Pandan Wangi yang duduk di sisi kanan Sekar Mirah berkata, “Tentu ia akan berpikir keras untuk mencerna penjelasan ayahnya.”
Dengan senyum mengembang, Sekar Mirah menyahut, “Bahkan mungkin ia akan terlelap ketika mendengar suara ayahnya.”
“Kita sedang menunggu orang yang dicintainya mengungkap dugaan.” Pandan Wangi menatap Agung Sedayu dengan pandang mata yang cukup berarti.
“Ternyata aku sedang ditunggu lebih dari dua orang,” kata Agung Sedayu. Ia masih belum menemukan cara untuk menjawab raut wajah penuh tanya dari Sekar Mirah. Walau sebenarnya ia dalam keadaan bimbang namun Agung Sedayu, terpaksa atau sukarela, harus menjelaskan semuanya pada mereka.
“Ya, ketika kami telah berada di atas rakit, seseorang yang mengaku bernama Ki Prayoga mendekati kami. Tidak ada perkara penting yang ia utarakan selain perkara ringan. Tetapi, sesuatu terjadi di luar dugaan. “ Agung Sedayu berhenti berkata. Ia melihat lekat wajah Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Mendadak Ki Prayoga menyerang kami berdua. Namun rakit dapat tiba di bagian wilayah menuju Sangkal Putung. Sekalipun begitu, perkelahian tidak segera berhenti.”
“Kakang Swandaru?” Pandan Wangi tidak meneruskan pertanyaan. Demikian pula Sekar Mirah yang lebih banyak bicara melalui pandangan mata.
“Mirah. Wangi,” kata Agung Sedayu sambil bergantian menatap wajah-wajah yang sedikit meredup di hadapannya, “aku hampir mencapai batas akhir ketika Swandaru tergeletak.”
Kecantikan Pandan Wangi seketika memudar. Seolah tidak ada darah yang mengalir di bagian wajahnya. Ia berusaha tegar walau dadanya menerima hantaman keras. Mendengar ucapan Agung Sedayu bahwa suaminya tergeletak, maka yang terbayang di benaknya adalah perpisahan abadi. Bibirnya bergetar namun tidak ada kata-kata yang sanggup ia lontarkan. Baginya, bilik Sekar Mirah tiba-tiba menjadi sangat sempit hingga dada pun nyaris meledak!
“Kakang,” desis Sekar Mirah. Goncangan keras terjadi ketika dinding terhantam gelombang kuat yang berasal dari Agung Sedayu. “Apakah kakang Swandaru masih hidup? Di mana beliau sekarang, Kakang? Katakan bahwa Anda mengetahui tanah tempatnya kembali. Kakang… Kakang Agung Sedayu, bisakah Anda tunjukkan pada kami di mana letaknya? Katakan, Kakang. Katakan!”
“Benar-benar pemberani!” hati Pandan Wangi berkata. Menurutnya, membunuh Swandaru di depan Agung Sedayu adalah perbuatan yang telah dirancang sebelumnya. Pandan Wangi mengetahui kemampuan Agung Sedayu lebih baik dari Sekar Mirah. Jalan pikiran putri Ki Gede Menoreh begitu cepat menyusun perkiraan, bahwa penyerangan itu tidak mungkin dilakukan oleh dua atau tiga orang saja. Tidak pula dilakukan tanpa perencanaan yang benar-benar masak. “Mereka mengincar sesuatu yang lebih besar dari sekedar kematian kakang Swandaru.” Demikian dugaan Pandan Wangi yang tidak diungkapkannya di depan senapati pasukan khusus Mataram itu. Meski ia mempunyai kemampuan berpikir yang tajam tetapi keadaan Swandaru tergeletak di atas tanah telah membubarkan semua perkiraannya. Kini, ia menundukkan wajah dengan urai air mata yang menuruni garis-garis wajahnya.
“Apakah Anda pingsan ataukah…?” Pandan Wangi tidak dapat melanjutkan pertanyaannya sendiri. Berita buruk itu benar-benar membuatnya tenggelam dalam angan yang tidak mempunyai kejelasan. Beragam kemungkinan muncul di setiap ruas jalan pikirannya dan itu, sungguh, menjadikannya sulit melihat keadaan.
“Sudah?” Tiba-tiba Sekar Mirah bertanya pada suaminya. Nada suaranya menunjukkan ketidakpuasan. Bahkan ia menilai bahwa suaminya tidak bersungguh-sungguh melindungi Swandaru dalam pertarungan saat senja di tepi kali Progo. “Kakang, Anda tahu bahwa saya telah menerima kenyataan yang tidak semua perempuan mau menjalaninya. Anda juga merasa bahwa sedikit peluang untuk pulang ketika Anda pergi medan perang atau perang tanding. Anda ingat tentang tiga bajak laut murid Ki Jagaraga? Tentang Ki Tumenggung Prabandaru? Bahkan, lebih jauh lagi, saya sebut nama Ki Ajar Gurawa dan selama itu apakah Anda pernah mendengar saya bertanya pada seseorang tentang keselamatan Anda? Jawab, Kakang!”
Sejenak Agung Sedayu memandang penuh wajah istrinya tetapi ia mengatup bibirnya sangat rapat.
“Kenapa diam, Kakang?”
“Sudahlah, Mirah.” Pandan Wangi menyentuh bahu adik Swandaru.
“Tidak, Mbokayu,” tukas Sekar Mirah, “aku benci orang dengan orang yang berucap kata tanpa perasaan. Anda lihat itu, Mbokayu. Anda dapat melihat kakang Agung Sedayu seperti orang yang telah beku perasaannya ketika mengatakan adik seperguruannya tergeletak. Seolah ia lebih peduli pada olah kemampuannya dibandingkan dengan nasib kakang Swandaru. Apakah benar Agung Sedayu seperti itu? Tanpa perasaan?”