Merebut Mataram 24

oleh

Adalah Ki Patih Mandaraka dengan sebangsal pengalaman menghadapi perang tanding berkelahi dengan ketenangan luar biasa.  Sesekali Kiai Kutharaga yang berada di tangannya berayun memutar, menebas silang dan menusuk bagian berbahaya tubuh lawannya. Sering kali Kiai Kutharaga mengeluarkan suara yang memekakkan telinga. Nada tinggi yang keluar darinya menusuk berulang dan menerobos masuk lubang pendengaran Ki Tunggul Pitu. Sementara Ki Tunggul Pitu yang berkelahi dengan tangan kosong pun kerap membuat gerakan-gerakan yang merepotkan sesepuh Mataram itu.

Sepertinya dua orang kepercayaan Raden Atmandaru telah menyiapkan siasat khusus untuk menghadang perjalanan Ki Patih Mandaraka dan membekuk Agung Sedayu. Bibir Ki Tunggul Pitu juga melontarkan kata-kata yang sama tajamnya dengan serangan-serangan darinya. “Jadi, engkau yang bernama Ki Juru Martani benar-benar tidak ingin menyerahkan diri?”

“Apakah engkau belum juga mengerti?” Ki Patih bertanya balik.

“Tidak ada yang tidak aku mengerti, Ki Juru,” sahut Ki Tunggul Pitu, “namun ada satu hal yang ingin aku ajarkan padamu sebagai lelaki tua yang menjadi panutan orang-orang Mataram. Hanya satu kalimat yang perlu kau dengarkan dariku.”

“Ki Sanak, mungkin engkau merasa bangga dengan kekuatanmu karena engkau masmpu menghadapiku dengan tangan kosong. Tidak banyak orang yang dapat berbuat sepertimu. Nasehatku untukmu adalah sebaiknya kau menghitung ulang napasmu. Satu!”

[penci_blockquote style="style-2" align="none" author=""]Namun gerakan Bondan ini seperti sebuah ejekan baginya. Ia kini merasa seolah-olah seorang murid yang baru belajar olah kanuragan.

Langit Hitam Majahapit, Bab 1 - Menuju Kotaraja[/penci_blockquote]

Tiba-tiba Ki Patih Mandaraka menebaskan Kiai Kutharaga sambil memiringkan tubuh. Gerak dasar sepasang kakinya menunjukkan bahwa patih Mataram itu sedang mengerahkan kekuatan cadangan ketika mengawali terjangan. Dalam waktu itu, Ki Patih mengambil langkah berlainan dari sebelumnya. Mula-mula ia lebih banyak mengambil sikap bertahan sambil mengamati serta mengukur kemampuan Ki Tunggul Pitu. Keputusannya berubah ketika ia melihat Agung Sedayu kehilangan pengamatan diri. Oleh karena itu, sejurus kemudian, Ki Patih Mandaraka mulai mengeluarkan seluruh kemampuan agar dapat memegang kendali pertarungan.

Ki Tunggul Pitu melihat perubahan itu, lalu dengan cepat ia menggeser langkah, menghindari serangan kemudian mengembangkan telapak tangan. Serangkum angin meluncur darinya, jalur udara yang dilewati tenaga cadangan Ki Tunggul Pitu tiba-tiba berubah seketika! Walau tidak mengenai rerumputan yang tumbuh, namun tumbuhan itu membeku ketika angin pukulan Ki Tunggul Pitu melintas tipis di atasnya. Segumpal uap putih lurus menghantam Ki Patih Mandaraka yang tengah melayang di atas permukaan tanah.

Ki Patih Mandaraka berada di ujung bahaya. Kiai Kutharaga berkelebat menyilang, memapas serangan maut, dua kekuatan pun bertumbuk dahsyat! Gelegar dentuman memang tidak terdengar cukup keras namun sanggup meremukkan isi dada seseorang. Gelombang tenaga dari benturan itu segera berhamburan. Ranting-ranting pohon yang ada di sekitar mereka pun bergoyang seperti terlanda angin yang cukup kencang.

Lengan Ki Patih bergetar. Bagaimana ia dapat menahan Kiai Kutharaga? Apakah ia mempunyai kekebalan yang sama dengan mendiang Sultan Hadiwijaya? Ki Patih Mandaraka tak dapat berhenti berpikir. Sejenak ia merasa tangannya sulit digerakkan karena udara beku mampu menembus permukaan kulitnya.

“Apakah engkau heran, Ki Juru?” Ki Tunggul Pitu mengucap kata sambil mengembangkan senyum. “Masa jaya untukmu telah berlalu. Seperti tunas yang terus menerus tumbuh menggantikan kayu-kayu yang lapuk, malam ini akan menjadi penentuan bahwa engkau tak lebih dari tulang belulang yang rapuh.” Ki Tunggul Pitu melabrak lawannya sepenuh tenaga. Ia melompat, menerjang dan seolah-olah akan mengurung lawannya  yang lanjut usia.

Ki Patih melenting tinggi sambil menjangkau kepala Ki Tunggul Pitu dengan ujung lancip Kiai Kutharaga. Ki Tunggul Pitu cepat memiringkan kepala sambil memutar tubuh, lalu, dengan cara luar biasa, tiba-tiba tumit kakinya telah terjulur menghantam pangkal paha Ki Patih Mandaraka. Patih Mataram ini menutup celah dengan menempatkan ujung keris agar dapat menyongsong tepat pada bagian betis lawannya.

“Setan!” Ki Tunggul Pitu menarik serangan agar kakinya tidak tersayat Kiai Kutharaga yang menjemputnya di tengah perjalanan.

“Ki Sanak,” kata lantang Ki Patih Mandaraka. “Engkau telah melakukan tugasmu sangat baik pada malam ini. Berpikirlah ulang agar tidak ada penyesalan. Aku sudah merasakan bahwa saat-saat itu begitu dekat denganmu.”

“Engkau begitu cerdas menghibur diri, Ki Juru. Sangat cerdas, tetapi aku tidak mempunyai hak untuk menghentikan perkelahian ini atau meninggalkanmu hidup-hidup. Semestinya engkau paham bawah keris pusaka yang berada di tanganmu tidak mampu membuat perbedaan.” Suara Ki Tunggul Pitu tiba-tiba menghilang ketika tubuhnya berkelebat lebih cepat dan seolah menghilang dari pandangan.

“Aku di sini!” Ki Tunggul Pitu tiba-tiba berada di belakang Ki Patih Mandaraka.

“Apakah ini permainan?” sahut Ki Patih tanpa melihat pada asal suara. Lantas secara mendadak, ia menebaskan senjata ke samping kanan. Namun itu dibalas oleh serangkum angin yang menyambar bagian lambung dari arah depan.

Terdengar Ki Tunggul Pitu berkata, “Marilah, Ki Juru. Kita bermain-main sejenak. Aku ikuti caramu, kali ini hitungan napasmu adalah yang kedua!” Berikutnya, serangan demi serangan yang dilepaskannya benar-benar mengancam keselamatan Ki Patih Mandaraka!

No More Posts Available.

No more pages to load.