Dua malam sebelum terjadi pengambilalihan kekuasaan di Kahuripan, Ki Cendhala Geni telah didatangi oleh orang yang juga menemui Patraman. Ia telah memutuskan untuk turut serta dalam gerakan yang dipimpin oleh Ki Sentot Tohjaya, namun patih ini lebih memilih untuk diam. Ia masih menunggu perkembangan setelah memperoleh kepastian sikap Ki Srengganan.
Pada saat matahari berada di atas pendapa kepatihan, Laksa Jaya tengah berharap dalam kecemasan. Ia telah mendengar banyak hal mengenai Ki Cendhala Geni. Salah satu kekhawatirannya adalah ia tidak dapat keluar dari kepatihan dalam keadaan segar bugar.
Patih Kahuripan lekat memandang utusan Patraman sambil menimbang rencana yang terlintas dalam benaknya.
“Engkau benar-benar dungu! Maka dengan begitu Mpu Nambi akan datang lalu melibas kita semua. Terutama setelah aku terbunuh maka engkau akan mendapat kepangkatan lebih tinggi,” derai tawa Ki Cendhala Geni membahana memenuhi ruangan yang luas itu. Ia memancing jawaban Laksa Jaya.
“Tidak! Majapahit tidak akan berani melakukannya. Sri Jayanegara terlalu lemah untuk pekerjaan berat seperti itu. Sementara saya telah mendapatkan dukungan dari sejumlah orang di kotaraja untuk mengalihkan perhatian mereka,“ Laksa Jaya melanjutkan, ”perampokan yang dilakukan sejumlah gerombolan di masa lalu itu berbeda dengan apa yang akan kita lakukan kali ini.”
“Perampokan? Gerombolan?” Patih Kahuripan ini kemudian tertawa keras. Ia merasa kalimat terakhir dari Laksa Jaya itu sengaja ditujukan pada dirinya, namun ia tidak merasa sakit hati.
Ia beranjak lalu melangkah turun, mendekati utusan Patraman yang masih menundukkan wajahnya. Berkata Ki Cendhala Geni dengan sungguh-sungguh, “Aku adalah seorang patih, maka perampokan bukan lagi pekerjaan para penjahat. Pekerjaan itu telah menjadi bagian kegiatan kami. Apabila dalam hatimu bertanya bagaimana kami dapat menguasai istana tanpa peperangan, maka hanya ada satu kata yang menjadi jawaban. Kerja sama.
“Baiklah, kini aku siap dengan mendengar penawaranmu.”
“Ki Cendhala Geni, saya mempunyai kedudukan lumayan di dalam pasukan berkuda yang sebanding dengan kekuatan Ki Nagapati. Namun sebelum seluruh isi kademangan berada di bawah tapak kaki Tuan, saya memohon satu kerja sama.
“Arum Sari adalah sebuah jawaban untuk menempatkan Ki Demang berada di sudut yang Tuan Patih kehendaki. Pertukaran sudah pasti akan disetujui oleh Ki Demang apabila ia menerima Arum Sari dari tangan Patraman. Saya mempunyai keyakinan kuat untuk hal itu.”
“Di mana kalian akan mengambil gadis itu?”
“Di sebuah rawa, sebelah utara hutan bambu di Ujung Galuh. Kami akan menunggu disana.” Laksa Jaya lantas memberi paparan singkat tentang kemungkinan pengejaran yang akan dilakukan Ken Banawa.
“Selain itu,” lanjut Laksa Jaya, ”Mpu Nambi tidak akan gegabah mengirimkan puluhan pasukan berkuda jika ia tahu Arum Sari ada di tanganmu. Petinggi di kotaraja dapat mengambil alih pengejaran ini dengan meminta Ki Patih Majapahit agar menugaskan Ki Banawa, maka dengan begitu beberapa orang yang engkau pilih dapat menuntaskan Ken Banawa.”
“Anak ini berkata benar. Memang seperti itulah rencana yang akan dijalankan,” Ki Cendhala Geni mendesis sambil menatap tajam Laksa Jaya.
“Ubandhana,” ucapnya ketika menoleh Ubandhana yang berdiri di sebelahnya. ”Apa engkau bisa lakukan itu untukku?” tanya Ki Cendhala Geni dengan sedikit dagu terangkat.
“Serahkan padaku, Ki Patih.”
“Baiklah,” Ki Cendhala Geni kemudian meminta kedua lelaki muda itu untuk lebih mendekat. Laksa Jaya lantas membeberkan rencana selanjutnya termasuk jalur yang harus dilewati oleh Ubandhana untuk sampai di sebuah rawa yang berada di utara Ujung Galuh.