“Keadaan terus-menerus berkembang dengan cepat, tetapi kita selalu tertinggal,” keluh Marmaya.
“Kakang,” Sayoga berkata, “kita telah berada pada titik ini, pada keadaan yang sama-sama tidak mungkin dapat kita tinggalkan. Menyerah pun bukan cara yang baik untuk menang. Yang terpenting bagi kita untuk saat ini adalah menjaga sisa wilayah Gondang Wates dan memutuskan hubungan antar mereka.”
“Mengapa harus begitu?“ bertanya seorang pengawal dengan polos.
“Bila mereka tidak mengetahui keadaan di tempat lain, itu lebih mudah bagi kita untuk menekuk lawan,” jawab Sayoga.
“Yang tidak dapat kita abaikan adalah kehadiran orang-orang berilmu tinggi di pihak musuh,” KI Panuju mengingatkan, “kita telah bertemu seorang dari mereka dan cukup menyulitkan. Biarpun sebenarnya aku ingin menghibur diri dengan harapan, bahwa mereka sekadar bermain-main di kademangan ini tetapi adanya jawara yang mumpuni telah menjadi kenyataan. Sungguh, sebaiknya kita bersiap sekarang.”
Sesaat mereka saling berdiam diri. Dharmana memandang benar pada alasan Ki Panuju. Begitu pun Sayoga, dan Marmaya juga setuju meski ia sedikit bersusah payah mengukur kekuatan Sangkal Putung sendiri. Perbedaan wewenang menjadi sebab utama ketika jalan pikiran pengawal pedukuhan tiba-tiba lengang. Mereka bukan tidak mengerti tentang yang harus dilakukan, tetapi mereka tengah menunggu sebuah awalan.
Permasalahan pengawal Gondang Wates bukan pada kemampuan pribadi dalam bertempur. Mereka juga tidak menilai jumlah pasukan sebagai alasan kuat kemenangan prajurit Raden Atmandaru di Janti. Walau sedikit yang mereka ketahui, tetapi Ki Panuju dapat memberi gambaran-gambaran yang mendekati kenyataan dan dapat diterima nalar sehat.
Bahkan, dalam pandangan Ki Panuju yang dikatakannya terus terang di depan pengawal Gondang Wates, “Kekuatan Gondang Wates telah memadai untuk sebuah perlawanan keras. Bukan tidak mungkin kalian dapat mengambil kembali wilayah perbatasan.”
Dharmana tiba-tiba mengangguk setelah jeda cukup lama sejak ucapan Ki Panuju. Katanya, “Kita berkumpul di sini, sementara penjaga yang mengelilingi tempat ini belum memberi tanda. Aku mengkhawatirkan keadaan mereka.”
“Itu juga yang menjadi pertanyaan saya sejak kita tiba di Watu Sumping,” sahut Marmaya. “Meski kita tidak dapat bersikap lengah, tetapi mereka selalu mempunyai cara untuk menusuk jantung dengan rasa waswas.”
Ki Panuju mengawasi keadaan sekitar mereka dengan pandangan tajam. Ia berdesis kemudian, “Mereka dapat menyergap kita setap saat dari setiap jurusan yang memungkinkan. Marmaya, dari arah manakah mereka dapat mendatangi kita tanpa suara?”
Marmaya menunjuk satu arah. Selatan.
Sejenak Ki Panuju berpikir keras. Lalu ia bertanya, “Selatan? Bukankah itu adalah jalanan yang mudah diawasi? Bahkan begitu terang dilihat dari sini!”
“Selatan adalah tempat masuk yang bersih dari daun-daun kering dan ranting-ranting. Apalagi, Ki Lurah, prajurit terlatih dapat merayap secepat ular bila melewati jurusan itu.”
“Ah, begitukah?” Ki Panuju menerima alasan dengan anggukan kepala. “Baiklah, Marmaya. Dapatkah engkau kirim seseorang untuk menyisir jurusan itu? Mungkin kita bernasib baik bila dapat melihat bayangan mereka.”
“Segera, Kiai,” tegas Marmaya. Ia menunjuk seorang pengawal lalu memberi pesan sesuai permintaan Ki Panuju.
Ketika anak muda menjauh dari Watu Sumping, Ki Panuju mengingatkan para pemimpin kelompok tentang betapa penting mereka kembali mengingat setiap latihan. Tentang gelar dan aba-aba yang hanya dimengerti oleh mereka sendiri. Bersamaan dengan itu, mereka memperhatikan kembali anak panah dan senjata pelontar bilamana diperlukan untuk mengulur waktu saat pertahanan telah diterobos.
Sejenak kemudian suara-suara berbisik memenuhi lingkaran sempit yang dipenuhi oleh para pemimpin pengawal. Sedikit waktu yang mereka butuhkan untuk kembali menyebar agar pesan dapat disampaikan pada pengawal yang lain.
Suasana begitu gelap dan pekat.. Watu Sumping sama sekali tidak berhias pelita. Api unggun seolah tahu diri lalu menjauh dari perasaan anak-anak muda Gondang Wates. Yang ada hanyalah percik cahaya yang menempel pada angkasa pedukuhan. Lentera-lentera langit yang bersinar malu-malu pun begitu jauh terlihat. Mungkin ia berada di sisi luar gugus bintang, yang pasti adalah keadaan menuju beku di tempat itu.
Setiap suara yang terdengar terasa begitu istimewa di Watu Sumping. Suara bekung katak pun tiba-tiba menjadi sesuatu yang sangat berharga. Getar sayap jangkrik mendadak menjadi pertanda bagi sebagian pengawal. Bila kerikan terputus, telinga mereka segera tegak. Menunggu kaki-kaki pasukan lawan beradu gesek dengan dedaunan kering atau menginjak ranting. Namun sejauh tangkap pendengaran, segalanya seolah masih jauh dari terkam pasukan lawan.
Kerumunan pengawal di Watu Sumping dapat dilihat dari sisi utara, dari tempat Sukra dan Bunija memasuki daerah banjar dengan berjalan kaki. Sementara itu, dua ekor kuda telah ditambatkan menjelang tapal batas Gondang Wates.
“Dua tempat sama-sama telah membeku. Meski begitu, seharusnya kedatangan kita dapat dilihat oleh penjaga wilayah. Bukankah kita dapat melihat mereka?
Jawaban Bunija adalah kepala yang mengangguk. Sebetulnya ia ingin menjelaskan bahwa mereka menempuh jalur yang tidak mungkin diketahui oleh lawan. Jalur yang benar-benar khusus karena hanya berupa jalan setapak yang berada di sela-sela batas pekarangan penduduk. Sesekali mereka melintas beranda belakang rumah seseorang. Kadang-kadang mereka merayap di balik pembatas pategalan. Maka sangat sulit bila sekerumunan pasukan harus menempuh jalur mereka berdua tanpa diketahui penjaga, tetapi Sukra kurang menaruh perhatian pada keadaan sekitar. Sesuatu yang terus bergerak sepertinya membayangi ruas pikirannya.