SuaraKawan.com
Bab 2 Jati Anom Obong

Jati Anom Obong 17

Terang bintang tak mampu jangkau sekitar Kali Progo, bulan masih tampak setandan pisang di balik pepohonan yang rapat menutup tepi sungai.  Unsur-unsur gelap semakin berjejal rapat. Ki Suladra, sebagai orang yang dianggap sebagai pemimpin dalam kawanannya, menyadari ketinggian ilmu Swandaru sulit dijangkau dan dihentikan. Tubuh Swandaru begitu ringan dan pergerakannya sulit ditangkap oleh indera pendengaran kawan-kawannya. Maka, Ki Suladra banyak berteriak untuk memberi tahu kedudukan Swandaru yang berulang kali tiba-tiba hilang dalam kegelapan.Tetapi kedudukan telah jauh dari seimbang. Swandaru Geni, seorang diri mampu mengikat lawan-lawannya dan kini ia benar-benar berada di atas angin. Bahkan keadaan para pengeroyok yang dikirim oleh Panembahan Tanpa Bayangan itu makin mengkhawatirkan ketika Ki Sanepa melepaskan diri dari ikatan pertarungan. Dalam keadaan seperti itu, Ki Suladra menunjukkan kemampuan dirinya sebagai orang yang memang pantas diserahi kedudukan sebagai pemimpin. Ternyata Ki Suladra adalah seorang yang berilmu tinggi. Tanpa dinyana,  ia ternyata mampu mengimbangi gerak Swandaru yang cukup cepat.

“Jaga jarak!” teriak Ki Suladra. Enam orang kawannya segera berkumpul tiga tiga. Dua kelompok yang terbagi ini segera mengambil jarak cukup dari jangkauan cambuk Swandaru. Perubahan yang sebenarnya tidak mengejutkan Swandaru namun mampu menunda kejatuhan mereka. Gelar para pengeroyok ini tidak memberi kesempatan pada Swandaru untuk meningkatkan kemampuannya. Ki Suladra dengan berani menempatkan dirinya sebagai dinding yang harus ditembus oleh Swandaru. Tegak berdiri ia menantang Swandaru.

“Bagaimana keadaanmu, Ki Sanak?” Swandaru erat menggenggam cambuk yang tel ah terurai.

“Setoreh luka dari cambukmu bukan akhir dari segalanya, pemangku ledhek!” seringai Ki Suladra. Satu sebutan yang mengejek Swandaru karena kegemarannya di masa lalu. Kesenangan yang nyaris menghancurkan masa depan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Legam muka Swandaru mendengarnya. Satu lengking nyaring menyertai terjangan yang lebih dahsyat.

Namun Swandaru menerima kenyataan yang bertolak belakang dengan perkelahian sebelumnya. Ki Suladra ternyata tangkas mengimbangi gebrakan demi gebrakan Swandaru.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” Swandaru bertanya dalam hati.

Sebenarnya Ki Suladra memang tidak sepenuh tenaga bertarung pada awal perkelahian. Ia menempatkan diri sejajar dengan tujuh orang lainnya. Barisan yang tersusun dan gelar yang dirancang memang menuntut kesetaraan. Mereka berlatih dalam bimbingan Ki Sambong Aji, orang yang dipercaya Panembahan Tanpa Bayangan untuk meningkatkan kemampuan tempur pengikutnya. Maka kelebihan Ki Suladra sepenuhnya bersembunyi untuk menjadikan gelar Ki Sambong Aji dapat berjalan dengan baik. Perkembangan perkelahian dan Swandaru dapat mengubah segalanya. Tandang adik seperguruan Agung Sedayu menjadi mimpi buruk bagi mereka.

Oleh sebab itu, Ki Suladra mengubah tata gerak dan gelar untuk mengekang keganasan Swandaru. Ia melihat kedudukan yang tidak seimbang dan makin membahayakan mereka, maka beradu dada secara langsung adalah pilihan terakhir. Diawali dengan mengorek kenangan buruk Swandaru, Ki Suladra berharap lawannya akan kehilangan kendali. Swandaru menjawab harapan Ki Suladra. Rasa malu mendadak menyeruak wajah Swandaru dan membutakan akal sehatnya. Betapa ucapan menyakitkan berlanjut keluar dari Ki Suladra.”Apa yang akan dilakukan istrimu bila seseorang memberi bukti seorang anak yang lahir dari benihmu?” Ki Suladra berkata dingin.

“Tidak mungkin! Perempuan itu telah mati saat perang,” bantah Swandaru.

“Begitu bodoh anak seorang demang! Aku memaklumi keadaanmu yang tidak setajam ingatan Agung Sedayu!“

Swandaru berkata kasar.  Cambuknya menyambar Ki Suladra tanpa henti. Namun Ki Suladra yang ia hadapi telah jauh berbeda. Dua belati yang terikat rantai kecil yang panjang mampu menyamai kecepatan cambuk Swandaru. Yang terjadi di dalam lingkaran itu adalah dua belati yang seolah terbang tengah berupaya membelit cambuk Swandaru. Keduanya beranjak dari unsur gerak utama dari perguruan masing-masing. Mereka berdetak dan berpacu mengeluarkan gerak khusus yang sangat membingungkan. Kelengahan dalam mengunci perhatian akan ditebus oleh kematian.Desing belati menggetarkan gendang telinga setiap kali merobek udara. Ledak cambuk Swandaru yang mampu menggedor jantung dapat diredam oleh desing belati. Dengan demikian, enam orang kawan Ki Suladra sedikit terbebas dari tekanan yang diakibatkan ledak cambuk yang berdentum menghantam jantung mereka.

Kelonggaran enam orang itu yang menjadi awal untuk mendorong Swandaru Geni menuju tepi jurang kekalahan. Dengan tubuh yang berhias merah darah, enam pengeroyok berloncatan lincah seolah tidak merasa perih akibat luka. Bahkan, kini mereka mengganggu Swandaru dengan lontaran belati yang bergantian terbang berusaha mengiris tubuhnya.

“Swandaru!” Ki Suladra membentak. Lelaki bertubuh tegap dan berotot menonjol pada kedua lengannya itu melompat surut. “Kau, dengan bantuan Agung Sedayu, apakah berharap dapat menyelamatkan kitab peninggalam gurumu?” tawa mengejek nyaring berkumandang. Ki Suladra benar-benar berusaha memainkan suasana hati Swandaru. “Kitab itu telah lenyap dari rumah orang tuamu! Seorang demang tua yang tak tahu diri. Seharusnya ia membiarkanmu meneruskan kedudukan sebagai pemimpin. Tapi kau bernasib buruk dengan memiliki ayah sepertinya!”

Ki Suladra menutup ucapan dengan terkaman luar biasa.

Related posts

Senja Januari Dua Dua

Redaksi Surabaya

Merebut Mataram 61

Ki Banjar Asman

Kiai Plered 34 – Pedukuhan Janti

Ki Banjar Asman