SuaraKawan.com
Bab 2 Jati Anom Obong

Jati Anom Obong 7

Dengan demikian, maka perkelahian itu pun menjadi semakin membahayakan. Setiap orang mulai mengerahkan segenap kemampuannya dan udara pun mulai terasa hangat saat tenaga cadangan mulai terungkap perlahan. Tidak ada lagi yang menjadi pertimbangan ketiga orang yang terlibat dalam pertarungan di tepi hutan sebelah menyebelah dengan Tanah Perdikan Menoreh.

“Selangkah lagi aku akan menapaki Tanah Perdikan,”desis Sayoga dalam hatinya. “Aku harus dapat keluar dari tekanan ini.”

Maka satu-satunya pilihan bagi Sayoga adalah memenangi pertarungan itu. Namun sebaliknya, kegeraman Ki Sarjuma dan Ki Malawi semakin menjadi-jadi tatkala Sayoga ternyata sangat liat dan sulit ditundukkan.

Putaran pedang kayu Sayoga semakin cepat dan deras menebas kedua lawannya bergantian. Bahkan tak jarang lengan Ki Sarjuma tergetar kesemutan setiap kali berbenturan dengan pedang kayu Sayoga. Tetapi tidak mudah bagi Sayoga untuk mendesak salah satu dari dua lawannya, mereka berasal dari sumber ilmu yang berbeda. Walaupun berbeda akar perguruan, tetapi kerja sama yang terjalin cukup lama telah menjadikan kedua orang itu saling mengerti dan saling mengisi. Terkadang Ki Sarjuma bergerak liar dan tidak terkekang pada ilmu perguruannya, namun pada saat yang lain ia begitu rapi tertata. Sementara Sayoga sendiri untuk mengimbangi keliaran gerak yang acap kali dimunculkan oleh lawan-lawannya, ia tak segan menjumput tanah basah lantas dilemparkannya ke arah lawan.

Sayoga tidak ingin bergantung pada satu jenis senjata, ia merasa harus mampu mengambil manfaat dari  keadaan sekitar baik sebagai senjata maupun alat pertahanan. Keunggulan jumlah lawannya akhirnya dirasa berat oleh Sayoga. Keduanya terus menerus menyerang dari arah yang berbeda dalam kesempatan yang berbeda pula. Meskipun Sayoga mampu memanfaatkan celah pepohonan dan tanah basah, namun upaya itu belum cukup untuk menahan laju serangan yang semakin ganas dan liar.

Secara terus menerus Sayoga mengulang perbuatannya dan ia menuai hasil yang diharapkan olehnya. Ki Sarjuma dan Ki Malawi mulai terlihat kesulitan mengendalikan diri. Mereka seolah kehilangan pengamatan setiap kali Sayoga melempar tanah basah, batu, ranting lalu menyusup di antara pepohonan kemudian tiba-tiba menyerang dengan hebat. Pada tiap kesempatan untuk menyerang, Sayoga semakin meningkatkan kecepatannya. Pedang kayunya berputar-putar menyelubungi salah satu dari lawannya bergantian. Sesekali ia meraih sebatang ranting untuk dijadikan senjata berpasangan dengan pedang kayu yang telah tergenggam erat olehnya. Dan tak jarang ranting itu tiba-tiba dilontarkan dengan tenaga cadangan.

Sementara itu, Ki Sarjuma dan Ki Malawi pun membalas serangan Sayoga tak kalah cepatnya. Bahkan satu dua ujung trisula Ki Mawali yang meluncur dari rantai besi mampu menembus pertahanan Sayoga. Sekalipun belum mengenai bagian tubuh yang berbahaya, tetapi kulit yang tergores mulai mengucurkan darah. Kelebat belati panjang Ki Sarjuma mencecar tiada henti mematuk kedua kaki Sayoga yang lincah bergerak dengan cepat. Sekali kaki Sayoga tergores ujung belati tajam Ki Sarjuma, namun pada saat yang bersamaan ia mampu menetak pedang kayunya pada bahu lawannya.

Belati Ki Sarjuma terpental ketika ia mengerang panjang pada saat bahu sebelah kanannya seperti remuk terhantam tenaga cadangan yang terungkap dari Serat Waja. Sorot mata Ki Sarjuma tiba-tiba berubah menjadi aneh, ia seperti benar-benar kehilangan pengamatan atas dirinya sendiri. Maka Ki Sarjuma menerjang Sayoga lebih sengit dari sebelumnya. Cepat ia meraih kembali senjatanya dengan tangan kiri dan menerjang Sayoga dengan serangan yang tidak lagi terukur. Meski begitu, belati Ki Sarjuma terayun dan mematuk dengan kekuatan yang bergelombang lebih dahsyat.

“Apa yang sebenarnya mereka pikirkan?” desis Sayoga dalam hatinya menyaksikan perubahan demi perubahan yang terungkap dari gerak dua lawannya.

Sebenarnya yang terjadi adalah kedua lawan Sayoga telah mengubah secara keseluruhan tata gerak dari awal pertempuran yang tidak seimbang. Ki Malawi lebih banyak berloncatan tak terarah namun senjatanya tetap mengarah pada bagian yang mematikan dari tubuh Sayoga. Demikian pula Ki Sarjuma dengan belati yang tak lagi bergulung-gulung mengepung gerak mangsanya yang masih berusia muda. Ki Sarjuma banyak melakukan tusukan-tusukan berseling dengan lecut rantai Ki Malawi yang berulang kali mengeluarkan ledakkan yang menggetarkan gendang telinga.

Pada saat seperti itu, Sayoga yang masih belum mempunyai banyak pengalaman beradu tanding dengan cepat mengalami kemunduran yang luar biasa. Kedudukan seimbang yang sempat ia pertahankan kini mulai berat sebelah. Sedikit demi sedikit pertahanan Sayoga jebol oleh arus seranga yang tidak henti mengguncang daya tahannya. Tetapi Sayoga telah menerima tempaan dari ayahnya, Ki Wijil, tentang bagaimana menjalani kehidupan tanpa harus membiarkan keadaan jiwa terguncang tetap dapat bersikap tenang. Ketenangan Sayoga inilah yang membuatnya terus dapat melepaskan diri dari belit serangan dua orang pengikut Raden Atmandaru.

“Apakah iblis telah mempunyai anak sepertimu, Anak Muda?” bentak nyaring Ki Malawi yang semakin geram dengan keliatan Sayoga.

“Bertanyalah itu pada ibumu, Ki Sanak!” Lontaran segenggam tanah basah yang lurus mengarah pada wajah Ki Malawi menutup jawaban Sayoga.

Related posts

Kiai Plered 47 – Gondang Wates

Ki Banjar Asman

Persiapan 1

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 69 – Gondang Wates

Ki Banjar Asman