SuaraKawan.com
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 47

Kemudian tibalah mereka di tepi parit kecil dengan arus air tak begitu deras dan jernih.

Sebelum melewati jembatan yang hanya mampu dilalui dua ekor kuda berpapasan, ia merasa telah tiba di pelataran pondokan. Mengedarkan pandangan sekitar, ia menatap punggung kokoh Merbabu yang membentang di kaki langit. Ia akan tiba di halaman pondok kecil yang terletak di sisi kanan dua genangan air yang cukup luas. Pondok yang sangat asri dengan sebaran persawahan yang mengelilinginya. Seolah-olah pondok itu menjadi pusat dari segala yang ada di dekatnya.

Sebelum melewati jembatan yang hanya mampu dilalui dua ekor kuda berpapasan, ia berdiri memandang aliran jernih parit dangkal yang berada di bawah kakinya. memandang air jernih dangkal yang mengalir di bawahnya. Kenangnya, ia datang sebagai gadis kecil bersama seorang perempuan yang berusia sepantaran dengan neneknya dan mulai tinggal di pondok belasan tahun silam. Hari demi hari dan menjadi teman karibnya ketika ia  melewati waktu di bawah gemblengan perempuan luar biasa dengan cara yang tidak wajar. Belum genap usianya mencapai delapan tahun ketika sang guru mulai sering meninggalkannya seorang diri. Meski demikian, ia tidak ingin mengeluh atau memperlihatkan rasa takut. Selama waktu itu, ia tidak banyak mengetahui latar belakang perempuan yang terkadang disapanya “Nyai.” Yang diketahuinya adalah Nyai menjadi pengganti orang tuanya yang menghilang ketika pecah peperangan di Pegunungan Kendeng.

Sejenak waktu, sebelum melewati jembatan yang hanya mampu dilalui dua ekor kuda berpapasan, ia memandang Agung Sedayu yang sadarkan diri. “Anda cukup beruntung, Ki Rangga. Atau mungkin sangat beruntung mempunyai nasib baik bila bertemu dengan guruku. Semoga umur Anda sedikit panjang hingga pertemuan dengan beliau datang menjelang,” desisnya dalam hati.

Dengan dada tegap dan percaya diri, ia mengendalikan dua ekor kuda begitu tangkas meniti jembatan yang tak begitu besar. Sejurus kemudian, dua ekor kuda berpacu, meninggalkan debu yang membumbung tipis di udara.

Kurang dari jarak tiga lontaran panah, tiba-tiba, matanya melihat bayangan berkelebat sangat cepat. Tubuh yang begitu ringan melintas di atas pucuk ilalang tanpa membuat rumput panjang itu bergerak! Jarak masih cukup jauh dan terhalang tanaman perdu yang membujur lintang sehingga ia tidak dapat melihat wajah orang yang diperkirakan datang menemuinya. Ketenangan semakin dalam menyusup dalam hatinya. Ada rasa senang seperti seorang anak yang mengejar kunang-kunang. Ia tersenyum ketika mengingat dirinya melibas padi menguning untuk menangkap hewan bercahaya itu. Perasaan damai dan kerinduan pada suasana tenang datang mengalir sejalan dengan peredaran darah.

Baca karya SH MIntardja – Jejak di Balik Kabut

“Nyai,” sapanya ketika bayangan itu telah jelas menampakkan wujudnya dengan cara luar biasa. Napasnya biasa saja padahal ia berlari dengan kecepatan melebihi kelebat burung dadali. Pengerahan ilmu dan tenaga hingga melampaui batas kewajaran seolah tidak menjadi beban bagi perempuan yang sebenarnya berusia senja. Hingga pertemuannya dengan sang guru, ia belum dapat melepaskan pesona dari perempuan yang menyimpan kekuatan dashyat itu.

Sang guru membalasnya dengan anggukan kepala dan senyum yang mengembang. Coretan jalan hidup yang terlihat jelas di wajah perempuan renta itu tidak mengurangi wibawa agung yang memancar dari sorot matanya. Kemudian katanya, “Kinasih, aku tidak melihat seseorang berada di belakangmu. Bagus, engkau melewati ujian pertama ini dengan sangat baik, Ngger.”

Kinasih sedikit membungkuk hormat. Lantas ia angsurkan kendali kuda yang membawa tubuh Agung Sedayu. Perempuan itu menggelengkan kepala berulang. Ia menilai keadaan senapati Mataram dengan tatap mata selidik. Ajaib! Dari yang terlihat oleh mata batinnya tentang peristiwa yang menimpa Agung Sedayu, perempuan itu membayangkan Agung Sedayu datang dengan tubuh berbalur garis-garis biru atau semburat merah. Namun, kenyataannya tidak! Tubuh Agung Sedayu tidak seperti orang yang terperangkap racun. “Bisa ular bandotan tidak akan mempan melawan kekebalan orang ini,” kata guru Kinasih dengan suara lirih. Maka benarlah, pikirnya, bahwa jiwa dan raga Agung Sedayu sedang diliputi oleh tenaga gaib. Tenaga yang berasal dari kekuatan adidaya, berasal dari kekuatan yang sulit dibendung oleh kemampuan manusia meski ia berilmu sangat tinggi. “Kinasih, apa arti sebuah ilmu bila tidak diiringi oleh kekuatan batin yang mumpuni?” guru Kinasih bertanya tiba-tiba.

Kinasih merenungi pertanyaan gurunya. Walau pertanyaan itu sering berulang di hadapannya, tetapi Kinasih mengerti bahwa jawaban yang diinginkan bukan sebuah kalimat yang ringan diucapkan. Gurunya menginginkan lebih : bahwa jawaban harus terbit dari kedalaman hatinya. Untuk itulah, Kinasih tidak segera menjawab. Kinasih ingin mendapatkan pengalaman melalui pengembaraan yang dilakukannya di jalan-jalan pikirannya. Ia ingin dapat melihat segalanya dengan ketenangan, seperti pengajaran gurunya.

Bahwa Kinasih tidak akan memberi jawaban adalah sikap yang sudah diketahui oleh perempuan itu. Maka selangkah ia maju, menyentuh punggung Agung Sedayu lalu mengurutnya pada beberapa bagian. Sekilas ia mengerling pada langit yang terlihat begitu cerah dan Ia menatap langit terang yang cantik, lalu katanya, “Mari pulang. Agung Sedayu tidak akan sadar hingga dua atau tiga hari mendatang.” Dalam perjalanan itu, Kinasih menggambarkan suasana perkelahian di Slumpring. Ia juga mengatakan sempat melihat seseorang yang berusia lebih tua dari gurunya.

“Apakah mereka menyebut sebuah nama ketika bicara dengan lelaki itu?” tanya sang guru.

“Ki Patih. Ya, terdengar seperti kata itu, jawab Kinasih. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, lalu bertanya tanpa dapat menahan diri, “Nyi Ageng, maafkan saya. Saya masih mempunyai ganjalan dalam hati dan pikiran saya.”

“Katakan.”

Sambil mengarahkan pandangan mata pada Agung Sedayu, Kinasih menggerakkan bibir, “Bagaimana Nyi dapat mengetahui nama dan kedudukan orang ini? Dan, bagaimana pula Nyi dapat membuat perkiraan tentang yang akan menimpanya di tempat yang bernama Slumpring? Maafkan saya, Nyi Ageng, karena dua pertanyaan itu seolah menjadi seseorang yang bangkit dari kubur lalu mengikuti langkah saya selama mengamati Ki Agung Sedayu.”

Sedangkan rupa Adipati Hadiwijaya banyak dikenali oleh para prajurit Demak. Melalui sikap yang sama sekali tidak mencolok, Adipati Hadiwijaya pun tiba di depan gerbang istana Raden Trenggana.

Baca juga : Cerita Silat Kerajaan Jawa

“Seperti yang aku tanyakan padamu, apakah sebuah ilmu dapat menjadi genangan air yang mampu mengairi persawahan di musim kemarau? Ketika masa, yang telah ditetapkan padamu, tiba, tidak ada yang aku harapkan selain pengertian yang perlahan-lahan akan mengisi ruang kosong dalam hatimu. Baiklah, untuk sementara, istirahatlah dulu barang sehari atau dua hari. Dalam masa itu, engkau dapat membantuku mengumpulkan tanaman dan akar sebagai bahan pengobatan Agung Sedayu. Namun engkau tidak perlu membangunkannya dari pingsan. Biarkan. Cukuplah engkau ajak bicara meski, bisa jadi, ia tetap tidak akan dapat mendengarmu.”

“Saya, Guru.”

“Aku akan mengambil waktu untuk mengunjungi Mataram dan membicarakan dua atau tiga hal dengan orang yang kau sebut panggilannya, Ki Patih. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Ki Patih Mandaraka. Kelak kau akan bertemu, dan mungkin, sebuah peristiwa akan menarikmu lebih dekat pada beliau.”

Kinasih termangu ketika keterangan gurunya memagut pikirannya. “Siapakah sebenarnya guruku ini? Mengapa seolah begitu mudah menemui Ki Patih lalu membicarakan sesuatu?”

Sesampainya di pondok kecil berdinding bambu dan mempunyai empat ruang di dalamnya, perempuan renta itu berjalan pelan dan begitu tenang. Dalam waktu itu, ia memondong tubuh Agung Sedayu dan tidak ada kesulitan baginya saat memindahkan senapati Mataram ke bagian dalam. Seolah-olah tubuh Agung Sedayu — yang berukuran lebih dari satu setengah kali darinya – tidak mempunyai bobot sama sekali. Begitu ringan dan sangat ringan dipandang. Sejenak kemudian, ia mengatakan banyak pesan pada Kinasih mengenai perawatan yang harus dilakukan sepeninggalnya. Banyak hal yang dilakukan oleh dua perempuan yang berbeda usia tersebut.

Sinar matahari telah condong ke timur sewaktu Kinasih bersila di depan gurunya. Mereka melakukan pembicaraan dengan bahasan yang mendalam hingga pertengahan malam.

“Selain merawat Agung Sedayu, engkau harus menetap dalam latihan-latihan yang telah aku terangkan padamu. Engkau akan menjumpai orang-orang yang ganas dengan bekal kemampuan kanuragan yang mungkin tiada duanya. Engkau akan dikelilingi oleh orang-orang yang berwatak liar dan dapat memangsamu setiap kali mereka ingin. Hidup yang diberikan padamu oleh Yang Maha Sempurna harus mendapatkan penghargaan yang semestinya darimu.”

“Termasuk penderitaan?”

“Termasuk penderitaan. Engkau akan merasakan kenyataan yang tak sejalan dengan harapanmu sebagai derita. Dan itu adalah awal keluarnya air mata. Engkau akan menangisi lebih banyak dari orang lain, sementara aku mengajarkanmu bahwa derita harus engkau pandang sebagai pengetahuan yang sangat berharga. Ketika engkau menangisi kepergian orang tuamu, aku tahu itu adalah tangis dari seorang anak yang buta dengan hidup, meski sebenarnya, yang engkau tangisi adalah tentang caramu melanjutkan hidup tanpa orang tua. Engkau menangis karena ketidakberdayaan dan sebuah kesadaran yang menyimpang bahwa engkau patut dikasihani. Maka, tetaplah berdiri tegak di atas segala penderitaan dengan tetap memandang derita adalah anugerah.”

Sejenak perempuan itu menarik napas panjang. Ingatannya mengarungi waktu-waktu yang telah berlalu. Ia berada di tempat itu, lalu berkeliling, dan kembali ke pondok untuk menilai segala yang terjadi di Pajang. Kemudian katanya, “Mungkin…sekarang…aku pikir engkau harus mengetahui sesuatu. Namun camkan, bahwa yang aku katakan padamu bukanlah sesuatu yang penting tetapi engkau harus menyimpannya sangat dalam di lubuk hatimu.”

“Saya, Guru.”

“Aku berada di Pajang setelah Pangeran Benawa berpulang. Aku ada untuk memastikan Pangeran Gagak Bening tidak melakukan penyimpangan.”

Kinasih mendesah sambil meredakan perasaannya yang terkejut dengan penjelasan gurunya. Ia membatin, apakah gurunya adalah orang yang sangat penting di Mataram? Siapa beliau sebenarnya? Adakah nama beliau pernah didengarnya dari percakapan orang-orang di pasar dan sepanjang aliran sungai di sisi selatan pondok?

Related posts

Perwira 6

Ki Banjar Asman

Wedhus Gembel 7

Ki Banjar Asman

Jati Anom Obong 6

Ki Banjar Asman