SuaraKawan.com
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 56

Ketika perempuan berusia senja itu menutup gerakan dengan cara yang sangat lembut dan begitu indah, kemampuan hebat Nyi Ageng Banyak Patra semakin memancar dan terlihat sangat jelas. Pada waktu itu, setiap kibas dan putaran yang dilakukannya menimbulkan desis sangat keras – lebih menyerupai suara yang melengking tinggi. Dan tiba-tiba serangkum angin pukulan menghantam Ki Manikmaya yang kemudian menangkis dengan menggerakkan sepasang lengan seperti baling-baling.

Tangkisan Ki Manikmaya mengakibatkan benturan sangat keras dan dua-duanya adalah tenaga cadangan yang berkekuatan raksasa.  Namun Nyi Banyak Ageng telah bersiap dengan setiap  kemungkinan,  maka yang terjadi kemudian adalah guru Kinasih itu membelit hawa pukulan musuh lalu memutarnya bersama-sama dengan tenaga cadangan miliknya.

Udara di tengah lingkaran berputar sangat kencang, membuat banyak pohon dan tanaman bergerak-gerak pada satu arah dan seolah ada tenaga sangat kuat sedang membetot semua benda. Yang terjadi adalah prahara yang sedang menjadikan segalanya porak poranda. Bebatuan seukuran kepala kerbau pun semburat, berhamburan lantas menghantam setiap benda yang menghalangi jalurnya. Ki Manikmaya terkejut! Ia tidak menyangka angin pukulannya dapat terbetot dan dikendalikan oleh Nyi Ageng Banyak Patra. Ini bahaya yang nyata dan mengerikan! pikirnya. Bahkan kedudukannya juga terseret maju, mendekati pusat pusaran. Sepertinya, daya serang  Ki Manikmaya akan habis ketika ia terkungkung dalam pusaran! Jika ia terhisap oleh daya tarik pusaran, tenaga cadangan Nyi Ageng Banyak Patra akan menghimpitnya, menekan lalu meremukkan seisi dadanya. Ini adalah pembuktian bahwa ia harus menunjukkan diri sebagai yang terbaik, maka Ki Manikmaya merendahkan tubuh, menekuk sedikit sepasang lutut, lalu menggerakkan sepasang tangannya seolah menarik kembali tenaganya yang terhisap.

Namun itu hanya sekejap!

Ki Manikmaya terhenyak karena seolah menemui keadaan yang berlainan dengan dugaannya. Tubuhnya terus bergerak maju, mendekati pusat angin topan sejengkal demi sejengkal dan ia seakan berjumpa dengan kegagalan bila tetap berkeras pada usahanya!

Yang dilakukannya kemudian adalah menghentikan aliran tenaga cadangan, lalu mengubahnya menjadi pukulan yang diarahkan pada permukaan tanah!

Bumi berguncang.

Ledakan keras terjadi pada saat inti pukulan Ki Manikmaya dapat menerobos hingga pusat pusaran!

Sebuah lubang sebesar tubuh kerbau yang berbaring pun tercipta.

Tubuh dua orang yang berkammpuan sangat tinggi pun terdorong, mereka bahkan harus menggulingkan tubuh untuk meredam lontaran tenaga yang meledak!

Sedangkan pada gelanggang perkelahian yang lain, tandang Sukra benar-benar memberi kejutan tiada henti pada pengikut Raden Atmandaru. Sepasang anak panah pada dua tangannya menyambar-nyambar, mengoyak baris pertahanan dari gelar yang tersusun sangat kuat. Dalam waktu sebentar saja, Sukra telah berada di dalam gelar dan berusaha membongkar gelar dengan serangan-serangan yang menakjubkan, ditambah lagi, bibir Sukra tidak berhenti meneriakkan suara-suara yang mengerikan. Lingkaran perkelahiannya menjadi sangat gaduh dan sangat berisik! Kadang-kadang Sukra melolong panjang, terkadang juga ia menggeram seperti suara serak yang tertahan di tenggorokan. Untuk keseluruhan sejak awal pertempuran, Sukra berkelahi dengan cara yang dapat membunuh seorang petarung sebelum ia bergerak!

Sepasang anak panah, yang menjadi senjata Sukra, berkelebat seperti tidak beraturan di udara, menusuk dan menyayat, menggores lalu berusaha membelah kulit lawan-lawannya. Dan yang menjadi pembeda sangat jelas adalah luapan perasaan yang terbit dari hatinya. Bahwa ia akan mengorbankan diri demi keselamatan Ki Patih Mandaraka, jika itu terjadi, maka kematiannya akan memenuhi harapan Agung Sedayu – yang telah dianggapnya sebagai pengganti orang tuanya. “Menyelamatkan Ki Patih adalah jalan lain untuk menyelamatkan Mataram dari jangkauan orang-orang yang yang terjebak oleh kesenangan pribadi,” demikian yang diucapkan Ki Demang Brumbung padanya sewaktu berada di dalam kereta. Ucapan yang menjadi pemantik api yang kemudian menyala sangat hebat di dalam dirinya.

Dalam pertarungan sengit itu, Sukra sepenuhnya sadar bahwa kepala seseorang dapat tiba-tiba menggelinding dengan paras yang menakutkan. “Dan itu dapat saja adalah kepalaku,” bisiknya dalam hati. Udara sekitar lingkar perkelahian Sukra seolah menangkap getar hatinya lalu menjabarkannya melalui gaung yang dapat dirasakan oleh orang-orang yang menjadi lawannya.

Pandangan para pendukung makar seperti melihat sepasang tangan Sukra telah bersiap memenggal kepala mereka setiap waktu. Sebagian orang menyesali rancangan yang terlanjur dijalankan. Keberadaan Sukra dan kehadiran Nyi Ageng Banyak Patra seolah menjadi kelemahan terbesar mereka pada ambang malam itu.

Mereka tidak mempunyai pilihan selain bertahan untuk mati atau menyerang demi mematikan lawan. Tidak ada yang lain-lain. Dengan demikian, dengan cara mengeroyok Sukra, mereka berusaha menjaga keadaan, berusaha saling melindungi melalui serangan-serangan mematikan. Lalu, untuk sementara waktu, gelar mereka dapat kembali dalam bentuk semula.

Sedangkan Ki Lurah Plaosan yang telah memutar senjatanya, mendadak lenyap karena begitu cepat dan sangat sulit diikuti mata biasa di bawah suasana senja yang mulai meremang. Kilau keris Ki Plaosan, walau tidak begitu panjang, sanggup menutup setiaplubang pertahanannya. Begitu kuat dan dahsyat hingga Ki Panji Secamerti tidak dapat lagi memandangnya dengan sinar mata remeh. Terjangan demi terjangan yang dilepaskan oleh Ki Plaosan juga mengundang decak kagum Ki Patih Mandaraka. Dalam pikirannya, Ki Plaosan hanya terhalang oleh usia karena memulai kehidupan sebagai prajurit dari tingkatan rendah, tetapi yang dilakukannya sekarang ini hanya akan berulang sepuluh atau dua puluh tahun lagi.

Kelemahan Ki Plaosan sangat sulit dicari, Ki Panji Secamerti pun menggunakan jalan lain. Belasan benda-benda tajam berukuran sepanjang jari telunjuk keluar dari lontaran tangannya! Benda-benda kecil yang tidak mengeluarkan suara ketika membelah udara, menerjang Ki Plaosan sangat deras, menyambar empat bagian tubuh Ki Plaosan. Lurah Mataram ini mengubah kedudukan, menarik semua serangan lalu menjatuhkan diri agar tak tersentuh oleh senjata rahasia yang dilemparkan musuhnya, Ki Panji Secamerti.

Kesempatan yang dimanfaatkan sangat baik oleh Ki Panji Secamerti. Ia melompat panjang, menukik lalu menghujani Ki Plaosan dengan serangan yang sangat berbahaya. Sepasang tangan dan kaki Ki Panji Secamerti menghujani Ki Plaosan yang nyaris tidak dapat membuat pertahanan, meski terus bergulingan, pada akhirnya Ki Plaosan tertolong oleh gelegar dentuman yang timbul karena benturan tenaga Nyi Ageng Banyak Patra dan Ki Manikmaya. Ki Plaosan segera melenting, lalu bangkit dengan sikap yang begitu gagah. Kemudian katanya, “Seperti itukah seorang panji berkelahi? Seperti pengecut?”

“Untuk kemenangan, penilaian pengecut hanya akan terucap dari para pecundang sepertimu! Pemenang dalam pertarungan ini akan mengubah kenyataan di masa depan.” Ki Panji Secamerti meluncur deras, menerjang lawannya dengan gebrakan yang sangat tajam.

Ki Plaosan bersiap dengan tata gerak yang terlihat sangat tangguh. Gerak bertahan yang sepertinya sulit dijangkau bila diserang dari atas. Dengan kecepatan luar biasa, Ki Panji Secamerti melabrak Ki Plosan dengan rangkaian tendangan yang bertubi-tubi. Pada waktu itu, senjata Ki Plaosan seolah terkunci dengan pikirannya bahwa serangan gelap akan datang setiap saat. Maka demikianlah Ki Plaosan seolah tidak berdaya mencegah pedang yang segera datang bagaikan hujan. Untuk dua kali, lurah Mataram ini  tertolong oleh lengking nyaring yang keluar dari bibir Sukra!

Meski terlambat, Ki Plaosan tiba-tiba membalikkan tubuh, meloncat jauh dan panjang lalu berbalik menyerang Ki Panji Secamerti. Meski ia bergerak sangat cepat tetapi ujung pedang Ki Secamerti dapat menggapainya dan darah pun mengisi udara dengan amisnya. Perasaannya gemas dan kacau, mengingat keselamatannya ternyata tergantung pada campur tangan pihak ketiga. “Aku tidak boleh mengulang kebodohan seperti ini,” hatinya gusar. Biarpun tubuhnya penuh ditancapi senjata gelap Ki Panji Secamerti, itu lebih baik daripada membiarkan pertahanan berlubang tanpa perlawanan, geram Ki Plaosan pada dirinya.  Sekejap ia melirik tempat pertarungan Sukra, maka gerak hati pun memenuhi pikirannya. Bagaimana jika ia bertarung sama sengitnya dengan Sukra? Berkelahi tanpa pakewuh dan tanpa halangan paugeran? Gambaran pun dapat diperolehnya. Melambari setiap serangan dengan tenaga cadangan pun menjadi keputusan Ki Plaosan agar pertarungan tidak bertele-tele.

Related posts

Nir Wuk Tanpa Jalu 4

kibanjarasman

Kiai Plered 18 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 33

Ki Banjar Asman