Cambuk Agung Sedayu telah membawa gelisah bagi Ki Tunggul Pitu. Meskipun ia tidak lagi berhadapan langsung dengan senapati pasukan khusus, namun kekuatan Agung Sedayu seolah memancar ke segala arah dalam takaran yang sama, dengan kedahsyatan yang sama, dengan kecepatan yang sama. Seolah Agung Sedayu tengah membagi dirinya namun tidak dalam wujud semu tetapi menjadi Dasamuka. Tetapi itu tidak lantas membuat Ki Tunggul Pitu cemas. Dalam keadaan payah dan terhuyung surut, ia mempunyai keyakinan tinggi dengan kemampuannya. Ia percaya pula pada kekuatan dan kesetiaan dua orang kawannya, bahwa mereka akan memenangi perkelahian malam itu. Semangatnya kembali membuncah, meskipun kini ia jatuh terduduk, namun nyala itu semakin kuat bergelora dari balik tatap matanya.
Sementara cambuknya bertarung seolah mempunyai keinginan sendiri, Agung Sedayu melayang setinggi pinggang orang dewasa, mungkin dapat dikatakan ia tengah terbang mendekati gerbang negeri orang mati.
“Bodoh!” Ki Garu Wesi mengumpatinya dalam hati. “Bagaimana ia dapat menahan benturan sedangkan pijakan pun ia tak punya. Bila bukan orang yang sangat bodoh, tentu Agung Sedayu adalah orang paling dungu di dunia ini!” Senyum Ki Garu Wesi merekah dan mengusir gelap yang menjadi selimut di atas sungai. Dalam pandangannya, sekitar sungai atau mungkin wilayah Jati Anom bahkan lebih terang jika dibandingkan keadaan pagi hari yang cerah.
Satu jalan pikiran yang masuk akal ketika ia melihat telapak tangan Agung Sedayu terbuka, ia mendorong dari samping, dan itu berarti Agung Sedayu akan memotong arah pergerakan Ki Garu Wesi!
Dalam waktu itu, gerak cepat Agung Sedayu telah menghentikan perkelahian pada lingkaran yang lain. Ki Hariman dengan tiba-tiba mengurangi tekanan. Ia berhenti menyerang Ki Widura padahal dalam sekejap saja, bisa jadi, ayah Glagah Putih ini tidak akan mampu melanjutkan napasnya. Sempat melintas dalam benaknya bahwa ketiga orang Jati Anom akan dapat diringkus oleh kawanannya, dan mimpinya tentang penguasan isi kitab Kiai Gringsing akan terwujud.
Segera.
Namun itu semua harus ditunda atau mungkin wajib dilupakannya setelah meyaksikan kedahsyatan ilmu Agung Sedayu, “…kecuali aku mempunyai langkah yang sangat jitu untuk keluar dari neraka ini,” pikir Ki Garu Wesi menanggapi pendapat yang hendak menutup harapannya.
Meskipun Ki Widura sedang terdesak cukup hebat, tetapi tidak ada resah dalam hatinya. Ia mempunyai keyakinan akan dapat bertahan sampai Agung Sedayu menemukan jalan keluar. Kepercayaan yang tinggi pada keponakannya telah menjadi sumber tenaga yang lain untuknya. Sama hal dengan musuhnya, Ki Widura pun tercekat setelah melihat tandang Agung Sedayu, yang mungkin, berada di luar batas nalar. Satu pertanyaan muncul darinya. “Bagaimana ia dapat menguasai ilmu semacam itu?” Dan itu tidak membutuhkan jawaban karena Ki Widura tahu bahwa Agung Sedayu banyak dikelilingi oleh peristiwa-peristiwa yang dapat dianggap sebagai kebetulan, walaupun sebenarnya bukan kebetulan seperti jatuhnya pohon mangga.
Sementara Ki Garu Wesi dan Agung Sedayu akan berbenturan dalam waktu kurang dari sekejap mata, Ki Hariman melompat lebih dekat pada titik benturan. Mungkin orang dapat menganggap itu perbuatan bodoh, namun Ki Hariman mempunyai alasan khusus. Ia telah menimbang akibat yang akan diterimanya, tetapi perhitungannya membuat lorong hasil menjadi berbeda. “Jika Agung Sedayu terpental selangkah, itu berarti aku akan menjadi penerus ilmu Kiai Gringsing satu-satunya. Swandaru hanyalah sehelai daun kering yang dapat dimusnahkan dengan mudah,” kata hati Ki Hariman.
Tiba-tiba udara Jati Anom dipenuhi dengan suara kentongan bernada titir. Suara-suara mendadak muncul berhamburan dari segala arah. Kecuali Agung Sedayu dan Ki Garu Wesi, orang-orang lain telah memalingkan wajah pada satu arah. Senyum Ki Tunggul Pitu mengembang, dan sepertinya ia tengah menikmati sebuah peristiwa yang ditunggu begitu lama. Raut muka Ki Hariman bahkan melahirkan tenaga yang mendorong harapannya melambung semakin tinggi. Wajah pucat Sabungsari tiba-tiba mampu mengalahkan rembulan yang bangun siang. Ketenangan Ki Widura pun terhempas. Api semangat Sabungsari dan Ki Widura mendadak terbang menjauh dalam gumam, “Kebakaran!”
Dari sungai jelas terlihat api membumbung tinggi, tidak hanya dari satu titik saja, mungkin beberapa rumah telah terbakar hingga langit berubah menjadi merah membara. Orang-orang yang terlibat dalam pertempuran di sungai mempunyai satu kata sepakat. Dalam hati dan pikiran mereka sama-sama menyebut satu kejadian, Jati Anom obong!
Bagi Sabungsari, kebakaran itu menjadi tanda bahwa ia harus memilih antara melanjutkan perkelahian atau meninggalkannya. Di Jati Anom, ia menyimpan harapan dan tengah mengembangkannya menjadi nyata. Tentu tidak mudah baginya dan sudah pasti tidak akan pernah ada orang yang dapat merelakan keluarganya menjadi korban, dan keluarga Sabungsari ada di dekat tempat kebakaran.
Sementara Ki Widura seolah terhempas ke masa yang telah dilewatinya begitu lama. Kekacauan yang terjadi di Jipang tidak menyentuh Jati Anom sama sekali walaupun merembet ke wilayah Sangkal Putung. Dua wilayah yang berdekatan itu seolah mempunyai jurang yang memisahkan keadaan. Tohpati, Macan Kepatihan, menerkam Sangkal Putung dengan segala daya yang dimilikinya. Sementara Jati Anom hanya menjadi tempat yang tidak mendapat perkenan di hati murid Ki Patih Matahun. Maka kebakaran yang terjadi di Jati Anom pada malam itu membuat hati Ki Widura bergetar. Ia menggelepar seperti ikan yang keluar dari kolam.
Sabungsari dan Ki Widura bertukar pandang. Serentak mereka kembali memusatkan perhatian pada perkembangan Agung Sedayu.
Seperti telah muncul batas gelap di sekitarnya, Agung Sedayu sama sekali tidak mengetahui perkembangan cepat yang terjadi pada orang-orang di sekelilingnya. Bahkan suasana langit yang mendadak benderang oleh api yang melebihi puncak pohon kelapa juga seolah tidak dapat menjangkau ujung matanya. Pandang mata dan perhatian Agung Sedayu hanya tertuju pada Ki Garu Wesi.
Pada saat itu tidak ada orang yang membutuhkan bantuannya. Sepertinya begitu. Meski Sabungsari dan Ki WIdura masih dalam keadaan siaga, namun keduanya tidak dalam tekanan lawan atau menyerang. Mereka berdua hanya berdiri dengan rasa hati mencekam. Mereka berpikiran nyaris sama, mungkin tidak dapat menuju Jati Anom selamanya jika Agung Sedayu dapat terbunuh oleh Ki Garu Wesi. Atau mereka akan memasuki pedukuhan kecil itu setelah segalanya musnah terbakar. Bukankah ada sepasukan Mataram di bawah pimpinan Untara di sana? Ki Widura dan Sabungsari telah mendapat perkiraan mengenai luas wilayah yang terbakar berdasarkan nyala api yang menerangi langit. Meskipun ada harapan bahwa Untara dan prajuritnya akan dapat menyelamatkan Jati Anom, tetapi penyesalan telah mendapat kedudukan di hati keduanya. Bahwa mereka terlambat datang membantu! Selain itu dalam benak mereka seolah timbul anggapan bahwa Agung Sedayu memang tidak memerlukan bantuan sama sekali. Ditambah kekuatan tiga lawan mereka yang seolah telah mematikan mereka dengan tandang yang dahsyat, maka Ki Widura dan Sabungsari tiba-tiba membeku!
Ki Hariman telah membayangkan bahwa pencapaiannya untuk duduk di lapisan tertinggi segera terwujud. Ia bergirang hati. Kebakaran adalah sebuah kemalangan nasib bagi orang Jati Anom adalah penilaian yang berakar kuat dalam benaknya. “Sebanding,” gumamnya, “bila banyak orang harus menemui ajal dalam kebakaran itu, sebenarnya dan memang kitab ini hanya pantas ditebus dengan harga yang tidak dapat dinilai. Mereka akan berada dalam ingatanku sebagai sekumpulan orang bodoh yang berjasa. Tidak ada kebakaran apabila mereka rela hati menyerahkan Agung Sedayu dan memberi kami kelonggaran untuk keluar dari pedukuhan terkutuk ini.”