Oleh sebab perjalanan panjang itu dilakukan dengan tidak terburu-buru, maka pada hari keempat, rombongan prajurit pun tiba di depan regol barak pasukan khusus di Selakurung.
Dua penjaga gerbang segera menyambutnya.
“Apakah saya berhadapan dengan Ki Lurah Srengganan?” tanya seorang penjaga sambil membungkuk hormat.
“Benar, aku adalah Ki Srengganan dan mereka adalah prajurit baru yang, dengan selamat, berhasil datang ke tempat ini,” jawab Ki Srengganan dengan senyum sambil menunjuk barisan prajurit yang berada di belakangnya.
Dua penjaga itu kemudian mengangguk hormat pada barisan orang yang akan menambah jumlah kekuatan di barak Selakurung.
“Silahkan, Ki Lurah mengambil tempat di bagian dalam sebelah kanan. Saya laporkan kedatangan romgongan Ki Srengganan pada lurah kami,” kata seorang penjaga lalu ia memutar badan melangkah masuk ke barak.
Sejenak kemudian, rombongan prajurit telah memenuhi bagian dalam bangunan yang berada di sebelah kanan gardu jaga.
Lalu, ketika seorang berpangkat perwira melangkah mendekati mereka, Ki Srengganan segera berdiri menyambutnya. Kedua perwira pun kemudian berbicara singkat. Namun perwira yang baru datang itu terkejut ketika melihat Toh Kuning berada dalam kelompok Ki Srengganan.
“Kau!” seru perwira itu dengan sebilah keris yang telah tergenggam erat di tangan.
Kemudian ia berseru pada Ki Srengganan dan rombongannya, ”Aku minta kalian untuk memisahkan diri dari anak muda itu!” Ia mengarahkan ujung kerisnya ke arah Toh Kuning. Sejumnlah prajurit bawahannya segera mengurung rombongan Ki Srengganan. Prajurit Selakurung telah bersiaga serang dengan senjata telanjang. Sementara teman-teman Toh Kuning menjawab seruan perwira Selakurung dengan tatap mata penuh waspada. Mereka telah merendahkan tubuh dan menyusun dasar bela diri.
Suasana terasa mencekam!
Toh Kuning yang tidak menduga akan bertemu dengan seseorang yang pernah bertemu dengannya pun tercekat hatinya. Ia kemudian teringat sosok pemimpin prajurit yang pernah dicekiknya dan ditinggalkan dalam keadaan pingsan.
“Ampunkan aku, Ki Lurah!” pinta Toh Kuning memelas sambil menempelkan kedua lututnya di atas tanah. Ia merasa bersalah. Di atas itu semua, Toh Kuning yang mengira bahwasanya perjuangannya untuk memenuhi harapan gurunya segera selesai. Tetapi ia salah duga!
“Tunggu!” Ki Srengganan berkata lantang sambil mengangkat kedua tangan. Ia melangkah menengahi kedua kelompok yang telah berada dalam ketegangan.
Prajurit-prajurit baru, yang menjadi rekan Toh Kuning merasa tidak terima dengan perlakuan perwira yang menyambut mereka, tidka menghiraukan perintah Ki Srengganan. Meskipun mereka baru saling mengenal dalam hitungan hari, tetapi, entah, tiba-tiba ada semacam dorongan bahwa mereka adalah teman sepenanggungan. Mereka menanggapi perintah Ki Srengganan jsutru dengan teriakan-teriakan menggiriskan.
“Tidak sisa untuk harga diri. Bunuh dan habisi!”
Begitu mereka ucapkan berulang-ulang.
Seperti yang telah dipesankan oleh Ki Lembu Pitungan bahwa mereka adalah kesatuan yang akan berjuang bersama dalam damai dan bahaya. Satu ancaman bagi seorang dari mereka adalah ancaman bagi kesatuan mereka. Maka mereka mengabaikan perintah perwira yang menghunus kerisnya dan Ki Srengganan. Justru prajurit baru itu membentuk barisan untuk melindungi Toh Kuning.
“Ki Lurah Srengganan! Aku tidak menyangka jika seorang dari prajurit yang kau kawal kemari adalah penjahat yang sering mengacaukan wilayah Banengan,” kata perwira dari barak.
“Maafkanlah, Ki Lurah Dali Ireng. Sebenarnya saya mengira ka-lian yang berada di barak ini telah mengetahui apabila salah seorang dari prajurit baru itu mempunyai kekhususan,” sahut Ki Lurah Srengganan yang mencoba bersabar.
“Sifat khusus itu tidak lantas menjadikannya sebagai orang istimewa,” berkata Ki Dali Ireng.
“Memang ia bukan orang istimewa. Ia menjadi khusus karena perbuatan buruknya di masa lalu. Kemudian ia menjalani tahap demi tahap ujian yang diselenggarakan oleh Sri Baginda dan ia mampu melewatinya. Kini ia berada diantara kita,” lantang Ki Srengganan mengucap kata.