Sewaktu Sayoga berkubang dalam gelombang perkelahian melawan Ki Sarjuma dan Ki Malawi, Agung Sedayu tengah menghadapi pilihan sulit. Riuh perbincangan orang-orang yang memusuhinya jelas terdengar olehnya.
“Seperti yang kita lihat, anak demang Sangkal Putung itu sudah tidak lagi mempunyai daya untuk menepis seekor kecoak. Dan kita juga mengerti jika Swandaru mempunyai harga mahal di mata orang-orang Mataram,” ucap Ki Mandira.
Namun Ki Sawentar menebar ancaman, “Menculik Swandaru bukan tujuan kita di Jati Anom. Kalian bisa saja membawanya pergi dari tempat ini tetapi aku tidak dapat membiarkan kalian.”
“Jangan menjadi picik, Ki Sawentar!” tukas Ki Mandira, “pengetahuan Swandaru tentang isi kekuatan Tanah Perdikan dan Mataram adalah kebutuhan utama kita semua. Bahkan, Anda dapat menyerapnya dengan baik jika mampu membuatnya bicara.”
Ki Sawentar merenungi kalimat kawannya. Ia dapat menerima pertimbangan Ki Mandira tetapi harga dirinya sebagai orang yang mempunyai kepandaian di atas rata-rata menolak gagasan konyol. “Mengorek keterangan dari Swandaru tidak perlu menunggu di sebuah tempat. Kita bisa lakukan di tempat ini selagi saudara iparnya terikat perang tanding dengan Ki Suladra,” katanya, “kita dapat berpikir bahwa penculikan itu baik dan mungkin merasa bangga dengan itu, tetapi, itu berlawanan dengan keinginan Panembahan.”
“Kita sudahi perdebatan ini!” ucap Ki Mandira yang diikuti yang lain dengan kata ‘setuju’. Ia berpaling pada kawan-kawannya, kemudian berjalan lebih dekat pada Ki Sawentar, lalu pelan ia berkata, “Ki Sawentar, kita tidak berada di dalam sebuah sumur. Kita tidak berada di dasar sebuah kolam keruh tetapi kita berada di puncak sebuah bukit. Kita dapat memandang lebih jauh dengan memaksanya bicara. Bukan saja tentang taksiran kekuatan yang ada di Jati Anom dan Tanah Perdikan, tetapi kemampuannya.
“Bagimu mungkin ini terdengar palsu namun kita menaruh harapan besar bahwa Kanjeng Panembahan benar-benar akan mewujudkan mimpinya. Merebut Mataram. Dan persiapan kecil akan kita lakukan dengan menyeret pria gemuk ini ke suatu tempat.”
Ki Sawentar melihat kebenaran di balik kata-kata Ki Mandira tentang masa depan dan ketidakmampuan mereka dalam mengelola satu wilayah yang luas. Sesaat ia merasa kasihan pada dirinya sendiri yang tidak berbekal pengetahuan tentang tata kelola sebuah wilayah. Lalu ia menyetujui siasat itu, namun hatinya berkata, ‘Aku adalah orang rendahan di hadapan Kanjeng Panembahan, maka seusai pekan yang ditentukan itu lewat, Swandaru adalah budak terbaik yang pernah aku miliki. Aku juga dapat menempatkan istrinya di sisiku. Kabar yang aku dengar secara pasti mengatakan bahwa Pandan Wangi adalah perempuan yang cantik. Oh ya, tentu saja menyerap wawasan Swandaru dengan menjaminkan istrinya sebagai pendampingku adalah rencana cemerlang.’
Sebagai lelaki yang berumur cukup dan mempunyai ilmu sangat tinggi sudah tentu mudah bagi Ki Sawentar mengendalikan diri. Tetapi kali ini ia membiarkan hasratnya menguasai akal sehat. Pikirannya sibuk dengan bayangan molek sekujur Pandan Wangi telah memenuhi ruang hatinya meski ia belum pernah bertemu dengannya. Lamunannya terganggu sewaktu telinganya mendengar umpatan kawan-kawannya. Ki Sawentar berpaling pada sumber suara dan ia melihat Swandaru tengah mengalami derita yang hebat. Tubuh Swandaru tak luput dari tendangan, kaki yang menginjak dan pukulan-pukulan mengenai wajahnya. Ki Sawentar berseru, “Bagaimana kalian dapat menyesap pengetahuannya jika ia mati sekarang?”
“Aku telah mendengar perbuatannya pada Wigati,” sahut seseorang.