SuaraKawan.com
Bab 9 Penyelamatan

Penyelamatan 3

“Kalian dilarang menghukum mati para penyusup ini sebelum Ki Tumenggung Mahesa Wunelang mengambil keputusan,” kata Toh Kuning sesaat setelah meringkus para penyusup kawanan Ki Barungga. Para prajurit itu mengangguk. Sementara itu perwira jaga masih mengalami gejolak dalam hatinya, ia belum dapat menerima kejadian yang berlangsung cepat. Ia melihat betapa Toh Kuning berkelebat sangat cepat lalu tiba-tiba seorang penyusup terjatuh dan menyerah.

“Ki Lurah!” panggil Toh Kuning pada perwira itu sementara ia sendiri telah berada di beranda istana. Perwira itu segera berlari menyusul Toh Kuning lalu mengantarkan Toh Kuning menemui Sri Baginda Kertajaya.

“Sri Baginda,” Toh Kuning membungkuk hormat.

“Apakah kau yang bernama Toh Kuning?” bertanya Sri Baginda Kertajaya.

“Benar, Baginda,”

“Aku berterima kasih padamu karena berhasil menyelesaikan persoalan yang baru saja terjadi di halaman. Lalu katakan sekarang keperluanmu!” perintah Sri Baginda.

“Aku diperintahkan oleh Ki Tumenggung Gubah Baleman untuk membawa Baginda keluar dari kotaraja.”

Sri Baginda memandangnya dengan kening berkerut. Ia seperti mengenali Toh Kuning kemudian ia teringat dengan pesan yang pernah disampaikan Gubah Baleman beberapa waktu yang lalu.

“Baiklah,” kata Sri Baginda lalu bangkit berdiri dan memasuki biliknya. Beberapa pelayan menyusulnya ke dalam dan mempersiapkan segala keperluan raja. Sejenak kemudian rombongan kecil Sri Baginda telah keluar dari istana melalui sebuah pintu kecil yang berada di bagian samping bangunan utama. Dua prajurit Selakurung berada di depan dan mereka bertugas untuk menjadi pengawas sekaligus pengamat. Sedangkan Toh Kuning berjalan di sisi Sri Baginda Kertajaya. Ia membuat jarak yang cukup rapat pada sisi penguasa Kediri itu.

Sinar matahari yang membuat gatal di kulit kemudian menuntun mereka berjalan melingkari lereng Kelud bagian barat. Selanjutnya mereka berhenti di sebuah pedukuhan terpencil tetapi Toh Kuning mengenali wilayah itu dengan baik.

Sementara itu Pamekas dan kawannya dari pasukan khusus telah berpisah dengan Ken Arok beberapa ratus langkah dari medan perang. Kemudian ia menyusur jalan berdebu dan berkerikil tajam menuju perkemahan pasukan Kediri. Meskipun mengalami kesulitan sebagaimana yang dialami Toh Kuning di kotaraja, Pamekas dapat bertemu langsung dengan Ki Tumenggung Gubah Baleman.

Ia tercenung sesaat ketika melihat keadaan panglima pasukan khusus yang terlihat sayu dan sorot mata lelah.

“Bagaimana keadaanmu, Pamekas?” bertanya Gubah Baleman.

“Kami semua dalam keadaan baik, Ki Tumenggung.”

“Apakah Toh Kuning memberi perintah pada kalian untuk menemuiku di sini?”

Pamekas tidak menjawabnya. Ia melangkah maju kemudian mengulurkan bungkusan kain pada Gubah Baleman.

Dahi Gubah Baleman tampak berkerut tatkala menerima bungkusan itu. Ia cukup lama memandangi bungkusan itu lalu dibukanya bungkusan kain itu perlahan-lahan. Tiba-tiba wajahnya tampak cerah dan sorot matanya bercahaya. Ia mengangkat wajahnya dan menyapu setiap orang yang berada dalam tendanya dengan pandangan mata bahagia. “Kain bergambar matahari terbit,” berkata Gubah Baleman yang telah berdiri tegak. Ia mengangkat kain itu tinggi-tinggi lalu berkata lantang, ”Anak itu telah bekerja dengan tuntas.” Pamekas kemudian kebingungan saat Gubah Baleman memeluknya erat.

“Kembalilah pada pemimpinmu. Katakan padanya bahwa keputusan yang dibuatnya sebenarnya salah, tetapi ia berada di jalan yang benar.”

Pamekas mengangguk lalu meminta diri untuk segera pergi ke tempat yang telah ditentukan oleh Toh Kuning. Setelah menempuh lima hari perjalanan, Pamekas akhirnya tiba di tempat terpencil yang telah didiami oleh Toh Kuning bersama keluarga raja. Untuk beberapa lama ia mengambil masa istirahat setelah melaporkan seluruh keadaan di medan perang, lalu Toh Kuning menghampirinya dan bertanya, ”Bagaimana kau dapat meyakinkan seluruh kawan-kawanmu ketika kita masih berada di bangsal?”

Pamekas memandangnya lalu tersenyum sambil menjawab,”Itu adalah rasa cinta yang dimiliki oleh pasukan khusus, Ki Lurah.”

Kemudian mereka menatap puncak gunung Kelud yang menjulang tinggi menggapai angkasa. Mereka berdua mengetahui bahwa kehidupan tidak selalu terlihat sama persis dari permukaan.

 

 

** Selesai **

 

Penting :

Hak Cipta adalah salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang meliputi ruang lingkup objek dilindungi paling luas. Termasuk di dalamnya adalah  ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Dilarang menyalin, menyebarluaskan, menggandakan karya sastra yang berjudul Toh Kuning – Benteng Terakhir Kertajaya tanpa seizin pengarangnya. Terima kasih.

Related posts

Menuju Kotaraja 7

Ki Banjar Asman

Penculikan 20

Ki Banjar Asman

Gunung Semar 6

Ki Banjar Asman