Panarukan 9

oleh

“Mungkin ini adalah kelemahan kami karena Ki Rangga berada di pihak yang berbeda dengan kami,” kata Ki Lurah Sanggamurti menggelengkan kepala.

“Tidak, Ki Lurah,” sahut Ki Rangga Gagak Panji, ”Demak memiliki banyak senopati yang mempunyai kelebihan di atas saya.”

“Bukan masalah ketinggian ilmu yang saya maksudkan.” Ki Lurah menarik napas panjang lantas melanjutkan, ”Tetapi pada kemampuan menjaga semangat prajurit agar tetap menyala dalam kedudukan yang mustahil untuk menang. Aku telah banyak mendengar kemampuan Ki Rangga dalam menangani prajurit.”

“Dan esok pagi kita akan bertemu sebagai lawan.” Gagak Panji mendongakkan wajah sambil meneruskan ucapan, ”Pertemuan yang tidak akan aku jalani dengan hati gembira sekalipun keluar sebagai pemenang.”

“Saya kira kita semua berada dalam keadaan yang sama,” berkata Ki Lurah Sanggamurti.

Pandang mata Gagak Panji menerawang jauh menembus gelap yang menutupi seluruh permukaan laut. Hembus kencang angin malam membuat rambutnya yang panjang dan tergerai lepas itu berkibar-kibar. Rahang Gagak Panji terlihat mengeras. Kemudian ia berkata, ”Peperangan adalah sebuah mimpi buruk bagi siapa saja yang mengalaminya. Bila kau pernah mendampingi Raden Trenggana dalam banyak pertempuran, tentu kau mengerti arti sebuah kehilangan.”

“Ki Rangga berkata benar,” sahut Ki Lurah Sanggamurti.

Temaram merah mengembang di ufuk timur. Bibir Gagak Panji bergetar tetapi tidak ada suara yang ia perdengarkan. Namun suara Gagak Panji mendesah pelan. Ia bersenandung bersama rasa yang menghunjam jantungnya.

“Samudera ini bukanlah air mata dewa

Ia menjadi tempat mengadu para nelayan

Nelayan yang terhempas membentur karang

Nelayan yang tersapu pusaran topan

Sabar lire momot kuat nandhang panggoda

Sakabehing tirto segoro tan ngowahi sakehing coba

Pepadang bakale tumeka”

Kemudian ia berpaling pada Ki Lurah Sanggamurti dan para prajurit, lalu berkata, ”Nah, waktuku telah tiba. Aku minta diri pada kalian semua, dan apa yang kita bicarakan malam ini, dan yang kalian dengarkan dariku, aku harap kalian segera melupakannya. Esok pagi kita akan bertemu sebagai lawan dan kita tidak akan dapat melepaskan diri dari keharusan untuk saling membunuh.” Gagak Panji berkata dengan suara penuh getar yang mengiris jantung prajurit yang mendengarnya. Ilmu Gagak Panji telah mereka dengar tetapi mereka lebih takut pada kemungkinan bahwa mereka akan bertemu dan bertempur dengan kerabat dan keluarga sendiri. Namun mereka mengerti pesan Gagak Panji bahwa kelapangan akan datang menjemput mereka.

Ki Lurah Sanggamurti dan para prajurit pun memandang tubuh Gagak Panji yang telah terjun ke laut setelah melompati bibir kapal. Perahu pun tak bergoyang ketika Gagak Panji mendaratkan kaki pada buritan. Dengan menempelkan ujung dayung pada lambung kapal Raden Trenggana, Gagak Panji menggunakannya cara itu untuk mendorong perahunya. Sedemikian hebat tenaga inti Gagak Panji hingga menjadikan perahu melaju sangat cepat dan seolah tidak menyentuh air laut.

Ra Kayumas memberi perintah untuk pergi ketika dilihatnya sosok tubuh yang ia kenal telah pergi meninggalkan kapal induk. Ra Kayumas berada dalam jarak selemparan anak panah dari kapal Raden Trenggana. Agaknya ia telah bersiap untuk mendukung Gagak Panji bila mengalami kesulitan. Namun segalanya tampak berjalan lancar seperti yang menjadi harapan Hyang Menak Gudra.

Gagak Panji tak banyak mengucap kata ketika mengayun kaki menuju barak prajurit yang terletak di sebelah utara bangunan pengawas. Ia menjawab sapaan para prajurit dengan anggukkan kepala. Lelaki yang dikatakan oleh Kiai Rontek sebagai sosok yang mengatur penculikan Pangeran Benawa ini beberapa kali mengusap wajahnya yang terkadang nampak muram. Ia tidak mengkhawatirkan ilmu tinggi Raden Trenggana dan para senopatinya. Tak pula ia merasa gentar dengan kehebatan angkatan perang Demak yang terkenal sangat tangguh dalam pertempuran di atas samudera. Tetapi ia tergoncang karena mimpi buruk yang akan terjadi.

“Ambillah sedikit masa untuk istirahat, Ngger,” berkata Mpu Badandan ketika melihat Gagak Panji memasuki barak.

“Hari ini tidak ada lagi waktu untuk menghindari apa yang kita usahakan untuk menjauhi perairan Blambangan, Guru,” Gagak Panji berkata sambil mencium tangan gurunya. Kemudian ia membungkuk hormat pada Hyang Menak Gudra yang sepertinya telah berada di dalam barak jauh semasa ia masih berbicara dengan Raden Trenggana.

No More Posts Available.

No more pages to load.