SuaraKawan.com
Surabaya

Mari Belajar Menghargai Waktu; Sebuah Catatan Akhir Tahun 2023

Dr Mia Amiati, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur

Oleh : Dr Mia Amiati, SH, MH Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur

Beberapa saat lagi, dalam hitungan hari, 365 hari akan kita lalui di tahun 2023, dimana sepanjang perjalanan setahun, banyak hal dan peristiwa yang kita lalui. Semuanya akan terukir indah menjadi suatu kenangan, baik peristiwa yang membahagiakan maupun tentang suatu kesedihan.

Waktu merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia. Saking pentingnya, sebagian orang menganalogikan waktu tersebut sebagai uang. Setiap detik sangatlah berharga.

Selain itu, ada juga yang mengumpamakan waktu itu ibarat pedang, dalam pengertian jika kita dapat memanfaatkan waktu sebaik mungkin, tentu akan berbuah keberhasilan, tetapi jika kita gagal untuk mengoptimalkan waktu, maka kita akan terluka olehnya.

Kita, seringkali lalai dalam memanfaatkan waktu, malah sering terucap “masih ada hari esok”, yang identik dengan semboyan orang-orang malas.

Waktu adalah hal yang sangat berharga. Nikmat dan karunia Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia ada di setiap waktu, ketika kita bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin.

Sebagian orang berpendapat bahwa waktu adalah sebuah misteri kehidupan, yang mana apabila sudah terjadi tidak akan dapat dikembalikan lagi, karena waktu tak kan pernah kembali. Karena itu, hargailah waktu yang sangat singkat ini, sebelum kita menyesal melewatinya dengan tidak memanfaatkan. Pada akhirnya, kita mengatakan mengapa dulu tidak seperti ini, mengapa tidak seperti itu? Andai saja dulu begini, sayangnya semua itu sudah berlalu, kita tidak dapat membalikkan semuanya dan hanya dapat berandai-andai akan terulangnya waktu yang tersia-siakan.

Setiap manusia mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing dan setiap aktivitas yang dilakukan manusia, termasuk dalam hak dan kewajiban, yang mana semua itu diatur dalam suatu waktu.

Menghargai waktu sebagai realisasi disiplin adalah salah satu sikap individu yang menunjukkan dirinya dapat mengatur waktu dengan baik. Kita semua pasti tahu bahwa manusia mempunyai waktu yang sangat singkat di dunia ini. Dengan diberikannya waktu yang begitu singkat, sudah sepantasnya kita mempergunakan waktu semaksimal dan sebaik mungkin, bukan malah membuang-buang waktu.

Orang Amerika mengatakan bahwa “waktu itu adalah uang”, yang mana sangat penting dan bernilai mahal dalam kehidupan walau itu, meskipun hanya satu detik. Karena, bagi mereka membuang-buang waktu, sama halnya dengan membuang-buang uang. Lalu, siapa yang rela membuang-buang uang yang sangat susah diperoleh ? tentunya tidak ada orang yang mau membuang-buang uang?

Jika semua orang berpikir seperti itu, maka dipastiksan akan baik dan berjalan lancar semua aktivitas kehidupan mausia.

Pada hakikatnya, semua manusia mempunyai waktu yang sama dalam setiap harinya, yaitu selama 24 jam, akan tetapi cara memanfaatkannya yang berbeda-beda, ada yang mengatakan dia tidak punya waktu atau kurang waktu. Dengan demikian, kita semua jangan terbawa arus kebiasaan orang-orang yang malas yang selalu mengatakan tidak ada waktu.

Seharusnya kita berprinsip, orang lain bisa memanfaatkan waktunya dengan baik. Kenapa kita tidak bisa, padahal kita sama-sama mempunyai waktu 24 jam setiap seharinya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan dari kita tidak sadar bahwa kita telah banyak membuang-buang waktu dan kita menganggap semua itu adalah hal yang biasa, padahal sebenarnya kita telah menjadi orang-orang yang rugi yang telah melewatkan waktu sedetik, semenit, bahkan berjam-berjam.

Dalam ajaran Islam yang tertuang di dalam Al-qur’an Surat Al-‘Asr disebutkan, “Demi masa. Sesungguhnya, manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”.

Bahkan, di dalam Alkitab pun dikatakan bahwa penggunaan waktu penting karena keterbatasan waktu hidup kita. Perjalanan kita di dunia ini jauh lebih pendek dari bayangan kita.

Sebagaimana diungkapkan oleh Daud, “Tuhan, beritahukanlah kapan ajalku, supaya aku tahu betapa pendek hidupku. Betapa singkat Kautentukan umurku. Bagi-Mu jangka hidupku tidak berarti. Sungguh, manusia seperti embusan napas saja” (Mazmur 39:4-5 – Alkitab Kabar Baik /BIS).

Memaknai apa yang tercantum di dalam Alquran maupun Alkitab, pada hakikatnya kita semua harus dapat mendapatkan hikmat dengan waktu yang kita miliki, yaitu belajar menghidupi setiap hari dengan perspektif yang positif.

Di dalam dunia kehidupan, kurangnya menghargai waktu masih sangat terlihat, contohnya saja jam karet atau menunda-nunda suatu aktivitas. Misalnya ketika suatu acara sudah terjadwal dengan mengundang banyak orang dari lintas instasi, tetapi masih sangat sering acara yang sudah terjadwal tidak dapat dilaksanakan dengan tepat waktu, bahkan “ngaret” berjam-jam.

Hal ini terjadi akibat tidak adanya rasa menghargai waktu dalam diri individu tersebut atau sejak dini tidak diajari betapa pentingnya disiplin dan menghargai waktu. Akibat dari tidak menghargai waktu tadi, semua tidak berjalan lancar.

Dengan belajar menghargai waktu, maka akan terciptalah suatu kedisiplinan dalam kehidupan kita. Disiplin itu sendiri adalah suatu keadaan dimana kita taat dan patuh terhadap suatu norma atau nilai-nilai yang terdapat dalam suatu dimensi waktu.

Disiplin dalam menggunakan waktu, maksudnya kita dapat menggunakan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat, membagi waktu dengan baik, mana yang harus diutamakan dan mana yang harus ditinggalkan.

Dengan adanya keterbatasan waktu yang kita miliki, sudah selayaknya kita dapat mengisi waktu yang kita miliki dengan berbagai kebaikan. Lakukanlah kebaikan sekecil apapun karena kita tidak akan pernah tahu kebaikan apa yang akan membawa kita ke surga (Imam Hasan Al-Bashri).

Perbuatan baik yang kecil sering kita anggap tidak bernilai. Membuang kulit pisang dari tengah jalan menjadi tampak sepele, tapi jika tidak disingkirkan, akan ada orang yang terpeleset dan bahkan mungkin terluka.

Jika perbuatan baik yang tampak sepele sering dilakukan, ia akan menjadi tumpukan kebaikan yang besar. Sebaliknya, misalnya, menggunjing orang, mungkin bagi kebanyakan orang dianggap sepele, tapi perbuatan kecil itu akan berdampak negatif secara luas.

Bayangkan saja, betapa banyak kepanikan sosial, isu-isu, desas-desus, stigma, pembentukan opini, bahkan dapat menimbulkan kegaduhan yang berkepanjangan akan berdampak besar dan sistemik di masyarakat.

Tak hanya perbuatan baik yang kecil, melainkan perbuatan jahat yang juga jika rutin dilakukan akan berdampak besar. Tidak ada dosa besar, melainkan dosa-dosa kecil yang selalu dilakukan, demikian dikatakan dalam ajaran Islam.

Kita sering mendengar ungkapan “sedikit-sedikit, nanti jadi bukit”. Hal-hal besar tidak selalu lahir dari pekerjaan besar. Hal besar juga bisa lahir dari hal-hal kecil atau terlihat sepele, tapi lambat-laun menjadi besar.

Yah begitu lah, memang, kita sering hanya melihat segala sesuatu dari “hasil”, tapi kita melupakan bahwa yang besar bisa saja lahir dari “proses” penumpukan yang kecil-kecil atau dianggap sepele atau dianggap tetek bengek.

Tumpukan pasir yang dulunya hanya butir-butir kecil bisa menjadi gunung pasir, atau bahkan padang pasir luas.

Hal itu juga berlaku dalam kehidupan kita. Kita sering menyepelekan hal-hal kecil, padahal yang kecil itu bernilai. Jika berakumulasi, hal-hal itu menjadi besar.
Sadarkah kita bahwa segelas air putih akan tampak tidak berarti jika disandingkan dengan minuman mewah lain, tapi air putih bisa jadi sangat berarti bagi seseorang yang sangat kehausan di tengah terik matahari.

Jika suatu perbuatan baik tampak dari kuantitas tidak banyak, namun sudah dilakukan semaksimal kemampuan dan dengan totalitas ketaatan kepada perintahnya, maka perbuatan sekecil itu pun tetap bermakna.

Seorang yang miskin mungkin harus merogoh saku lebih dalam jika ia bersedekah dengan Rp100 ribu, karena pendapatannya tidak banyak. Jika ia bersedekah dengan lima puluh ribu, jumlah itu barangkali masih dianggapnya besar, dan sudah berlaku adil antara hak sosial dan hak pribadinya (kepentingan diri sedniri, anak, dan istrinya).

Berbeda dengan hal itu, seorang miliarder mungkin tidak akan susah jika ia bersedekah dengan Rp100 ribu, karena hartanya melimpah dan pendapatannya banyak.

Oleh karena itu, kebernilaian suatu perbuatan baik tidak bisa semata hanya dilihat dari kuantitas, melainkan dari kualitas berupa totalitas pengorbanan yang dilakukan.
Begitu juga, berbuat baik kepada orang atau makhluk lain yang memerlukan akan lebih bernilai daripada kepada orang yang kurang atau sama sekali tidak memerlukan bantuan.

Harus kita pahami bahwa perbuatan baik yang dalam pandangan kita tampak sepele akan menjadi baik. Pertama, atas dasar perbuatan baik tersebut sebagai cerminan dari keluhuran budi orang yang melakukannya.

Kedua, perbuatan baik tersebut dilakukan karena adanya keibaan dengan menempatkan dirinya sendiri yang mengalami kesusahan. Ketiga, kita sebaiknya jangan membayangkan bahwa perbuatan baik sekecil apa pun tidak akan memiliki nilai.

Bukankah kebernilaian sesuatu sesungguhnya tidak selalu pada ukuran kuantitas?
Kebaikan adalah perilaku yang membawa dampak positif bagi orang lain, entah mereka yang ada di sekeliling kita atau masyarakat luas.

Berbuat baik pada diri sendiri juga merupakan kewajiban kita sebagai umat manusia. Kita perlu menjaga diri sendiri dari bahaya dan hal-hal yang menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan kita. Contohnya mengonsumsi nutrisi yang menyehatkan tubuh, tidur dan istirahat cukup, belajar hal-hal positif, serta berinteraksi dengan cara yang baik dengan sesama, lingkungan dan semesta.

Ini adalah tugas kita sebagai manusia, apalagi sebagai umat beragama atau makhluk yang punya sistem kepercayaan untuk mengamalkan atau mengimplementasikan sifat-sifat ketuhanan.

Sifat-sifat ketuhanan adalah memelihara apa yang ada di diri, sekitar, dan semesta, dengan cara berperilaku baik. Artinya kita bisa berguna bagi orang lain dan tidak membawa dampak negatif bagi orang lain.

Kita tidak menggunakan indera untuk menyakiti orang lain, alam, dan makhluk hidup lainnya. Soal tujuannya mulia atau hanya sekadar pamer, yang penting berbuat baik dulu.

Bahkan, dalam ajaran Islam, ditekankan bahwa orang yang baik adalah orang yang bisa membuat orang lain selamat dari lisan dan tangannya.

Tentu akan lebih ideal jika seseorang melakukan kebaikan dengan niat yang tulus, ingin membuat perubahan yang baik bagi orang lain, lingkungan sekitar, bahkan dirinya sendiri.

Semua kebaikan yang kita lakukan adalah investasi hidup. Kalau niatnya tulus, ada tambahan pahala, dicatat oleh malaikat, sedangkan yang niatnya hanya karena ingin mendapat pujian sosial atau agar tidak dihukum, insentif untuk dirinya tentu akan berbeda.

Ketika tulus melakukan kebaikan, kita bisa mengalami kepuasan batin dan merasakan kebahagiaan. Perasaan bahagia ini nantinya mengalirkan hormon serotonin dan dopamin dalam diri kita.

Pada akhirnya ada penghargaan diri dan motivasi yang terus tumbuh. Maka, kebaikan yang tulus bisa membuat kita terhindar dari pikiran negatif yang bisa berdampak membahayakan diri karena bisa membuat kita terjebak dalam pikiran dan perilaku negatif.

Ketika tulus melakukan kebaikan, kita bisa mengalami kepuasan batin dan merasakan kebahagiaan.

Bentuk kebaikan pun bermacam-macam. Seringnya kebaikan erat dikaitkan dengan perilaku memberi. Saya setuju kalau ada yang mengatakan, “Orang baik adalah orang yang suka memberi”. Akan tetapi memberi tidak memiliki batas yang sempit. Memberi tidak hanya sekadar soal materi.

Terkadang, memberi perhatian jauh lebih sulit daripada memberi materi. Begitu pula dengan memberi waktu. Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli. Kalau sudah hilang, ia tidak bisa kembali, sehingga waktu, nilainya, amat berharga untuk diberikan pada orang lain. Memberi senyum juga bernilai tinggi. Senyum sama seperti kita bersedekah. Kita membagikan kebahagiaan pada orang lain, memancarkan energi positif dan kehangatan kepada orang lain. Terlebih lagi tenaga. Nilainya sangat berharga.

Jangan menyerah pada apapun yang terjadi. Kerikil-kerikil kecil yang menghadang, lambat laun akan menjadi sebuah badai yang siap menerjang jika kita tidak punya cara untuk menaklukkannya.

Ingatlah, badai akan selalu ada, namun setiap badai pasti akan berlalu jika kita memiliki hati yang bersih, tetap jujur dan bertanggung jawab.

“Karena waktu tak pernah kembali, jangan memilih kepada siapa kita berbuat baik, karena kebaikan tak butuh dokumentasi. Ia hanya butuh ketulusan dan keikhlasan”.

Related posts

Kejati Jatim Mengikuti Launching Blue Print Transformasi Penuntutan Menuju Indonesia Emas 2045 dan FGD yang digelar oleh Jampidum

Redaksi Surabaya

Rapat Koordinasi Pengamanan Pembangunan Strategis dan Pendampingan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur

Redaksi Surabaya

Kejati Jatim Melaksanakan Upacara Hari Kebangkitan Nasional Ke-116

Redaksi Surabaya