Aku dilahirkan dari seorang perempuan yang bernama Prabandari. Ibuku adalah anak bungsu dari lima bersaudara, sedangkan lelaki yang menjadi ayahku adalah seorang raja yang menguasai wilayah sangat luas. Aku kurang mampu mengingat rupa ayahku. Konon dia mempunyai nama Rakai Panangkaran. Aku tidak begitu yakin dengan keberadaan ayahku. Apakah dia masih hidup atau meninggal? Aku tidak ingin mencari tahu dari orang-orang di sekitarku, termasuk ibu. Itu adalah pemikiranku sebelum usiaku mencapai angka kembar.
Musim demi musim berganti. Udara terus menerus menghembuskan berita yang berbeda. Ketika anak-anak seusiaku bermain dengan gembira bersama ayah mereka setiap usai musim panen, aku hanya menjadi saksi dari kebahagiaan yang memenuhi desaku. Meskipun kakekku adalah orang yang dituakan di lereng utara Merapi, meskipun kakekku senantiasa mengundang sekelompok orang untuk menari sepanjang malam, itu semua tidak sebanding dengan kehangatan dari sebuah hubungan anak dan ayah. Aku iri dengan mereka, tetapi apa yang dapat aku perbuat?
Dyah Murti adalah nama pemberian kakekku. Sekali waktu beliau mengisahkan bahwa ayahku, Rakai Panangkaran, menunggu kelahiranku sepanjang malam. Kemudian, menurut penuturan kakek, ayahku kembali ke ibukota untuk mengendalikan pemerintahan. Sebenarnya aku tidak peduli tetapi ibu sering mengingatkan bahwa aku bukan anak perempuan biasa.
Dyah Murti. Dyah Murti Hansa Gurunwangi, begitu panjang sehingga beberapa temanku sering kesulitan untuk menyebut nama lengkapku. Aku lahir ketika fajar hampir menyingsing pada hari ketiga, pekan ketiga dari kematian bulan ketiga selewat tiga tahun pelantikan ayahku menjadi ratu.
Aku tinggal di sebuah daerah yang berjarak ratusan ribu tombak dari ibukota. Mungkin jarak yang cukup jauh maka kakek sering mengulang, bahwa ayahku tidak menghabiskan sepuluh jari untuk waktu yang diberikan padaku. Namun aku sering melihat ibu bepergian untuk mengunjungi beliau di pusat pemerintahan. Dua bulan atau tiga bulan sekali perjalanan panjang itu ditempuhnya demi pengabdian, katanya begitu. Ya, ibu pernah berkata, “Adalah kewajiban ibu untuk memperhatikan keadaan ayahmu meskipun beliau jarang mendatangi kita di Matesih.”
“Itu bukan keadilan yang dapat diberikan oleh seorang ratu, Ibu,” aku membalas ucapan ibu ketika keberanian telah menguasaiku. Selama ini, selama aku masih berada di bawah pengajaran Mpu Pali, aku tidak mempunyai kekuatan hati untuk bertanya pada ibu. Namun pada awal hari ketiga pada pekan kedua ketika usiaku menapak angka kembar, aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Sudahlah,” jawab ibu pada saat itu, “engkau akan menempati salah satu ruang di istana ayahmu. Lalu engkau akan lebih banyak lagi belajar tentang pengabdian dan pengorbanan.”
Aku tidak ingin membantah ibu, apalagi menentang kata-kata beliau. Yang aku tahu hingga usiaku menempati dua angka adalah mandi bersama dengan banyak perempuan di badan sungai yang mengalir di utara watak. Seluruh penduduk Matesih percaya anugerah dari Yang Tidak Terbantah dilimpahkan setiap kali bulan bersinar penuh pada bulan ketujuh setiap tahun genap.
Sungai akan terbagi menjadi dua bagian. Para lelaki terpisah selemparan anak panah dari tempat perempuan bertelanjang dada. Sejumlah punggawa watak dan wanua menjaga ketat batas-batas yang telah ditetapkan oleh kakekku. Sepuluh tahun terakhir tidak ada orang yang dihukum karena melintasi batas. Kakek mempunyai perangkat keamanan untuk menegakkan tatanan nilai yang diajarkannya pada penduduk wanua Matesih.
Ketika usiaku menginjak dua tahun, Mpu Pali berkisah bahwa seorang lelaki harus menerima hukuman dengan tubuh diseret kuda di sepanjang jalan watak yang menjadi tempat tinggalnya. Mpu Pali mengatakan terhukum tidak akan dibiarkan mati kehabisan darah. Ia dibiarkan hidup agar dapat memberi kesaksian. “Lelaki itu masih hidup dan sering terlihat berada di sekitar sawah, sebelah selatan bukit kecil,” ucap Mpu Pali. Ia mengulang pesan yang sama dengan kalimat yang berbeda pada setiap perayaan bulan penuh di tahun genap.
*wanua = wilayah administrasi setara dengan kecamatan
*watak = wilayah administrasi setara kelurahan/desa