“Kalian katakan bahwa Ki Gede mengutus dua anak muda. Sayoga dan Sukra. Di mana mereka sekarang?” Nada kesal sedikit menghambur dari suara Swandaru.
“Kami tidak mengetahui keberadaan mereka sejak dini hari tadi,” jawab Bunija. Ia sadar bahwa keterangannya akan menambah kegusaran Swandaru. “Maaf, Ki. Agar tidak salah mengerti atau muncul anggapan keliru, sebaiknya Ki Swandaru bersedia menunggu barang sejenak. Kami akan memanggil Kang Dharmana lalu memintanya menemui Anda di sini.”
“Di mana Dharmana sekarang?”
“Di banjar pedukuhan induk. Agaknya luka di pundaknya telah memberi sedikit hambatan.” Bunija mengayun langkah usai mengatakan itu pada Swandaru. Bunija yang mengendurkan sikap ternyata membawa pengaruh secara langsung pada Swandaru. Berangsur-angsur ketegangan yang menguasai murid kedua Kiai Gringsing mulai mencair.
“Tunggu, Bunija, tunggu dulu! Aku belum mendengar sedikit pun semua yang telah terjadi di sini. Aku hanya tahu adikku telah melahirkan, itu saja. Sekarang, katakan semuanya. Aku mendengar Janti telah jatuh ke tangan musuh. Dan, dari kalian, aku juga baru tahu bahwa istriku masih berada di Jagaprayan.” Bahkan suara Swandaru tiba-tiba bergetar ketika menyebut kata ‘melahirkan’ dan ‘istriku’. Seolah bibit pengajaran dari Kiai Gringsing tentang kesadaran datang menyergap dan membuatnya tidak berkutik. Bahwa seseorang yang terjerumus dalam kepentingan yang dianggapnya mulia akan sulit melihat kenyataan yang sedang mengitarinya. Untuk sesaat, Swandaru seolah melihat wajah gurunya yang murung. Swandaru mengambil waktu sejenak untuk menyandarkan punggung pada tiang penyanggah gardu. Ia memutar waktu untuk melihat kembali perbuatan yang pernah dilakukannya. Ia mengitari ruang-ruang di dalam pikirannya agar dapat menilai segala yang pernah dipikirkan sebelumnya. Apakah Swandaru sedang mengasihani nasibnya sendiri atau adik dan istrinya? Untuk waktu yang baru saja berlalu, ia nyaris menenggelamkan Sangkal Putung pada jalan nasib yang kelam. Mungkin lebih parah akibatnya jika dibandingkan jatuh ke tangan Macan Kepatihan, pikirnya.
Para pengawal dapat menyaksikan wajah Swandaru yang dirundung gelisah. Meski mereka tidak mengucapkan isi perasaan masing-masing, tetapi mereka mengerti bahwa Swandaru berada di tengah belitan persoalan yang tidak semestinya disampaikan terbuka.
Bunija hanya menunggu perkembangan selanjutnya.
Desah napas panjang berhembus dari saluran pernapasan Swandaru, kemudian ia mengulang permintaan, “Baiklah. Kalian dapat mengungkap semua yang terjadi selama aku tidak berada di sini.”
Maka Bunija pun menerangkan setiap yang diingatnya, kadang-kadang keterangannya ditambahi oleh pengawal yang lain.
Swandaru tidak sedikit pun memberi tanggapan secara langsung. Ia lebih memilih untuk menyimak penjelasan mereka terlebih dulu agar dapat melihat perkembangan secara menyeluruh. Lalu katanya, “Aku kira sudah cukup banyak keterangan penting yang kalian berikan. Sekarang, kalian dapat kembali pada tugas masing-masing. Aku akan menilik keadaan di Jagaprayan, adakah salah seorang dari kalian bersedia menjadi teman perjalanan?”
Keheningan merebak secepat kilat usai Swandaru mengatakan itu.
Para pengawal kademangan seolah belum benar-benar dapat menaruh kepercayaan bulat padanya. Bagi mereka, perubahan sikap Swandaru tidak dapat dijadikan pedoman yang cukup kuat. Kecuali mereka mendapatkan perintah secara langsung dari Agung Sedayu atau Dharmana sebagai pemimpin pengganti untuk sementara waktu. Walau pun Swandaru adalah pemimpin kademangan, tetapi kecurigaan belum terenyahkan dari hati mereka.
“Sebenarnya, apa yang menjadi penyebab kalian meragukanku? Tentu bukan saja karena perintah Ki Rangga. Aku tahu kalian juga akan menaati ucapan Dharmana. Tapi, lihatlah, kademangan lebih membutuhkan tindakan nyata! Bukan kecurigaan seperti yang kalian gelar di hadapanku,” kata Swandaru sambil menggerak-gerakkan tangan. Ia benar-benar gusar dan tak habis mengerti sikap para pengawal kademangan. Andai saja kademangan tidak dirundung ancaman, ia pasti akan memberi hukuman keras pada mereka. Dan ternyata ia tidak dapat menahan diri. “Apakah kalian ingin hukuman cambuk dan kerja paksa di tepi bendungan?”
“Apakah itu ancaman, Kakang Swandaru?” tiba-tiba suara Sayoga menerobos udara, mencapai pendengaran Swandaru yang nyaris kehilangan kendali. “Jika itu menurut Kakang memang dapat mengubah pendirian mereka, Kakang bisa lakukan dan mereka tidak akan melawan. Saya pikir mereka akan memilih mati daripada mengelabui perasaan sendiri.”
“Diam!” Dengan penuh kegeraman, Swandaru memutar tubuh lalu melihat Sayoga telah berada dua langkah darinya. Swandaru tidak mengerti, apakah ia harus lega atau semakin merasa susah dengan kehadiran anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itu? Kemudian katanya, “Jika engkau berniat untuk menyelamatkan mereka, sebaiknya kau antarkan aku menuju Jagaprayan. Sangat menyedihkan bila aku kembali menerima penolakan. Itu adalah kenyataan yang mengenaskan bila Ki Gede mengirim dua orang pengecut.”
“Kami berdua berada di sini atas perintah Ki Gede. Dan kami melakukan segalanya sebagai wakil dari Ki Gede. Saya telah mengetahui keberadaan beliau di pedukuhan induk, dan dengan begitu, saya dapat melepaskan tanggung jawab menjaga keamanan pedukuhan induk agar dapat mewakili beliau pada urusan yang lain. Silahkan, Ki Swandaru,” kata Sayoga dengan gerakan tangan agar Swandaru berjalan di depannya. Sikap Sayoga yang masih menunjukkan ketenangan sebagaimana awal kedatangannya mendatangkan rasa lega pada hati pengawal. Mereka tahu bahwa Swandaru mempunyai wewenang untuk melakukan yang diucapkannya, tetapi mereka juga dapat merasakan bahwa Swandaru benar-benar enggan beradu kuat dengan Sayoga.
Dengan hati bergolak karena ketenangan Sayoga membuatnya gugup, Swandaru bertanya dengan angkuh, “Di mana seorang lagi?”
“Saya tidak mengetahuinya. Tidak seorang pun yang mengetahui keberadaan Sukra. Seandainya saya tahu, bukan kewajiban saya untuk mengatakannya pada Ki Swandaru. Yang kami tahu dengan pasti adalah Ki Rangga telah mengambil Sukra sepenuhnya. Baiklah, Ki Swandaru, apakah Jagaprayan telah berubah sebagai tujuan? Marilah, Nyi Pandan Wangi terlalu lama bertarung sendirian,” sahut Sayoga dengan gerakan lengan berulang.
Baca pula : Jejak di Balik Kabut