Jati Anom Obong 9

oleh

‘Ki Garu Wesi cepat merendahkan tubuh lalu menerjang Ki Hariman sepenuh tenaga. Kerikil sungai terlontar ketika kakinya menjejak dasarnya yang dangkal itu. Dalam sekejap ia melontarkan serangan beruntun. Kaki Ki Garu Wesi berputaran menebas bagian atas tubuh Ki Hariman. Hampir bersamaan, Ki Tunggul Wesi menerobos sela pertahanan Ki Hariman yang tidak begitu rapat. Kepal tangan Ki Tunggul Pitu terjulur nyaris menggapai lambung Ki Hariman, namun Ki Hariman cepat melempar tubuhnya surut. Ia bergulingan menjauh dengan satu lengan mendekap kitab yang tersimpan di balik bajunya. Tetapi dua orang yang sekarang menjadi lawannya tidak membiarkan ia lolos. Ki Tunggul Pitu cepat menarik senjatanya keluar dan menerkam Ki Hariman dengan hebat. Tidak ada jalan bagi Ki Hariman selain bertempur mengadu nyawa. “Pikirkan lagi, Kiai!” seru Ki Hariman yang membetot ikat pinggang berbahan kulit tebal.

“Aku tidak dapat lagi mempercayaimu! Satu-satunya saat aku percaya padamu adalah membiarkanmu pergi ke Sangkal Putung,” sahut Ki Tunggul Pitu.

“Apakah aku harus merasa bersalah ketika menerima kerja sama dengan Raden Atmandaru?” desah Ki Hariman dalam hati. Namun kebimbangan itu harus dibayar mahal oleh Ki Hariman. Ujung kaki Ki Garu Wesi akhirnya dapat menyentuh bagian bawah ketiaknya. Meski demikian, Ki Hariman masih mampu menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak terjatuh. Ia meloncat pendek dan bergeser surut sambil menahan ngilu pada tulang dadanya. Ki Tunggul Pitu tiba-tiba mengurungkan niat untuk menerjang Ki Hariman. Ia berkelebat menerobos rumput panjang di tepi sungai. Dalam waktu hampir bersamaan, secepat lesat anak panah, Ki Garu Wesi menyelinap di bawah rimbun dedaunan pohon yang rapat berjajar di seberang gua. Hanya Ki Hariman yang bersembunyi di dalam gua saat sekelompok prajurit Mataram meronda sampai bibir sungai.

“Aku tidak ragu dengan pendengaranku,” ucap seorang peronda.

Kawannya yang berjalan di sampingnya mengangguk. Katanya, “Bentakan-bentakan itu sudah jelas hanya dilakukan oleh orang yang sedang berkelahi.” Tiga orang peronda menuruni tebing sungai untuk memeriksa lingkungan sekitar. Setelah merasa cukup memeriksa beberapa bagian sungai, tiga peronda itu pun kembali pada kelompoknya.

“Tidakkah ada tanda yang mencurigakan?” bertanya pemimpin mereka.

“Tidak ada, Ki Lurah,” jawab peronda yang terlihat masih muda. Lurah prajurit itu mengerutkan kening. Sepertinya ia tidak dapat menerima laporan prajurit bawahannya. Sejenak kemudian, ia berkata, “Kita kembali periksa tempat ini. Aku bagi kalian menjadi tiga kelompok kecil.” Ia berbisik memberi petunjuk pada anak buahnya.Lurah prajurit ditemani seorang bawahannya menuju sungai melalui jalur yang berbeda dari kawan mereka sebelumnya. Sepertinya lurah prajurit telah mengenal tempat di sekitar sungai dengan baik. Ia menggerakkan kaki menuju gua yang dahulu menjadi tempat Agung Sedayu menempa diri. Ia memeriksa sekitar gua dengan cepat dan cermat. Bahkan ia sempat memasuki gua untuk memastikan tidak ada tempat yang lepas dari pemeriksaannya.

Dari jarak kurang dari sepuluh langkah dari kedudukan lurah prajurit, Ki Garu Wesi rapat menggenggam hulu senjatanya. “Tidak boleh seorang pun dapat melenggang kembali ke barak. Sekalipun Untara akan membakar Jatianom untuk mencari pembunuh prajuritnya, aku akan habisi mereka!” bulat tekad Ki Garu Wesi dalam bisik hatinya.

Namun lurah prajurit telah memutar langkah saat ia nyaris mencapai tempat sembunyi Ki Garu Wesi. Dengan sebuah isyarat, ia mengajak anak buahnya menjauhi gua itu. “Jangan berpaling. Tetaplah waspada dan tebar pandangan!” bisik lurah prajurit.

Mereka lantas menyeberangi sungai dan menuju rimbun perdu yang sedikit menjulur sungai. “Kembalilah pada temanmu. Beritahu mereka agar segera bersiap. Kita mungkin akan bertempur di tempat ini. Aku melihat jelas tanda-tanda perkelahian. Yang mungkin saja tidak seimbang dan mereka bersembunyi saat mendengar kedatangan kita,” kata lurah prajurit. Ia menambahkan, “Atas perintahku, suruhlah seorang di antara mereka untuk pergi ke barak. Dan jika kau menemukan kami telah terbujur kaku, itu mungkin pertanda buruk bagi pedukuhan ini.”

“Kita akan selalu bersama-sama, Ki Lurah. Saya akan kembali secepatnya setelah laporan diterima pemimpin prajurit. Mungkin beberapa orang akan menemaniku datang kemari,” tegas prajurit yang mendapat perintah.

No More Posts Available.

No more pages to load.