnya.

Candi Barong sudah dalam keadaan runtuh ketika ditemukan pertama kali pada 1913. Semak belukar menyembunyikan keberadaannya. Pada 1979 candi ini mulai ditangani secara intensif. Kegiatan pemugaran baru dilakukan pada 1986 hingga 2009.

Menurut Timbul Haryono, pembagian teras halaman candi yang roboh ke belakang biasa ditemui pada candi-candi Jawa Timur. Di Jawa Tengah, hal semacam ini dapat dilihat pada Candi Ijo, yang memperlihatkan gaya seni masa akhir Jawa Tengah sekitar tahun 850-900 M.

Selain itu, relief kepala kala yang dilukiskan lengkap dengan rahang bawah dan ada gambar tangan di kanan-kiri dengan kuku-kuku tajam juga biasa dijumpai pada periode Jawa Timur. Begitu pula profil kaki candi yang tidak mengenal kombinasi bingkai setengah lingkaran dan bingkai sisi genta.

Kemudian batu luar kaki candi diberi hiasan geometris dan śaṅkha sebagai padmamula (akar teratai). Hiasan pada candi dikerjakan dengan teliti dan halus. Karenanya, Candi Barong tak bisa digolongkan sebagai candi tua. Timbul Haryono menetapkan umurnya kurang lebih sekitar tahun 900 M.

Jadi, Candi Barong diperkirakan berasal dari masa peralihan periode Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Kini, Candi Barong merupakan salah satu destinasi wisata alternatif di Yogyakarta. Letaknya sekira 25 km ke arah timur dari Tugu Yogyakarta. Ia pun bukan satu-satunya peninggalan arkeologi di kawasan itu. Ada Candi Miri, Candi Dawangsari, Arca Ganesha, Situs Ratu Boko, dan Arca Dhyani Bodhisatwa Sumberwatu. Sebuah paket wisata yang menarik dan tak bisa diabaikan jika Anda berkunjung ke Yogyakarta.

Candi Barong juga bisa dinikmati melalui sajian virtual tour dengan kamera 3600. Bakti Lingkungan Djarum Foundation melalui Gerakan Siap Darling (Siap Sadar Lingkungan) akan mengajak Anda untuk menjelajahi setiap sudut candi. [HS]

No More Posts Available.

No more pages to load.