“Kalau engkau membunuh diri dengan cara seperti itu, lalu apa yang aku katakan di depan Panembahan?” lelaki itu menggerutu.
Panengah bangkit berdiri dengan kaki gemetar. Di pemukiman pengikut Raden Atmandaru, Panengah termasuk anak mud ayang diandalkan oleh kelompoknya. Meski ia tidak berlatar belakang dari paepokan, tetapi ketahanan dan kekuatan tubuhnya benar-benar mengagumkan. Pengajaran olah kanuragan yang diajarkan oleh orang-orang yang ditunjuk oleh Raden Atmandaru begitu mudah dicerna olehnya, maka dari itu, ia terpilih sebagai penyusup dengan kemampuan gedor yang mumpuni. Tetapi pada malam itu, Sayoga adalah pembawa sial baginya.
“Kiai,” kata Panengah, “Panembahan hanya menghargai sebuahj kerja keras dan hasil terbaik. Dan menurutku, gerakanku tadi akan mempercepat kemenangan kita di pedukuhan ini.”
“Bodoh!” kembali orang yang dipanggil Kiai itu mengumpati Panengah. “Panengah, Raden Atmandaru tidak menghendaki kita bekerja seperti kebanyakan pemalas. Beliau selalu mengulang pesan, bahwa tujuan tertinggi adalah mencapai kotaraja dengan hasil gemilang. Dan itu akan kita tempuh dengan cara yang sepadan dengan hasilnya. Bukan jalan konyol semacam itu! Menyingkirlah. Bantu teman-temanmu!”
Panengah menghamburkan diri ke lingkaran perkelahian yang begitu sengit. Para pengawal pedukuhan semakin terdesak dengan tandang Panengah yang berloncatan menyambar lawan-lawannya.
Satu orang dianggapnya telah lumpuh meskipun Panengah menjadi gada penghancur bagi pengawal pedukuhan. Namun Sayoga berpikir lain, lebih baik menyelesaikan dua orang berkemampuan lebih kemudian membantu pengawal pedukuhan. Walau pun ia belum dapat mengukur ketinggian ilmu Ki Tarkib dan lelaki setengah baya itu, tetapi dengan berkurangnya satu orang maka Sayoga berpeluang untuk menyeimbangkan keadaan, atau setidaknya dapat menahan mereka lebih lama.
Untuk sementara tidak terjadi sesuatu.
Sayoga tidak ingin terlena dengan keadaan yang mendadak berubah. Pikirnya, ia harus dapat menggunakan kesempatan yang ada, dan kesempatan terbaik itu telah tiba. Tentu ketahanan anak muda itu sedikit terguncang.
Sayoga mempersiapkan serangan. Tapak kakinya bergeser perlahan. Walau tubuhnya masih bertegak punggung, pedang Sayoga tengah memilih lawan.
Tiba-tiba Sayoga menerjang tanpa bentakan atau peringatan pada Ki Tarkib. Sayoga dapat menduga bahwa Ki Tarkib berada di bawah kemampuan orang yang memaki Panengah. Menimbang kecepatan gerak Ki Tarkib yang tidak membuat pandangan matanya kabur, Sayoga memutar pedangnya dengan cara luar biasa. Serangannya bergulung-gulung datang, mencecar Ki Tarkib yang melompat surut.
Sayoga memburunya dengan sambaran pedang yang menggaung hebat.
“Kiai, kita percepat permainan ini!” seru Ki Tarkib pada lelaki tua itu.
Ia mengangguk lalu melejit setinggi dada sambil memutar rantainya. Sayoga terpaksa surut lalu menjauh. Namun dua lawannya tidak memberinya kesempatan selonggar sebelumnya.
Dua pasang rantai saling menyilang. Senjata berwarna gelap itu meliuk-liuk membelit lalu memaksanya bergeser ke tengah-tengah pusaran. Sayoga berusaha menghindari tekanan melalui langkah-langkah kaki yang silang menyilang. Sejenak bahaya pun lewat. Sayoga membalas serangan, kali ini sebuah tendangan yang dilakukannya dengan memutar tubuh.
Lelaki tua itu membeku ketika tumit Sayoga tiba-tiba menukik tepat pada ubun-ubunnya.
“Ki Sudira!” seru Ki Tarkib terkejut. Cepat ia menolong Ki Sudira dengan gerakan jitu.Ujung senjatanya menyambar lengan Sayoga yang melayang di sisi tubuhnya.
Sayoga cukup tangkas. Ia lincah berputar, lalu melejit dengan gerakan jungkir balik di udara.
Namun dua musuhnya datang menggebrak dengan gerakan cepat dan semakin kuat. Maka perkelahian semakin meningkat cepat. Masing-masing telah mengerahkan lebih dari setengah tata gerak yang dimiliki. Ditambah dengan kelenturan tubuh yang mendukung perubahan tata gerak, perkelahian pun semakin sengit dan meningkat tajam.
Tiga senjata mereka telah saling beradu, melibat bahkan menyambar-nyambar dengan suara berdesing nyaring! Masing-masing lengan telah merasakan perih, bergetar, panas dan kesemutan. Mereka tidak mengendurkan serangan walau tubuh telah bersimbah peluh.
Pergerakan mereka begitu cepat. Kaki-kaki mereka terlihat sangat ringan berloncatan, bergerak menyamping, menyambut tendangan dengan tendangan, bahkan seolah-olah mereka telah berubah menjadi burung sikatan yang melesat deras di atas pematang.
Perkembangan pada lingkaran perkelahian Sayoga tidak luput dari penglihatan pengawal pedukuhan meski hanya sekilas pandang. Semangat mereka bangkit. Ketangguhan Sayoga membakar pusat tenaga pengawal pedukuhan seperti minyak yang dicurahkan pada api yang nyaris padam. Lidah api membumbung tinggi. Bara semakin berdaya untuk menjangkau rumput kering di sekitarnya. Maka para pengawal pedukuhan pun menumpahkan segenap kemampuan yang ada.
Dentang senjata semakin nyaring memenuhi udara Gondang Wates. Meski mereka belum menerima berita tentang jatuhnya Pedukuhan Janti, tetapi mereka telah berpikir mengenai kekalahan itu. Dan di depan gardu jaga, para pengawal pedukuhan telah bulat untuk memukul mundur pasukan Raden Atmandaru.