Selanjutnya Ki Demang banyak bercerita tentang peristiwa yang membahagiakan hatinya dan istrinya. Wajah sepasang insan yang menapak senja singkat itu terlihat berbinar cerah ketika mengungkap kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Sangkal Putung. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran tangan Swandaru berada di balik segala perkembangan kademangan yang subur itu. Perbincangan mereka sejenak mengambil jeda saat bintang mulai menampakkan diri di permukaan langit.
“Siapakan mereka yang datang ke rumah ini?” tanya Ki Demang usai mereka sekeluarga menyelesaikan makan malam.
Agung Sedayu belum menjawab. Pikirnya, mungkin pertanyaan itu dapat ditanggapi oleh Pandan Wangi. “Aku bukan pengecut tetapi aku sedang menunggu perkembangan berikutnya,” bela Agung Sedayu dalam hatinya ketika sisi lain dirinya mengusik agar segera menjawab pertanyaan Ki Demang.
“Kakang,” suara Pandan Wangi menggetar kalbu Agung Sedayu, “mungkin Kakang mengetahui mereka.”
Sinar mata penuh harap Sekar Mirah mengiringi ucapan Pandan Wangi yang ditujukan pada Agung Sedayu. Dalam waktu itu, kegagahan senapati pasukan khusus seolah lenyap tanpa bekas. Keanggunan yang biasa ditunjukkannya saat memimpin pasukan berkuda pun sirna. Perpaduan tatap mata dan getar suara penuh harap dari dua perempuan yang berada di dekatnya, membuat Agung Sedayu tanpa daya. Nyaris saja ia berteriak menyerah di dalam hatinya.
Namun kesadaran dan kebijaksanaan yang masih mengendap dalam dirinya segera terbangun. Meski membutuhkan waktu, tetapi lelaki yang menjadi tumpuan Mataram itu perlahan bangkit. Ia harus dapat menguasai keadaan di dalam rumah dan Sangkal Putung!
Sekilas Agung Sedayu menatap wajah Sekar Mirah. Ia terkejut ketika beradu pandang dengan istrinya.
“Oh, maaf. Maaf, aku tidak sekali-kali bermaksud mengalihkan perhatian atau tidak mempunyai jawaban,” kata Agung Sedayu. “Ayah, Ibu. Maafkan saya yang gagal menjaga keadaan Swandaru.” Dengan wajah menyesal, Agung Sedayu bangkit lalu meraih kedua tangan orang tua Sekar Mirah. Ia bersimpuh, lalu berkata, “Kami berdua mendapatkan halangan saat menuju Sangkal Putung.” Kemudian Agung Sedayu mengisahkan peristiwa yang terjadi di tepi kali Progo.
“Ah,” seru Ki Demang setelah Agung Sedayu menutup kabar dengan wajah sedih. Sementara Nyi Demang, dengan tangan gemetar, meraba-raba permukaan meja. Ia kehilangan keseimbangan hingga Sekar Mirah menggenggam telapak tangannya.
“Swandaru, Swandaru, ah,” bibir Nyi Demang bergetar hebat. Tubuhnya yang mulai rapuh pun terguncang oleh tangis yang tertahan. “Lalu? Lalu bagaimana anakku itu?” tanyanya.
Pepat dada Agung Sedayu ketika pandang mata Nyi Demang menghunjam jantungnya. “Ibu, bukan sya ingin berkata bahwa adi Swandaru sedang baik-baik saja. Tidak, tidak seperti itu. Ibu juga tahu bahwa saya tidak akan menjawab seperti itu.”
“Sedayu, Agung Sedayu,” pelan berkata Ki Demang pada menantunya, “Aku tidak meragukan perkelahian itu dan keadaan Swandaru yang masih gelap gulita. Tetapi aku merasakan ada sesuatu yang janggal dan sangat besar, entahlah, aku hanya mengira semacam itu. Sesuatu yang sangat besar sedang mengancam keberadaan kalian berdua. Bukan hanya kalian, tetapi kita semua.”
“Ki Demang,” ucap Nyi Demang.
Ki Demang mengangkat tangannya di depan dada lalu katanya, “Kita telah melewati segala macam peristiwa. Suka maupun duka. Sedih atau bahagia. Lalu, lalu semua pengalaman yang kita miliki ketika menjalani kenyataan, mungkin sedang menyatakan sesuatu yang tidak kita mengerti.”
“Ki Demang,” kembali Nyi Demang berucap, ”saya sulit menghindar dari dugaan buruk tentang nasib anak kita, Swandaru. Walaupun orang dapat berkata bahwa ia telah dewasa dan dapat menjaga diri tetapi kita tahu…kita tahu tidak ada ketentraman di hati orang tua manakala anaknya berada dalam bahaya. Sedangkan Swandaru, apakah sekarang ia berhati tenang? Tidak mungkin, bukan? Ki Demang, saya mohon sebuah jawaban yang dapat menenangkan hati yang gelisah ini.”
Ki Demang mengalihkan pandang pada Agung Sedayu. Ia mengerti hanya Agung Sedayu yang dapat membuat pencerahan bagi mereka. Sikap penuh harap pun tampak darinya kemudian kata Ki Demang, “Angger Agung Sedayu. Tidak ada jalan atau pilihan yang terlihat oleh kita semua, untuk saat ini. Katakan pada kami, tolong beri ayah dan ibumu sebuah janji atau ucapan yang melegakan.”