Dan, tuah Kiai Plered semakin tajam mengiris bagian dalam pertahanan Agung Sedayu. Tubuh senapati Mataram seakan kehilangan daya, sebelah lengannya terkulai tetapi ia berusaha tegar dan bertahan pada kedudukannya.
Laju Ki Sekar Tawang tidak dapat dihentikan! Ia harus dapat mencapai kedudukan Agung Sedayu yang bertumpu pada satu lututnya.
Dalam keadaan genting, Ki Patih Mandaraka tiba-tiba bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Ia menyambut Ki Sekar Tawang dengan tangan terbuka!
Kembali dentuman menggelegar memecahkan udara Sumpring!
Agung Sedayu tiba-tiba berada di tengah jalur Ki Sekar Tawang dengan sikap gagah mendahului Ki Patih Mandaraka. Keduanya terpental. Ki Sekar Tawang yang terlempar surut, jungkir balik lalu menyentuh tanah dengan dua kaki yang terasa lemas. Sejenak ia mengedarkan pandangan lalu melihat kenyataan bahwa keadaan tidak lagi membawa keuntungan baginya. Kiai Plered berada cukup jauh darinya. Mustahil baginya untuk merebut kembali pusaka bertuah itu selagi Agung Sedayu masih berdekatan dengan Ki Patih Mandaraka. Searah dari gerakan Agung Sedayu yang mengejutkan, ia melihat tubuh Ki Tunggul Pitu telah rata dengan tanah dan dalam keadaan telungkup.
“Bodoh! Aku telah katakan padamu agar menghindari benturan langsung dengan Agung Sedayu sebelum mencapai Mataram, tetapi engkau benar-benar keras kepala!” desis Ki Sekar Tawang dengan nada gusar. Ketika ia berpaling pada jurusan lain, Agung Sedayu berusaha bangkit dengan bantuan seorang anak muda. Meski sepasang kaki musuhnya sudah tidak mungkin dapat menahan serangan berikutnya, tetapi keberadaan Ki Patih Mandaraka dengan Kiai Kutharaga adalah pemberat yang harus diperhitungkan. Ditambah kehadiran seorang anak muda yang membantu Agung Sedayu berdiri, itu adalah persoalan tambahan. Sejenak ia membuat pertimbangan-pertimbangan cepat. Katanya dalam hati, “Ini berarti ada kegagalan di Gedangasin.”
“Ki Lurah!” seru anak muda itu sambil membantu Agung Sedayu berdiri tegak.
“Sukra,” lirih Agung Sedayu mengeluarkan suara.
“Kami datang terlambat.”
Agung Sedayu tidak menanggapi dengan kata-kata. Ia menunjuk sebuah arah kemudian berkata dengan bibir bergetar, “Ambillah untuk Ki Patih…” Terputus-putus suara Agung Sedayu sebelum membuat kalimat yang lebih jelas, “Pastikan Ki Patih dapat memasuki Kepatihan tanpa luka-luka. Pergilah!”
“Ki Lurah.” Sukra berkata dengan nada yang mengesankan akan membantah, tetapi Agung Sedayu cepat menatapnya dengan tajam dan penuh arti.
“Pergilah,” Agung Sedayu mengulang perintah.
Sukra bergerak cepat di bawah pengawasan Agung Sedayu yang berusaha menjaga agar tenaga cadangannya tidak berhamburan karena pengaruh Kiai Plered.
Ki Sekar Tawang, dengan perasaan gusar, memandang perpindahan tempat yang dilakukan Sukra. “Aku harus tenang dan mengulur waktu. Setiap perubahan harus memberi keuntungan,” tekad Ki Sekar Tawang.
Dalam waktu itu, Ki Patih Mandaraka mengerutkan kening ketika melihat Ki Plaosan yang merendahkan tubuh, mengawasi gerak gerik Ki Sekar Tawang. “Seharusnya ia telah berada di Mataram,” katanya dalam hati dan ia dapat memaklumi apabila Ki Plaosan tidak menghadapkan wajah padanya.
Seolah ada sentuhan pada pikiran dan perasaannya, Ki Plaosan kemudian berkata, “Seseorang berbalik arah, Ki Patih. Ki Demang Brumbung terluka di Gedangasin. Kami terbantu oleh anak muda itu bersama seorang yang lain.”
“Sukra!” seru Agung Sedayu. Kemudian ia berpaling pada Ki Patih Mandaraka, lalu katanya, “Ki Patih sebaiknya bergegas pergi meninggalkan tempat ini. Biarlah saya dan Ki Plaosan yang menghadang mereka.” Agung Sedayu menangkap angin bahaya sedang menderu deras pada mereka. Bersamaan dengan itu, Sukra telah menyerahkan Kiai Plered pada Ki Patih Mandaraka.
Rahang Agung Sedayu mengeras. Ia menahan kekuatan dashyat yang meraung di dalam aliran darahnya. Sekali waktu ia merasakan dorongan angin panas sedang mencari jalan keluar dari dalam tubuhnya, dan pada saat yang bersamaan, ada udara dingin yang mengiris urat nadinya. Agung Sedayu hanya mampu menggigit bibir dan berusaha tidak menampakkannya di hadapan Ki Patih Mandaraka.
“Marilah, Ngger, kita hadapi bersama-sama,” ucap Ki Patih.
“Ki Patih harus tetap berada di sisi Panembahan Hanykrawati. Saya akan menahan mereka. Ki Patih, percayalah, saya akan selamat,” kata Agung Sedayu dengan suara yang menebarkan semangat, semangat yang ditanamkan berdasarkan pengajaran dan pengalamannya sewaktu menemani Kiai Gringsing dalam pengembangan Alas Mentaok. Suara yang jauh dari sifat jumawa. Agung Sedayu tidak merasa bangga karena berhasil mengalahkan salah seorang dari pengikut Raden Atmandaru. Ia mengerti kebanggaan akan berbalik arah menjadi pengkhianatan ketika dibiarkan tumbuh lalu memandang ringan keadaan. Murid Kiai Gringsing itu telah mengukur keadaan dan menurutnya, tidak ada alasan bagi Ki Patih untuk tetap bertahan di Slumpring. “Ini bukan masalah pengecut atau tidak, ini adalah pertahanan Mataram,” desis Agung Sedayu.
“Sukra!” kembali Agung Sedayu bersuara. Kali ini lebih keras.
Tiga kali namanya disebut oleh Agung Sedayu, Sukra mengerti bahwa suasana sudah tidak memungkinkan baginya untuk membantah. Dan, apakah ia pernah membantah perintah Agung Sedayu? Hanya saja, bagaimana mungkin Sukra menarik lengan Ki Patih Mandaraka lalu membawanya meninggalkan Slumpring? Tidak ada celah kepantasan yang dapat dilihat Sukra sebagai jalan keluar. Bahkan untuk menyebut nama Ki Patih pun, Sukra tak mampu!
“Andaikan Ki Lurah menyuruhku menghancurkan Merapi, aku pasti lakukan. Dan, ini? Menyeret keluar Ki Patih dari gelanggang? Oh, Ki Lurah, apakah tidak ada hal lain?” keluh Sukra tanpa suara bersama perasaan yang kehilangan arah.