SuaraKawan.com
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 17

Agung Sedayu mengendapkan napas, udara begitu halus masuk dan keluar dari rongga hidungnya, pada saat itu pikirannya benar-benar menimbang keselamatan Ki Patih Mandaraka. Ia tidak boleh gegabah atau melakukan kesalahan walau seujung kuku hitam.  Jarak mereka dari kematian begitu dekat dan sangat dekat. Ki Tunggul Pitu pernah bertarung dengannya beradu dada, dan Agung Sedayu telah mengukur tingkat kesulitan bila pertarungan kembali diulang. Namun, udara lembab di Slumpring semakin kuat menyebarkan watak keramat Kiai Plered.

Di atas jalanan yang sunyi, burung-burung malam melintas dengan suara parau yang bernada tidak beraturan. Lengking panjang tonggeret dan jangkrik seolah menjauhi pendengaran. Seakan mereka tahu diri bahwa kekuatan raksasa, yang tidak terlihat mata wadag, tengah mengumbar daya yang mengitari empat manusia yang berdiri saling berhadapan.

Pedukuhan induk berada jauh dari lingkaran mereka. Mataram masih terlampau gelap untuk diraba. Beranda dan halaman rumah penduduk bertebaran pelita-pelita yang menyala redup. Cahaya di Slumpring tidak ingin bersahabat. Malam serasa malas bergerak walau semesta bergulir dengan damai.

Ketika seseorang terhadang di jalanan Slumpring, banyak tempat baginya untuk bersembunyi. Sedompol bambu muda akan dapat melindunginya dari penglihatan orang. Atau ia dapat bertelungkup panjang di saluran air yang mengapit jalan. Selalu ada kesempatan baik jika ia bermaksud demikian. Namun sekarang bukan waktu yang tepat untuk bersembunyi atau melarikan diri. Mereka berempat adalah orang-orang terdekat dengan pemimpin masing-masing. Mereka adalah prajurit-prajurit. Mereka tengah berhitung, memancing kemarahan lawan, mengamati kelemahan kubu yang berseberangan. Apabila mereka takluk pada kubu lawan, apabila mereka terbunuh di Slumpring, bagaimana tanggapan Panembahan Hanykrawati dan Raden Atmandaru? Bukankah mereka adalah orang-orang linuwih yang berada di puncak Merapi?

Kawan Ki Tunggul Pitu memandang tajam pada permukaan punggung Agung Sedayu yang sedikit terlihat ketika senapati itu merendahkan tubuh.  “Mungkin engkau mengira kami adalah sekumpulan orang-orang bodoh, Agung Sedayu,” kata orang itu dengan wajah dingin. “Kiai Plered telah memilih tempat, pusaka ini bersedia menjadi pengiring dan pendamping kami. Aku telah mencanangkan tekad, membakar semangat untuk merebut Mataram meski harus membunuhmu dan lelaki renta itu.”

Sesaat kemudian mereka berada dalam suasana yang menegangkan.

Empat orang yang berdiri dalam jarak berdekatan itu sama-sama membeku. Menunggu atau menyerang terlebih dulu? Barangkali dua pilihan itu yang berada di dalam pikiran mereka.

Udara di Slumpring tiba-tiba seperti membawa angin yang tidak wajar. Udara menjadi semakin dingin dan semakin lama seolah mampu membuat kulit menjadi kering. Dalam waktu itu, Ki Patih Mandaraka terkesiap. Lelaki yang pernah menjadi saksi kehebatan Kiai Plered, melihat sepintas dengan sorot mata tak lazim. Ia memunculkan anggapan bahwa perubahan udara secara mendadak itu berasal dari Kiai Plered. “Mungkinkah tombak itu yang menjadi pangkal perubahan ini? Apakah orang itu telah menguasai selapis lambaran ilmu yang terhubung dengan Kiai Plered?”

“Apakah engkau merasakan perubahan ini, Agung Sedayu? Mungkin bibirmu telah membiru atau mungkin patih tua itu akan mati membeku,” kawan Ki Tunggul Pitu itu kembali mengumbar kata.

“Ki Sanak,” kata Agung Sedayu, “barangkali engkau memang berniat menjadikan malam ini lebih lengkap dengan berita-berita kematian. Tentu kalian telah memperhitungkan bahwa kami akan berkelahi dan bertempur mati-matian. Namun, bagaimana dengan kalian?” Debar jantung Agung Sedayu justru menjadi semakin cepat. Ia tidak banyak bicara karena benar-benar bersiap untuk berhadapan dengan maut. Walau mengetahui banyak jalan untuk menyelamatkan diri, tetapi Agung Sedayu adalah senapati kepercayaan Panembahan Senapati. Sekalipun terlintas dalam jalan pikirannya, menghindari jalanan Slumpring adalah perbuatan yang pantang dilakukannya. Panembahan Hanykrawati dan Kiai Plered adalah harga yang harus ditebusnya meski harus berulang kali menemui jalan kematian.

Sejak serangan Ki Tunggul Pitu dan kawannya terlontar, Agung Sedayu bergeming. Itu bukan waktu untuk membuktikan orang yang salah dan yang benar. “Ki Tunggul Pitu!” bentak Agung Sedayu. Ucapan yang dilontarkan dengan tubuh menegang dan urat leher yang mengencang terdengar begitu dahsyat, melebihi guntur yang meledak.

Ki Tunggul Pitu mengangkat alis, seketika raut wajahnya berubah tetapi mungkin bukan karena takut atau terkejut. Entahlah, tidak ada seorang pun yang memperhatikan perubahan itu. Dengan dada sedikit terangkat, ia berpaling pada Agung Sedayu yang tidak melanjutkan kata-kata.

“Lebih baik Ki Juru tetap tinggal di Sangkal Putung,” kata kawan Ki Tunggul Pitu tiba-tiba. “Bila kalian menentang, tentu seseorang akan terluka. Nasib baik baginya bila tidak terbunuh. Dan, engkau, Agung Sedayu, tidak ada alasan buatmu untuk membahayakan diri.”

Tiada lagi orang yang berkata-kata untuk menanggapi ucapan kawan Ki Tunggul Pitu. Setiap orang terbelit oleh pikiran masing-masing. Agung Sedayu yang terganggu sejak awal pun sama sekali bersikap tidak peduli dengan kalimat itu. Baginya, diam adalah kedudukan yang lebih baik. Apalagi setelah ia mendengar sendiri kata demi kata yang diucapkan oleh dua pengikut Raden Atmandaru yang sungguh-sunguh mengguncang perasaannya. Sedangkan Ki Patih Mandaraka sepertinya masih bertahan dalam batas kesabaran. Meski tidak dapat menerima penghancuran nama Agung Sedayu di hadapannya, tetapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk bermain kata-kata.

Udara di Slumpring menjadi semakin buruk dan janggal.

KI Patih Mandaraka dan Agung Sedayu merasakan ada desir aneh yang membelit mereka dari ujung kaki, merayap naik perlahan. Semacam tenaga tak kasat mata sedang meremas tulang-tulang mereka, menyayat kulit lalu tiba-tiba melepas cengkeraman. Keduanya dilintasi pikiran yang sama : bahwa pusaran angin itu berasal dari kawan Ki Tunggul Pitu yang telah merendahkan tubuh sambil mengubah kedudukan Kiai Plered. Dua orang itu tetap membiarkan diri untuk disakiti. Agung Sedayu dan Ki Patih sama sekali tidak mengadakan perlawanan. Apakah mereka tersihir oleh kekuatan gaib itu?

Suara binatang malam semakin lirih terdengar. Apakah mereka menjauh atau turut menderita seperti halnya Agung Sedayu dan Ki Patih Mandaraka? Yang pasti tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu.

Angin yang tidak wajar kian tinggi. Memasuki rongga telinga Agung Sedayu dan Ki Patih Mandaraka sambil menggemakan suara atau desau yang terdengar seperti orang bergumam. Namun dua orang kepercayaan Panembahan Hanykrawati itu masih menunggu sambil mengembangkan pertanyaan : apakah angin ini adalah kekuatan terluar dari Ki Tunggul Pitu dan kawannya? Atau berasal dari Kiai Plered?

“Bila kekuatan ini adalah perpaduan kawan Ki Tunggul Pitu dan Kiai Plered, sungguh, malam ini akan menyisakan kerusakan yang tidak mudah dilupakan,” kata Agung Sedayu dalam hatinya.

Benarkah itu perpaduan dua kekuatan yang selaras?

Benarkah demikian?

Related posts

Bergabung 5

Ki Banjar Asman

Merebut Mataram 43

Redaksi Surabaya

Pertempuran Hari Kedua – 12

Ki Banjar Asman